Oleh: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.
Guru Besar Ilum Tafsir Fak. Adab Dan Humaniora UIN Alauddin Makssar
PROLOG
Indonesia sebagai negara yang kaya akan keberagaman budaya dan tradisi lokal merupakan medan subur bagi tumbuh kembangnya peradaban yang inklusif dan humanis. Di sisi lain, Islam sebagai agama mayoritas memiliki peran strategis dalam mengarahkan perkembangan peradaban bangsa. Integrasi nilai-nilai Islam dengan kearifan lokal telah menjadi fondasi historis dalam membangun tatanan sosial yang harmonis dan berkeadilan, sebagaimana tercermin dalam berbagai ekspresi budaya dan praktik keagamaan masyarakat Nusantara, tidak terkecuali di Sulsel.
Namun, tantangan globalisasi dan modernisasi sering kali menghadirkan dikotomi antara agama dan budaya, serta memunculkan pandangan yang kaku terhadap ajaran Islam, yang pada akhirnya berpotensi mengikis nilai-nilai lokal yang sarat makna kemanusiaan. Dalam konteks ini, diperlukan peran intelektual muda yang mampu mengkaji, mengolah, dan mengintegrasikan ajaran Islam dengan nilai-nilai lokal secara ilmiah dan konstruktif.
ICMI Muda Sulawesi Selatan hadir sebagai sebuah entitas strategis yang mengusung semangat intelektualitas berbasis riset. Sebagai bagian dari komunitas cendekiawan Muslim, ICMI Muda tidak hanya berkewajiban menjaga otentisitas ajaran Islam, tetapi juga bertanggungjawab menjalin dialog aktif Dan etis dengan budaya lokal dalam rangka merumuskan model peradaban yang humanis dan kontekstual. Dengan pendekatan riset yang kuat, ICMI Muda Sulsel diharapkan menjadi pilar transformasi sosial ke arah yang lebih inklusif, toleran, dan berbasis pengetahuan.
Harapan ideal untuk mewujudkan hal tersebut masih menghadapi kenyataan-kenyataan yang menjadi tantangan bersama. Pertama, kurangnya integrasi antara nilai-nilai Islam dan budaya lokal dalam pembangunan peradaban yang inklusif dan berkeadilan sosial di Sulawesi Selatan. Kedua, minimnya ruang dialog akademik dan riset kritis yang mendalam terkait relasi Islam dan kearifan lokal dalam perspektif keindonesiaan.
Selain itu, belum optimalnya peran ICMI Muda Sulsel sebagai agen intelektual yang mampu menjembatani antara teks (ajaran Islam) dan konteks (budaya lokal) dalam rangka membangun peradaban humanis. Untuk mengatasi hal tersebut, ICMI Muda masih berhadapan dengan kenyataan masih kurangnya model-model praktis dan ilmiah yang mengilustrasikan bagaimana Islam dan budaya lokal dapat bersinergi untuk menjawab tantangan sosial dan kemanusiaan kontemporer.
Berdasar pada kenyatan-kenyataan itu, disadari akan perlunya dilakukan langkah-langkah stretegis ke arah upaya penguatan kapasitas riset dan jaringan kolaboratif antar-intelektual muda dalam merumuskan gagasan dan solusi berbasis nilai Islam dan kearifan lokal.
DIALOG
Ilustrasi masalah-masalah tersebut kiranya urgent untuk didiskusikan bersama dalam rangka menguatkan posisi dan mengoptimalkan peran strategis ICMI Muda terhadap beberapa masalah.
1. Integrasi Islam dan Budaya Lokal di Sulawes Selatan
Integrasi antara nilai-nilai Islam dan budaya lokal di Sulawesi Selatan memainkan peran penting dalam mewujudkan pembangunan yang inklusif dan berkeadilan. Sulawesi Selatan memiliki kekayaan tradisi, seperti nilai sipakatau (saling memanusiakan), sipakalebbi' (saling menghormati/memuliakan), siri' na pacce (harga diri dan empati), yang selaras dengan prinsip keadilan sosial dan kebersamaan dalam Islam. Kedua sistem nilai ini membentuk fondasi moral dan sosial masyarakat yang kuat, yang dapat dimanfaatkan sebagai modal sosial dalam pembangunan.
Dalam konteks inklusivitas, integrasi ini memperkuat partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Islam mengajarkan prinsip musyawarah dan keadilan, sementara budaya lokal mendorong solidaritas komunitas. Kombinasi ini memungkinkan terciptanya ruang dialog antar kelompok, mengurangi konflik, dan memperkuat kohesi sosial.
Sementara itu, dalam aspek keadilan, Islam dan budaya lokal menekankan distribusi yang merata dan perlindungan terhadap kelompok rentan. Misalnya, melalui pendekatan adat bersyariah, praktik pembangunan dapat disesuaikan dengan nilai keagamaan dan lokal yang menghormati hak semua lapisan masyarakat.
