BLANTERORBITv102

    KETIKA TERJADI GERHANA

    Rabu, 26 Mei 2021

    Penulis: Muhamad Yusuf

    Ketika Terjadi Gerhana  

    Berdasarkan data astronomi, pada hari Rabu, 26/05/2021 ini akan terjadi gerhana bulan total atau khusuful qamar yang diperkirakan akan berlangsung pada waktu yang saya sudah tuliskan sebagaimana pada catatan sebelum ini.

    Sehubungan dengan fenomena gerhana bulan tersebut, Kementerian Agama (Kemenag) melalui Ditjen Bimas Islam mengimbau umat Islam agar melakukan shalat sunnah gerhana secara berjamaah. Demikian pula Surat Himbauan Pemerintah khususnya Walikota Makassar.

    Menurutnya, sesuai tuntunan Nabi Muhammad Saw., umat Islam sangat dianjurkan (sunah muakkadah) untuk melakukan salat gerhana bulan, walaupun dalam posisi gerhana bulan sebagian. Apalagi ini menurut para ahli terjadi gerhana bulan yang total.

    Mempertimbangkan waktu terbit Bulan di masing-masing daerah, maka Shalat Gerhana dilakukan setelah sesuai dengan posisi wilayah masing-masing. Ini adalah ayat kauniyah (fenomena alam), yang menunjukkan kebesaran Allah Swt. Dalam merespon bukti kebesaran Allah Swt. tersebut, umat Islam dianjurkan mengerjakan amalan-amalan yang baik.

    Amalan Ketika Terjadi Gerhana.

    Pertama: perbanyaklah dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan bentuk ketaatan lainnya.

    Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

    “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari no. 1044)

    Kedua: keluar mengerjakan shalat gerhana secara berjama’ah di masjid.

    Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini sebagaimana dalam hadits dari ’Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengendari kendaraan di pagi hari lalu terjadilah gerhana. Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melewati kamar istrinya (yang dekat dengan masjid), lalu beliau berdiri dan menunaikan shalat. (HR. Bukhari no. 1050). Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mendatangi tempat shalatnya (yaitu masjidnya) yang biasa dia shalat di situ. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 343)

    Ibnu Hajar mengatakan, ”Yang sesuai dengan ajaran Nabi Saw. adalah mengerjakan shalat gerhana di masjid. Seandainya tidak demikian, tentu shalat tersebut lebih tepat dilaksanakan di tanah lapang agar nanti lebih mudah melihat berakhirnya gerhana.” (Fathul Bari, 4: 10)

    Apakah mengerjakan dengan jama’ah merupakan syarat salat gerhana?

    Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan, ”Shalat gerhana secara jama’ah bukanlah syarat. Jika seseorang berada di rumah, dia juga boleh melaksanakan shalat gerhana di rumah. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi Saw.

    فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا

    “Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka salatlah”. (HR. Bukhari no. 1043)

    Dalam hadits ini, beliau Saw. tidak mengatakan, ”(Jika kalian melihatnya), salatlah kalian di masjid.” Oleh karena itu, hal ini menunjukkan bahwa shalat gerhana diperintahkan untuk dikerjakan walaupun seseorang melakukan shalat tersebut sendirian. Namun, tidak diragukan lagi bahwa menunaikan shalat tersebut secara berjama’ah tentu saja lebih utama (afdhal). Bahkan lebih utama jika shalat tersebut dilaksanakan di masjid karena Nabi Saw. mengerjakan shalat tersebut di masjid dan mengajak para sahabat untuk melaksanakannya di masjid. Ingatlah, dengan banyaknya jama’ah akan lebih menambah kekhusu’an. Dan banyaknya jama’ah juga adalah sebab terijabahnya (terkabulnya) do’a.” (Syarhul Mumthi’, 2: 430)

    Ketiga: wanita juga boleh shalat gerhana bersama kaum pria

    Dari Asma` binti Abi Bakr, beliau berkata,

    أَتَيْتُ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – زَوْجَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ ، فَإِذَا النَّاسُ قِيَامٌ يُصَلُّونَ ، وَإِذَا هِىَ قَائِمَةٌ تُصَلِّى فَقُلْتُ مَا لِلنَّاسِ فَأَشَارَتْ بِيَدِهَا إِلَى السَّمَاءِ ، وَقَالَتْ سُبْحَانَ اللَّهِ . فَقُلْتُ آيَةٌ فَأَشَارَتْ أَىْ نَعَمْ

