BLANTERORBITv102

    EVALUASI PEMBELAJARAN BERKEADILAN MENANAMKAN KARAKTER KEJUJURAN DAN TANGGUNG JAWAB (Q.S. AN-NAJM: 41)

    Sabtu, 15 Maret 2025

    Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag.,M.Pd.I.

    Guru Besar Ilmu Tafsir Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar


    PROLOG

    Ada mahasiswa yang pernah datang kepada saya meminta nilai. Saya bertanya, apa yang bisa saya nilai? Dia bilang, dari kebijaksanaan Ta' saja, Pak. Saya bilang, Kami tidak punya kewenangan "memberi nilai". Kami bertugas dan berkewajiban "melakukan penilaian" atas proses pembelajaran yang berjalan sesuai mekanisme dan prosedur penilaian yang berkeadilan (objektif). Sebaiknya, Anda minta petunjuk tentang proses apa yang ditempuh dan tugas apa yang mungkin diberikan kepada saya untuk dilakukan penilaian? Awalnya, mahasiswa tersebut tampak ngotot, tak puas. Setelah terjadi proses komunikasi beberapa saat, akhirnya mengerti dan meminta maaf juga meminta tugas. Begitu pentingnya proses dalam mendidik generasi.

    Evaluasi berkeadilan memupuk tumbuh suburnya rasa keadilan dan tanggung jawab. Di sebuah sekolah atau universitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, setiap peserta didik diajarkan bahwa setiap usaha dan tindakan memiliki konsekuensi. Guru-guru atau dosen  di sana tidak hanya menilai hasil akhir, tetapi juga menghargai proses belajar dan usaha yang dilakukan. Dalam proses evaluasi, mereka menerapkan prinsip keadilan, memastikan bahwa setiap peserta didik mendapatkan apresiasi yang layak sesuai dengan usaha dan tanggung jawab yang telah mereka tunjukkan.

    Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. An-Najm: 41, "Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna," para peserta didik diajak untuk memahami bahwa setiap perbuatan akan memperoleh balasan yang setimpal. Mereka diajarkan bahwa keberhasilan tidak hanya diukur dari nilai angka, tetapi juga dari kejujuran, ketekunan, dan sikap bertanggungjawab dalam belajar.

    Dengan demikian, evaluasi bukan sekadar alat ukur prestasi, tetapi juga sarana untuk menanamkan nilai moral dan integritas. Mereka yang berusaha dengan sungguh-sungguh akan mendapatkan hasil yang sepadan, sementara mereka yang mengabaikan tanggung jawab akan menyadari pentingnya usaha dan disiplin. Inilah keadilan sejati, di mana setiap individu menerima balasan yang sesuai dengan amal perbuatannya.

    PERTAUTAN KONSEPTUAL

    Dalam QS. Al-Najm ayat 40, Allah menyatakan bahwa manusia hanya akan memperoleh hasil dari apa yang diusahakannya. Ayat ini menegaskan prinsip kausalitas, bahwa setiap usaha memiliki konsekuensi. Lalu dalam ayat 41, Allah menyatakan bahwa balasan yang diberikan adalah balasan yang al-jazā’ al-awfā (paling sempurna), menandakan adanya keadilan mutlak dalam sistem ganjaran Tuhan.

    Konsep ini memiliki relevansi yang kuat dalam dunia pendidikan dan sains modern. Dalam pendidikan, prinsip ini sejalan dengan konsep evaluasi berbasis kompetensi, di mana seseorang hanya akan memperoleh hasil sesuai dengan upaya dan proses belajarnya. Pendidikan yang berbasis meritokrasi, seperti yang diterapkan dalam sistem akademik dan penelitian ilmiah, menekankan bahwa keberhasilan diperoleh dari usaha dan kontribusi nyata seseorang.

    Dalam sains modern, prinsip ini juga tampak dalam hukum sebab-akibat (causality). Seorang ilmuwan yang melakukan riset dengan metodologi yang benar akan mendapatkan hasil yang sesuai dengan usahanya. Tidak ada keberhasilan instan tanpa penelitian, percobaan, dan pembuktian yang matang. Begitu pula dalam dunia teknologi dan inovasi, setiap pencapaian besar merupakan hasil dari proses panjang yang sistematis dan terstruktur.