Dengan demikian, integrasi Islam dan budaya lokal bukan hanya menjaga identitas kultural, tetapi juga menjadi strategi efektif untuk pembangunan yang tidak diskriminatif, berorientasi pada kesejahteraan bersama, dan berkelanjutan. Strategi ini relevan bagi pengambil kebijakan, pemuka agama, serta tokoh adat dalam membangun Sulawesi Selatan yang harmonis dan adil. Hal ini sebagai implementasi dari sistem pangadereng yang dianut di Sulsel.
2. Minimnya ruang dialog akademik dan riset kritis
Minimnya ruang dialog akademik dan riset kritis terkait relasi Islam dan kearifan lokal dalam perspektif keindonesiaan merupakan isu penting yang perlu diuraikan secara sistematis dan kritis. Pertama, secara historis, Islam di Indonesia berkembang melalui proses akulturasi dengan budaya lokal, seperti dalam tradisi pesantren, kesenian Islam (seperti wayang dan gamelan bernuansa sufistik), hingga adat istiadat yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariah. Namun, dalam perkembangan mutakhir, muncul kecenderungan formalisasi dan purifikasi ajaran Islam yang cenderung mengabaikan konteks lokal.
Kedua, secara kelembagaan, minimnya ruang dialog akademik disebabkan oleh lemahnya inisiatif perguruan tinggi dan lembaga riset dalam mengembangkan kajian interdisipliner yang memadukan studi Islam dan antropologi budaya lokal. Kajian Islam kerap terfokus pada aspek normatif-teologis, bukan pada dialektika sosial yang kaya dalam masyarakat Indonesia.
Ketiga, dalam aspek politik pengetahuan, wacana keislaman yang dominan seringkali dipengaruhi oleh arus transnasional yang tidak kontekstual dengan keragaman budaya Indonesia. Hal ini meminggirkan narasi-narasi Islam Nusantara atau Islam lokal yang mengedepankan moderasi, toleransi, dan harmoni sosial.
Akhirnya, minimnya riset kritis menghambat upaya konstruksi epistemologi Islam yang khas Indonesia. Diperlukan revitalisasi ruang-ruang akademik yang inklusif, transformatif, dan berbasis realitas lokal untuk menggali potensi Islam sebagai kekuatan kultural yang menyatu dengan kearifan lokal bangsa.
3. Belum optimalnya peran ICMI Muda Sulsel sebagai agen intelektual
Belum optimalnya peran ICMI Muda Sulsel sebagai agen intelektual mencerminkan adanya kesenjangan antara potensi ideal dan implementasi riil organisasi. Sebagai bagian dari komunitas cendekiawan Muslim, ICMI Muda seharusnya memiliki peran strategis dalam menjembatani teks (ajaran Islam) dengan konteks (budaya lokal Sulawesi Selatan) guna membangun peradaban yang inklusif dan humanis. Namun, peran ini tampak belum maksimal. Minimnya program yang responsif terhadap isu-isu lokal serta kurangnya dialog antara ulama, akademisi, dan masyarakat menjadi indikator lemahnya fungsi jembatan tersebut.
Selain itu, kecenderungan pendekatan normatif-teologis tanpa pelibatan nilai-nilai kearifan lokal, seperti “sipakatau” dan “siri na pacce”, membuat narasi keislaman kehilangan daya resonansinya di masyarakat. Padahal, pendekatan kontekstual sangat penting untuk menghadirkan Islam sebagai kekuatan etis-transformasional dalam kehidupan sosial. Ke depan, ICMI Muda Sulsel perlu melakukan reposisi strategis, dengan menguatkan riset interdisipliner, memperkuat kolaborasi lintas sektor, dan mendorong kaderisasi yang kritis terhadap realitas sosial. Dengan demikian, ICMI Muda dapat berperan aktif membumikan nilai-nilai Islam yang humanis dan relevan dengan dinamika budaya lokal.
4. Kurangnya model-model praktis dan ilmiah
Kurangnya model-model praktis dan ilmiah yang mengilustrasikan sinergi antara Islam dan budaya lokal dalam menjawab tantangan sosial-kemanusiaan kontemporer mencerminkan kesenjangan antara nilai-nilai normatif agama dan konteks empirik masyarakat. Islam, sebagai agama yang bersifat universal, memiliki prinsip-prinsip keadilan sosial, solidaritas, dan kemanusiaan yang relevan untuk merespons problematika modern seperti kemiskinan, ketimpangan gender, dan konflik sosial. Namun, nilai-nilai tersebut seringkali tidak terimplementasi secara kontekstual dalam masyarakat lokal karena absennya pendekatan yang mengintegrasikan kearifan budaya setempat.