    “Saya mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha -isteri Nabi Saw.- ketika terjadi gerhana matahari. Saat itu manusia tengah menegakkan salat. Ketika Aisyah turut berdiri untuk melakukan sholat, saya bertanya: “Kenapa orang-orang ini?” Aisyah mengisyaratkan tangannya ke langit seraya berkata, “Subhanallah (Maha Suci Allah)”. Saya bertanya: “Tanda (gerhana)?” Aisyah lalu memberikan isyarat untuk mengatakan iya.” (HR. Bukhari no. 1053).

    Bukhari membawakan hadis ini pada bab:

    صَلاَةِ النِّسَاءِ مَعَ الرِّجَالِ فِى الْكُسُوفِ

    “Salat wanita bersama kaum pria ketika terjadi gerhana matahari.”

    Ibnu Hajar mengatakan,

    أَشَارَ بِهَذِهِ التَّرْجَمَة إِلَى رَدّ قَوْل مَنْ مَنَعَ ذَلِكَ وَقَالَ : يُصَلِّينَ فُرَادَى

    “Judul bab ini adalah sebagai sanggahan untuk orang-orang yang melarang wanita tidak boleh shalat gerhana bersama kaum pria, mereka hanya diperbolehkan shalat sendiri.” (Fathul Bari, 4: 6)

    Singkatnya, wanita boleh ikut serta melakukan shalat gerhana bersama kaum pria di masjid. Namun, jika ditakutkan keluarnya wanita tersebut akan membawa fitnah (menggoda kaum pria), maka sebaiknya mereka shalat sendiri di rumah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 345)

    Keempat: menyeru jama’ah dengan panggilan ’ash sholatu jaami’ah’ dan tidak ada adzan maupun iqamah.

    Dari ’Aisyah r.a., beliau mengatakan,

    أنَّ الشَّمس خَسَفَتْ عَلَى عَهْدِ رَسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَبَعَثَ مُنَادياً يُنَادِي: الصلاَةَ جَامِعَة، فَاجتَمَعُوا. وَتَقَدَّمَ فَكَبرَّ وَصلَّى أربَعَ رَكَعَاتٍ في ركعَتَين وَأربعَ سَجَدَاتٍ.

    “Aisyah r.a. menuturkan bahwa pada zaman Nabi Saw. pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk memanggil jama’ah dengan: ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.” (HR. Muslim no. 901) . Dalam hadits ini tidak diperintahkan untuk mengumandangkan adzan dan iqamah. Jadi, adzan dan iqamah tidak ada dalam shalat gerhana.

    Kelima: berkhutbah setelah salat gerhana

    Disunnahkan setelah shalat gerhana untuk berkhutbah, sebagaimana yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Ishaq, dan banyak sahabat (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 435). Hal ini berdasarkan hadis:

    عَنْ عَائِشةَ رَضي الله عَنْهَا قَالَتْ: خَسَفَتِ الشمسُ عَلَى عَهدِ رَسُول الله صلى الله عليه وسلم. فَقَامَ فَصَلَّى رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم بالنَّاس فَأطَالَ القِيَام، ثُمَّ رَكَعَ فَأطَالَ الرُّكُوعَ، ثُمَّ قَامَ فَأطَالَ القيَامَ وَهو دُونَ القِيَام الأوَّلِ، ثم رَكَعَ فَأطَالَ الرُّكوعَ وهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأوَّلِ، ثُم سَجَدَ فَأطَالَ السُّجُودَ، ثم فَعَلَ في الركعَةِ الأخْرَى مِثْل مَا فَعَل في الركْعَةِ الأولى، ثُمَّ انصرَفَ وَقَدْ انجَلتِ الشَّمْسُ، فَخَطبَ الناسَ فَحَمِدَ الله وأثنَى عَليهِ ثم قالَ:

    ” إن الشَّمس و القَمَر آيتانِ مِنْ آيَاتِ الله لاَ تنْخَسِفَانِ لِمَوتِ أحد. وَلاَ لِحَيَاتِهِ. فَإذَا رَأيتمْ ذلك فَادعُوا الله وَكبروا وَصَلُّوا وَتَصَدَّ قوا”.

