KEMBALILAH
Oleh: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.
السّلام عليكُم ورحمةُ اللهِ وبركاتهُ.
اللهُ أكبرُ (3 مرات) اللهُ أكبرُ كبِيرًا والحمدُ للهِ كثِيرًا وسُبحانَ اللهِ بُكرَةً وأَصِيلًا. الحمد لله الذى أمرنا بالأخوة والاتحاد بأمره, ونهانا عن التفرق والفساد بنهيه. والحَمدُ لِلهِ الكبيرِ الَّذِى عنت الوجوهَ لِكِبرِيَائِهِ وَعُظمَتِهِ، الحَيِّ القيُّومِ الَّذِى دَبَّرَ الكَائِنَاتِ بِحِكمَتِهِ، القَادِرِ الّذِى أَبدَعَ المَوجُودَاتِ وَعَمَّهَا بِإِحسَانِهِ وَرَحمَتِهِ، أشهَدُ أَن لَّا إِلهَ إِلِّا اللهُ وحدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ الَّذِى جَعَلَ فِى تَعِاقُبِ الأَعيَادِ عِبرَةً لِّمَن وَقَفَ عِندَ حُدُودِهِ وَدَاوَمَ عَلىَ طَاعَتِهِ، وَأَشهَدُ أَنّ مُحَمَّدًا عَبدُهُ وَرَسُولُهُ الدَّاعِى إِلَى اللهِ بِإِذنِهِ، فَفَتَحَ لَنَا أَبوَابَ الرَّقِى وَالسَّيَادةَ بِسُنَّتِهِ. اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّم وَبَارِك عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آِلهِ وَأَصحَابِهِ، وَمَن تَمَسَّكَ بِالدِّينِ وَسَلَكَ طَرِيقَ هِدَايَتِهِ. أَمَّا بَعدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ! أُوصِيكُم وَنَفسِىَ بِتَقوَى اللهِ وَالسَّعىِ إِلَى مَرضَاتِهِ، وَ أَحُثُّكُم عَلَى طَاعَتِهِ وَطَاعَةِ رَسُولِهِ لنَكُونَ مِن أَصحَابِ جَنَّتِهِ.
Jamaah shalat Idul Fitri Masjid Baitul Husna Perumahan Graha Indah Family, Makassar yang terhormat!
Kaum muslimin dan muslim, aidin dan aidat yang berbahagia! Izinkan saya selaku khatib mengajak untuk kembali. Maka tema khutbah kali ini, yaitu ”kembalilah!”
Setiap lebaran idil fitri menjelang tiba, setiap tahunnya disambut suka cita secara kultural dan spritual. Pelabuhan-pelabuhan, bandara-bandara, dan stasiun-stasiun kereta, perwakilan angkutan ke daerah-daerah, selalu dipenuhi masyarakat yang menempuh perjalanan mudik ke kampung halaman. Hal ini mencerminkan hakikat tradisi mudik pada perayaan Idul Fitri sebagai ritual kultural yang diwarnai oleh kegembiraan spiritual dan sosial. Secara semiotika, simbol-simbol tempat dan kegiatan yang tercipta, seperti "pelabuhan," "bandara," dan "stasiun kereta," yang mewakili titik temu antara kota dan kampung halaman. Mereka bukan sekadar lokasi fisik, tetapi juga simbol perjalanan menuju kedamaian dan kebersamaan dengan keluarga. Kegembiraan yang tercipta di berbagai titik transportasi menggambarkan intensitas harapan dan ritual yang dijalani setiap tahun, yakni mudik, yang menggambarkan nilai-nilai kebersamaan, penghormatan kepada keluarga, serta pemenuhan kebutuhan spiritual dalam merayakan Idul Fitri. Secara lebih luas, fenomena ini juga menandakan pentingnya hubungan sosial dan kultural dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Mudik Kultural dan Mudik Spritual
Mudik saat lebaran dan konsep kembali ke fitrah memiliki keterkaitan logis yang mendalam, baik secara kultural maupun spiritual. Pertama, mudik sebagai kembali ke akar dan identitas. Secara kultural, mudik adalah tradisi yang dilakukan oleh banyak masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia. Ini bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga simbol dari upaya seseorang untuk kembali ke asalnya—ke kampung halaman, keluarga, dan akar budaya. Mudik mencerminkan keinginan untuk menyambung kembali hubungan (hablun minannas) yang mungkin renggang akibat kesibukan duniawi, baik dengan keluarga maupun lingkungan tempat seseorang dibesarkan.
Kedua, kembali ke fitrah sebagai pemurnian spiritual. Dalam Islam, Idul Fitri bermakna "kembali ke fitrah," yaitu kondisi suci setelah menjalani ibadah puasa di bulan Ramadan. Puasa berfungsi sebagai sarana penyucian diri dari dosa, hawa nafsu, dan kesalahan, sehingga seseorang bisa kembali ke keadaan yang lebih bersih, mendekati kesucian manusia saat pertama kali dilahirkan. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW.
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ، وَمَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ، وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. (رواه البخاري ومسلم)
"Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni. Dan barang siapa yang berdiri (sholat malam) di bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni. Dan barangsiapa yang berdoa pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Keterkaitan Logis antara Mudik dan Kembali ke Fitrah
Simbolisme perjalanan mudik adalah perjalanan fisik menuju rumah asal, sedangkan kembali ke fitrah adalah perjalanan batin menuju kesucian. Keduanya melibatkan proses kembali ke sesuatu yang fundamental dalam kehidupan manusia.
Penyatuan kembali hubungan: Mudik mendekatkan kembali seseorang dengan keluarga, sedangkan kembali ke fitrah mendekatkan seseorang dengan Tuhan. Dalam konteks ini, baik mudik maupun kembali ke fitrah memiliki unsur rekonsiliasi—dengan manusia dan dengan Tuhan.