Banyak pendekatan Islam kontemporer masih terjebak pada formulasi teoretik atau simbolik, tidak cukup menjangkau aspek praksis sosial. Di sisi lain, budaya lokal kerap dianggap inferior atau bertentangan dengan Islam, padahal banyak nilai-nilai lokal seperti gotong royong, musyawarah, dan toleransi memiliki kesesuaian dengan prinsip-prinsip Islam. Sayangnya, belum banyak model ilmiah yang secara metodologis menunjukkan bagaimana sintesis ini bisa dikembangkan secara konkret dan terukur.
Ketidakadaan model ini menyebabkan kebijakan sosial berbasis Islam sering tidak adaptif terhadap dinamika masyarakat lokal. Untuk itu, dibutuhkan penelitian interdisipliner dan kolaborasi antara ulama, akademisi, dan pelaku budaya guna membangun model yang tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga aplikatif. Model ini harus mampu menjembatani nilai-nilai universal Islam dengan kearifan lokal demi membentuk respons sosial-kemanusiaan yang lebih kontekstual, solutif, dan inklusif.
5. Perlunya penguatan kapasitas riset jaringan kolaboratif antar-intelektual muda
Penguatan kapasitas riset jaringan kolaboratif antar-intelektual muda sangat penting dalam menjawab tantangan zaman dengan pendekatan yang kontekstual dan berakar pada nilai-nilai Islam serta kearifan lokal. Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang kerap menyingkirkan nilai-nilai tradisional dan spiritual, intelektual muda perlu menjadi agen transformasi yang tidak hanya responsif, tetapi juga solutif. Kolaborasi riset antar-intelektual memungkinkan pertukaran gagasan, pengayaan perspektif, serta terbentuknya ekosistem keilmuan yang dinamis dan berdaya saing.
Nilai-nilai Islam—seperti keadilan, keberlanjutan, dan kemaslahatan—perlu menjadi kerangka normatif dalam merumuskan solusi atas problem sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Sementara itu, kearifan lokal menyimpan kekayaan praktik dan pengetahuan yang relevan dengan konteks masyarakat setempat. Sayangnya, riset-riset yang menggabungkan keduanya masih minim dan terfragmentasi. Oleh karena itu, penguatan kapasitas riset tidak hanya mencakup aspek teknis-metodologis, tetapi juga pembangunan jejaring, kepemimpinan intelektual, serta penguasaan paradigma integratif.
Dengan strategi yang tepat—seperti pelatihan bersama, forum diskusi lintas kampus, dan publikasi kolaboratif—jaringan intelektual muda dapat menjadi laboratorium sosial yang melahirkan pemikiran transformatif. Ini menjadi fondasi penting bagi lahirnya kebijakan dan gerakan yang tidak hanya ilmiah, tetapi juga berakar kuat pada identitas dan nilai-nilai bangsa.
EPILOG
Pembangunan peradaban yang inklusif dan berkeadilan sosial di Sulawesi Selatan masih menghadapi sejumlah tantangan mendasar, terutama terkait integrasi antara nilai-nilai Islam dan budaya lokal. Kurangnya harmonisasi antara keduanya menyebabkan potensi besar dari kearifan lokal dan ajaran Islam belum mampu dikapitalisasi secara optimal untuk menjawab problematika sosial yang semakin kompleks. Hal ini diperparah dengan minimnya ruang dialog akademik dan riset kritis yang secara serius mengkaji relasi antara Islam dan kearifan lokal dalam kerangka keindonesiaan. Ketidakhadiran forum ilmiah yang terbuka dan mendalam turut menghambat lahirnya gagasan segar dan solutif yang relevan dengan konteks lokal.
Di sisi lain, ICMI Muda Sulsel sebagai salah satu entitas intelektual yang memiliki posisi strategis justru belum berperan maksimal sebagai jembatan antara teks (ajaran Islam) dan konteks (realitas budaya lokal). Padahal, peran ini sangat penting untuk mewujudkan wajah Islam yang humanis, kontekstual, dan membumi. Ketiadaan model-model praktis dan ilmiah yang mampu mengilustrasikan sinergi antara Islam dan budaya lokal juga menjadi hambatan besar dalam proses transformasi sosial. Model semacam ini dibutuhkan tidak hanya sebagai panduan konseptual, tetapi juga sebagai alat bantu praktis dalam menjawab tantangan kemanusiaan kontemporer seperti ketimpangan sosial, radikalisme, dan krisis identitas.
Mengingat tantangan tersebut, sangat penting untuk dilakukan penguatan kapasitas riset serta pembangunan jaringan kolaboratif antar-intelektual muda. Upaya ini bertujuan untuk merumuskan gagasan dan solusi yang tidak hanya berbasis nilai-nilai Islam yang inklusif dan progresif, tetapi juga selaras dengan kearifan lokal yang telah teruji dalam menjaga harmoni sosial. Kolaborasi inilah yang menjadi fondasi penting dalam membangun peradaban yang lebih adil, berakar, dan berkelanjutan di Sulawesi Selatan
0 komentar