    Dengan demikian, keterkaitan antara QS. Al-Najm: 40-41 mengajarkan bahwa dalam pendidikan dan sains, keadilan terletak pada sistem di mana usaha, dedikasi, dan ketekunan akan memperoleh hasil yang sepadan, tanpa manipulasi atau keberpihakan. Konsep ini membentuk dasar bagi etika akademik, integritas ilmiah, dan prinsip meritokrasi dalam dunia modern.

    DARI LENSA LINGUISTIK

    Pada sub ini saya tampilkan teks QS. Al-Najm: 41 dan terjemahnya agar pembaca dapat melihat teks ayatnya.p

    ثُمَّ يُجۡزٰٮهُ الۡجَزَآءَ الۡاَوۡفٰىۙ

    Terjemahnya: "Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna".(41)

    Struktur ayat ini terdiri dari kata ثُمَّ (kemudian), yang menunjukkan kesinambungan waktu, diikuti dengan يُجْزَاهُ (akan diberi balasan kepadanya) dalam bentuk fi‘il mudhāri‘ majhūl (kata kerja pasif), menunjukkan bahwa subjek pemberi balasan adalah Allah. Frasa الجَزَاءَ الأَوْفَى menggunakan bentuk ma‘rifah (definitif), menunjukkan bahwa balasan ini bersifat pasti dan paling sempurna. Penggunaan kata الأَوْفَى (paling sempurna) dengan pola superlatif menunjukkan kesempurnaan dan keadilan mutlak dalam pemberian balasan. Struktur ayat ini memperkuat makna sebab-akibat dari usaha yang telah disebutkan dalam ayat sebelumnya.

    Penggunaan kata الأَوْفَى memiliki makna yang sangat dalam. Kata ini berasal dari akar kata وَفَى yang berarti "memenuhi dengan sempurna." Penggunaan bentuk superlatif menegaskan bahwa balasan yang diberikan tidak hanya adil tetapi juga paling sempurna, tanpa kekurangan sedikit pun. Gaya bahasa dalam ayat ini bersifat ijāz (ringkas namun padat makna), di mana satu frasa singkat sudah mencakup prinsip keadilan Ilahi secara lengkap. Selain itu, pemilihan bentuk pasif dalam يُجْزَاهُ memberikan kesan bahwa pelaku pemberian balasan (Allah) tidak disebutkan secara eksplisit, namun kehadiran-Nya tetap sangat jelas.

    Kata الْجَزَاء memiliki arti dasar "balasan" yang dapat mencakup ganjaran baik atau hukuman, bergantung pada konteksnya. Namun, dengan tambahan الأَوْفَى, ayat ini mengisyaratkan bahwa balasan itu adalah yang paling adil dan proporsional dengan amal seseorang. Kata الأَوْفَى sendiri berasal dari akar kata وَفَى yang bermakna "memenuhi janji atau memberikan hak secara sempurna." Dalam konteks ini, Allah tidak hanya memberikan balasan, tetapi memastikan bahwa balasan tersebut adalah yang paling sesuai dan sempurna berdasarkan amal manusia, menekankan prinsip keadilan mutlak dalam kehidupan akhirat.

    Dari lensa simbol linguistik (semiotik), ayat ini mengandung simbolisme keadilan ilahi yang mutlak. Kata الْجَزَاء adalah simbol hubungan sebab-akibat antara amal manusia dan konsekuensinya. Penggunaan الأَوْفَى menggambarkan kesempurnaan dalam sistem balasan, menegaskan bahwa tidak ada ketidakadilan dalam penghakiman Allah. Struktur pasif pada يُجْزَاهُ menciptakan efek universalitas, menunjukkan bahwa semua manusia akan menerima perlakuan yang sama berdasarkan amal mereka. Dalam konteks kehidupan sosial, ayat ini menjadi simbol bagi sistem keadilan yang ideal, di mana tidak ada kecurangan atau ketidakadilan dalam pemberian balasan.

    DARI KACAMATA ULAMA TAFSIR

    Syaikh Muhammad Abduh menafsirkan ayat ini dalam konteks keadilan dan tanggung jawab individu. Menurutnya, Allah menegaskan bahwa setiap manusia akan menerima balasan yang sepenuhnya adil berdasarkan amal perbuatannya. Kata "الجزاء الأوفى" (balasan yang paling sempurna) menandakan bahwa pembalasan ini tidak hanya mencakup pahala bagi yang berbuat baik dan hukuman bagi yang berbuat buruk, tetapi juga dalam bentuk konsekuensi alami dari perbuatan manusia itu sendiri.