Kesadaran diri dan pembaruan: Mudik sering kali membawa refleksi tentang asal-usul dan perjalanan hidup seseorang, sementara kembali ke fitrah membawa refleksi tentang kesalahan dan upaya menjadi pribadi yang lebih baik.
Pulanglah, kembalilah, mudik-lah secara spritual! Yang memerintahkan kembali adalah Allah. Demikian Allah mengajak dengan bahasa yang lembut di penghujung surah al-Fajr.
Pulanglah! Allah mengajak pulang ke asal: Allah melalui ayat ini menggunakan gaya bahasa yang indah dan penuh makna. Penggunaan kalimat “Hai jiwa yang tenang” (النَّفْسُ ٱلْمُطْمَئِنَّةُ) adalah bentuk personifikasi, di mana jiwa digambarkan sebagai sesuatu yang dapat mendengar dan merespons ajakan. Kemudian, kata “Kembalilah kepada Tuhanmu” menunjukkan sebuah ajakan untuk kembali ke keadaan asal, menunjukkan kepatuhan dan kerinduan kepada Tuhan yang Maha Pencipta.
Semantik dari kata "النَّفْسُ ٱلْمُطْمَئِنَّةُ" berarti jiwa yang merasa tenang, aman, dan puas dengan takdir Tuhan. Semantik ini menunjukkan kedamaian batin yang dicapai oleh orang yang mendekatkan diri kepada Tuhan. Pada ayat selanjutnya, "رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً" mengandung makna dua pihak yang saling rida: jiwa yang ridha terhadap Tuhan, dan Tuhan yang ridha terhadap jiwa tersebut.
Dari lensa semiotika, “النَّفْسُ ٱلْمُطْمَئِنَّةُ dapat dilihat sebagai tanda dari kedamaian batin, yang dapat dilihat sebagai tanda kembalinya seseorang kepada fitrah. Selain itu, konsep “رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً” dapat dilihat sebagai tanda hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, di mana dua pihak saling puas satu sama lain.
Dalam timbangan logika, ayat ini menggambarkan hubungan antara jiwa yang tenang dan Tuhan yang ridha. Jiwa yang tenang menunjukkan kedekatan dengan Tuhan dan ketenangan dalam menerima takdir. Hal ini membawa seseorang pada kepuasan hati dan ketaatan yang membawa ridha Tuhan, yang menjadi tujuan hidup.
Pada momentum Idul Fitri ini, umat Islam merayakan kemenangan setelah berpuasa dan beribadah sepanjang bulan Ramadan. Dalam konteks ini, QS. al-Fajr ayat 27-28 mengingatkan kita untuk kembali kepada fitrah, yaitu keadaan jiwa yang suci dan tenang. Setiap amal ibadah yang dilakukan selama Ramadan, seperti puasa dan salat, serta zakat bersama ibadah lainnya mengarah pada pencapaian ketenangan batin dan kepuasan jiwa. Setelah menjalani proses pembersihan diri, seorang Muslim kembali kepada Tuhan dalam keadaan ridha dan diridhai, sebagaimana yang digambarkan dalam ayat ini. Idul Fitri menjadi momentum untuk menyucikan hati dan merayakan kedamaian dalam hubungan dengan Tuhan.
Akhirnya, sebagai khatib, saya mengajak kita semua, mari kembali secara maknawi dengan kembali merajuk dan merawat silaturrahim dengan sesama manusia (hablun minannas): anak dengan orang tua, suami dengan istrinya, dengan kerabat, dengan tetangga, kolega, dan kaum muslim bahkan dan sesama manusia secara umum. Selain itu, kembalilah menempuh rute perjalanan spritual kepada Tuhan yang menciptakan (hablun minallah) yang menjadi destinasi kita semua.
Khutbah II......
أللهُ أكبرُ ( 3مرات ) اللهُ أكبرُ كبيرًا والحمدُ للهِ كثيرًا وسبحانَ اللهِ بُكرَةً وأصِيلًا، لاَ إِلهَ إلاَّ اللهُ وحدَهُ، صدقَ وعدَهُ، ونصرَ عبدَهُ، وأعَزَّ جُندَه، وحزمَ الأحزابَ وحدَهُ، لاَ إِلهَ إلَّا اللهُ ولا نعبد إلاّ إيَّاهُ مخلِصِينَ لهَ الدِّينَ وَلَو كَرِهَ المُشرِكُونَ. الحمد لله الذى أمرنا بالإتحادِ ونهانا عن التفرُّقِ والفسادِ، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدًا عبدُه ورسولُه. عبادَ اللهِ اتّقوا اللهَ وداوِموا على صالحاتِ الأعمالِ، إن الله وملائكتَه يصلون على النبى، يا أيها الذين آمنوا صلّوا عليه وسلِّموا تسليمًا، اللهم صلّ وسلّم وبارك على سيدنا محمدٍ وعلى آله وأصحابه الذين سلكوا سبيلَ الهُدى والتقوَى كما صلّيتَ وسلّمتَ وباركتَ على إبراهيمَ وعلى آله فى العالمين إنَّك حميدٌ مجيدٌ. اللّهمّ أصلِح أُمَّتنَا وأَئِمَّتِنا صَلاحًا تَامًّا واجعلنا هداةً مُهتدين. اللّهمّ اغفر للمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الأحياء منهم والأموات إنك سميعٌ قريبٌ مجيب الدعواتِ. ربنا آتنا فى الدنيا حسنةً وفى الآخرة حسنةً وقنا عذاب النار. سبحان ربك رب العزة عما يصفون وسلام على المرسلين والحمد لله رب العالمين.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
0 komentar