    ثم قال: ” يَا أمةَ مُحمَّد ” : والله مَا مِنْ أحَد أغَْيَرُ مِنَ الله سُبْحَانَهُ من أن يَزْنَي عَبْدُهُ أوْ تَزني أمَتُهُ. يَا أمةَ مُحَمد، وَالله لو تَعْلمُونَ مَا أعلم لضَحكْتُمْ قَليلاً وَلَبَكَيتم كثِيراً “.

    Dari Aisyah, beliau menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah Saw. Lantas beliau Saw. bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemudian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya, beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan salat tadi), sedangkan matahari telah nampak.

    Setelah itu beliau berkhotbah di hadapan orang banyak, beliau memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersabda,

    “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah salat dan bersedekahlah.”

    Nabi selanjutnya bersabda,

    “Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah karena ada seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan yang berzina. Wahai Umat Muhammad, demi Allah, jika kalian mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (HR. Bukhari, no. 1044)

    Khutbah yang dilakukan adalah dua kali khutbah sebagaimana pada Khutbah Jumat dan Khutbah Ied. (Kifayatul Akhyar, hal. 202).

    Tata Cara Shalat Gerhana

    Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua raka’at dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun, para ulama berselisih mengenai tata caranya.

    Ada yang mengatakan bahwa shalat gerhana dilakukan sebagaimana shalat sunnah biasa, dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada sekali ruku’, dua kali sujud. Ada juga yang berpendapat bahwa shalat gerhana dilakukan dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada dua kali ruku’, dua kali sujud. Pendapat yang terakhir inilah yang lebih kuat sebagaimana yang dipilih oleh mayoritas ulama. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 435-437)

    Hal ini berdasarkan hadits-hadits tegas yang telah kami sebutkan:

    “Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi Saw. pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk menyeru ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at. (HR. Muslim no. 901)

    “Aisyah menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah Saw. Lantas beliau Saw. bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemudian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan salat tadi), sedangkan matahari telah nampak.” (HR. Bukhari, no. 1044)

    Ringkasnya, tata cara shalat gerhana -sama seperti shalat biasa dan bacaannya pun sama-, urutannya sebagai berikut.

    [1] Berniat di dalam hati dan tidak dilafalkan karena melafalkan niat termasuk perkara yang tidak ada tuntunannya dari Nabi Saw. dan beliau Saw. juga tidak pernah mengajarkannya lafadz niat pada salat tertentu kepada para sahabatnya.

    [2] Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana salat biasa.

    [3] Membaca do’a istiftah dan berta’awudz, kemudian membaca surat Al-Fatihah dan membaca surat yang panjang (seperti surat Al-Baqarah) sambil dijaharkan (dikeraskan suaranya, bukan lirih) sebagaimana terdapat dalam hadits Aisyah:

    جَهَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فِى صَلاَةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ

    “Nabi Saw. menjaherkan bacaannya ketika salat gerhana.” (HR. Bukhari no. 1065 dan Muslim no. 901)

    [4] Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.

    [5] Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan ’SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD’

    [6] Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang. Berdiri yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.

    [7] Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.

    [8] Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal).

    [9] Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali.

    [10] Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.

    [11] Tasyahud.

    [12] Salam.

    [13] Setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada para jama’ah yang berisi anjuran untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, sedekah, dan membebaskan budak. (Lihat Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 349-356, Darul Fikr dan Shahih Fiqih Sunnah, 1: 438).

    Penutup

    Gerhana bulan adalah fenomena alam (ayat kauniyah). Dalam merespon fenomena tersebut, umat Islam dianjurkan atau disunatkan melakukan salat sunnat gerhana bulan sebagaimana tata cara yang telah diterangkan  di atas. Dilanjutkan dengan khutbah yang berisi himbauan untuk bertakwa, beristigfar, berzikir, bertasbih, bertakbir, dan bersedekah serta memerdekakan hamba sahaya. Silahkan amalkan, semoga Anda bahagia di dunia dan di akhirat!

    Wallahu A'lam