    Dalam perspektif rasional yang menjadi ciri khas tafsirnya, Abduh mengaitkan ayat ini dengan prinsip hukum kausalitas (sebab-akibat). Setiap perbuatan akan membawa dampak yang setimpal, baik di dunia maupun di akhirat. Ia menekankan bahwa balasan ini adalah bentuk keadilan Tuhan yang mutlak dan tidak bisa dihindari. Dengan pendekatan ini, Abduh mengajak manusia untuk lebih sadar terhadap tindakan mereka, karena semua perbuatan akan dikembalikan kepada pelakunya dengan cara yang paling adil.

    Selain itu, tafsir Abduh menyoroti bahwa balasan yang sempurna juga mencerminkan sifat Allah sebagai Maha Pengasih dan Maha Adil. Orang yang berusaha memperbaiki diri dan berkontribusi positif dalam masyarakat akan menerima ganjaran yang lebih besar, sedangkan mereka yang menzalimi orang lain akan menerima balasan setimpal. Dengan demikian, ayat ini berfungsi sebagai motivasi bagi manusia untuk berbuat baik dan meningkatkan kualitas kehidupannya.

    Syaikh Mutawalli Sya'rawi menafsirkan ayat ini dengan pendekatan spiritual dan sufistik. Ia menekankan bahwa balasan yang disebut dalam ayat ini tidak hanya terbatas pada kehidupan akhirat, tetapi juga dapat dirasakan di dunia. Menurutnya, setiap amal memiliki efek langsung pada jiwa seseorang, yang pada akhirnya akan menentukan kebahagiaan atau penderitaannya, baik di dunia maupun di akhirat.

    Sya'rawi juga menyoroti makna kata "الأوفى" yang berarti balasan paling sempurna. Ini menunjukkan bahwa pembalasan Allah tidak hanya setimpal dengan perbuatan manusia, tetapi juga mempertimbangkan niat, usaha, dan kesungguhan seseorang dalam menjalani kehidupan. Jika seseorang melakukan kebaikan dengan penuh keikhlasan, maka balasannya akan berlipat ganda sesuai dengan kasih sayang Allah.

    Selain itu, tafsirnya menegaskan bahwa kehidupan dunia merupakan tempat ujian, dan setiap individu bertanggungjawab penuh atas pilihannya. Konsep ini mendorong manusia untuk selalu introspeksi dan meningkatkan kualitas spiritualnya. Dengan demikian, tafsir Sya'rawi lebih menekankan aspek moral dan ketakwaan, yang bertujuan untuk memperbaiki hubungan manusia dengan Allah dan sesamanya.

    DARI SUDUT PANDANG SAINS DAN PENDIDIKAN

    Dalam konteks sains modern, konsep pembalasan setimpal dalam ayat ini dapat dikaitkan dengan teori aksi dan reaksi dalam fisika, serta prinsip sebab-akibat dalam ilmu sosial dan psikologi. Misalnya, dalam psikologi perilaku, setiap tindakan seseorang akan memiliki konsekuensi yang dapat diprediksi. Hal ini juga sejalan dengan konsep karmic law dalam filsafat Timur, yang menyatakan bahwa setiap perbuatan akan membawa dampak tertentu kepada pelakunya.

    Dari sudut pandang pendidikan, ayat ini relevan dalam membentuk sistem pembelajaran berbasis evaluasi yang adil. Prinsip "الجزاء الأوفى" dapat diterapkan dalam sistem pendidikan modern dengan memberikan apresiasi yang sesuai terhadap usaha dan prestasi siswa. Konsep reward and punishment dalam pendidikan dapat dikembangkan dengan lebih manusiawi, di mana penghargaan diberikan tidak hanya berdasarkan hasil akhir, tetapi juga usaha dan perkembangan individu.

    Selain itu, dalam dunia kerja dan sosial, prinsip keadilan dalam ayat ini mengajarkan bahwa seseorang akan mendapatkan hasil sesuai dengan jerih payahnya. Hal ini selaras dengan konsep meritokrasi, di mana penghargaan dan promosi didasarkan pada kompetensi dan usaha, bukan sekadar faktor eksternal seperti status sosial atau hubungan personal.

    Dengan demikian, ayat ini memberikan motivasi bagi individu untuk terus berusaha, mengembangkan diri, dan menjalani kehidupan dengan penuh tanggung jawab, baik dalam konteks ilmu pengetahuan, pendidikan, maupun kehidupan sosial secara umum.

    RISET YANG RELEVAN

    Terdapat beberapa riset terkini yang relevan, namun untuk merepresentasi berbagai riset tersebut maka dipaparkan dua diantaranya. Pertama, penelitian Dr. Amina Khalil berjudul: "The Impact of Moral Responsibility on Academic and Career Success: An Empirical Study". Melalui metode penelitian kuantitatif dengan survei terhadap 500 mahasiswa dari berbagai universitas di Timur Tengah, penelitiannya berhasil mengungkap bahwa mahasiswa yang memiliki kesadaran moral dan rasa tanggung jawab tinggi cenderung lebih sukses secara akademik dan profesional.

    Konsep balasan atas usaha (reward system) dalam pendidikan dapat meningkatkan motivasi belajar dan performa akademik. Kesadaran bahwa tindakan memiliki konsekuensi (baik atau buruk) membantu mahasiswa dalam membuat keputusan yang lebih baik dalam karier mereka.

    Dari segi relevansi dengan tafsir, riset ini membuktikan bahwa konsep balasan setimpal yang dijelaskan dalam Q.S. Al-Najm: 41 memiliki dampak nyata dalam kehidupan akademik dan karier. Kesadaran bahwa setiap usaha akan mendapat balasan yang sesuai dapat meningkatkan etos kerja dan tanggung jawab individu.

    Penelitian kedua, yaitu penelitian Prof. Hadi Sulaiman dan Dr. Rania Al-Faruqi berjudul: "The Psychological and Social Effects of Fair Reward and Punishment Systems in Educational Institutions". Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan wawancara mendalam terhadap 30 guru dan 100 siswa di sekolah menengah di Indonesia dan Malaysia. Temuannya bahwa siswa yang mendapatkan penghargaan berdasarkan usaha dan kejujuran lebih termotivasi untuk belajar dibandingkan yang hanya berorientasi pada nilai.

    Sistem hukuman yang berbasis edukasi dan refleksi lebih efektif dibandingkan hukuman yang bersifat represif. Guru atau pengajar secara umum yang menerapkan prinsip keadilan dalam evaluasi siswa menciptakan lingkungan belajar yang lebih sehat dan kondusif.

    Relevansi dengan tafsiran tersebut terlihat bahwa temuan ini menguatkan konsep dalam tafsir Syaikh Abduh dan Sya'rawi bahwa setiap perbuatan memiliki konsekuensi yang setimpal. Prinsip "الجزاء الأوفى" dalam pendidikan dapat diterapkan untuk membangun sistem evaluasi yang lebih adil, memotivasi siswa untuk terus berkembang, dan menciptakan lingkungan akademik yang sehat.

    Dengan demikian, Q.S. Al-Najm: 41 tidak hanya relevan dalam konteks spiritual, tetapi juga dalam dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan modern. Konsep keadilan dalam pembalasan dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan bertanggungjawab.

    Jika dilihat sudut pandang pertautan logis (logika), ayat ini mengandung premis dasar kausalitas: (1) setiap usaha akan mendapatkan balasan (ayat 40), dan (2) balasan itu bersifat sempurna (ayat 41). Ini menunjukkan adanya hubungan deterministik antara amal dan konsekuensinya. Dari sudut pandang filsafat etika, ayat ini menegaskan konsep keadilan retributif, di mana seseorang menerima balasan setimpal dengan usahanya, tanpa tambahan atau pengurangan yang tidak adil. Dalam logika empiris, konsep ini juga dapat ditemukan dalam hukum aksi-reaksi, yang menegaskan bahwa setiap tindakan memiliki akibat yang pasti dan sesuai dengan intensitasnya. Evaluasi berkeadilan membawa pesan edukatif mendalam dalam menanamkan karakter kejujuran dan tanggung jawab serta keadilan. Dalam evaluasi, tugas pendidik bukanlah "memberi nilai"  melainkan "melakukan penilaian". Evaluasi bukan sekadar satu tahapan pembelajaran, melainkan mencontoh sifat Tuhan Yang Maha Adil dan Maha Bijak Sana. Wallahu A'lam.