Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.
Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar
Pertautan Konseptual
Dalam Surah az-Zariyat ayat 58, Allah menegaskan bahwa Dia adalah Maha Pemberi Rezeki dan memiliki kekuatan yang sangat kokoh:
إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
Terjemahnya: "Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan yang sangat kokoh."
Ayat ini mengajarkan bahwa Allah adalah sumber segala keberlimpahan, baik dalam aspek material maupun intelektual. Dalam konteks pendidikan dan sains modern, ayat ini menegaskan bahwa ilmu, teknologi, dan inovasi pada dasarnya adalah rezeki yang diberikan Allah kepada manusia. Proses belajar, meneliti, dan mengembangkan sains harus berlandaskan pada kesadaran bahwa ilmu adalah amanah dari-Nya dan harus digunakan dengan tanggung jawab moral.
Selanjutnya, ayat 59 mengingatkan bahwa orang-orang yang berbuat zalim akan mendapatkan hukuman sebagaimana umat-umat terdahulu yang menentang kebenaran. Ini memiliki korelasi kuat dalam dunia pendidikan dan sains. Ketika ilmu digunakan untuk kepentingan yang tidak etis—seperti eksploitasi sumber daya tanpa batas, penyalahgunaan teknologi, atau penyebaran hoaks berbasis sains—maka kehancuran akan menjadi konsekuensi yang pasti.
Pendidikan yang tidak didasarkan pada nilai-nilai moral dan etika dapat menyebabkan ketidakadilan, baik dalam distribusi ilmu maupun penerapannya. Seperti umat-umat terdahulu yang menolak kebenaran dan dihancurkan, masyarakat modern yang mengabaikan prinsip keadilan dalam sains dan pendidikan juga akan menghadapi akibat buruk.
Dengan demikian, ayat 58 dan 59 berhubungan secara konseptual (tanasub), di mana rezeki berupa ilmu harus digunakan secara benar. Jika disalahgunakan dengan kezhaliman, maka kehancuran akan menjadi balasannya, sebagaimana yang telah terjadi pada umat-umat sebelumnya.
Analisis Kebahasaan
فَاِنَّ لِلَّذِيْنَ ظَلَمُوْا ذَنُوْبًا مِّثْلَ ذَنُوْبِ اَصْحٰبِهِمْ فَلَا يَسْتَعْجِلُوْنِ ٥٩
Terjemahnya: "Sesungguhnya orang-orang yang zalim mendapatkan bagian (azab) seperti bagian teman-teman mereka (dahulu). Maka, janganlah mereka meminta kepada-Ku untuk menyegerakan(-nya)" (59).
Struktur ayat ini terdiri dari dua bagian utama: (1) pernyataan tentang hukuman bagi orang-orang zalim dan (2) peringatan agar mereka tidak meminta disegerakan azab tersebut. Kalimat pertama diawali dengan fa’ inna, yang menunjukkan hubungan sebab akibat, menegaskan bahwa orang zalim akan menerima hukuman sebagaimana umat terdahulu. Kata dzanūb berarti "bagian" dan dalam konteks ini merujuk pada hukuman yang sepadan. Kalimat kedua diawali dengan fa-lā yasta‘jilūn, berbentuk larangan, yang mengingatkan mereka untuk tidak menantang Allah dalam menurunkan azab. Struktur ayat ini menunjukkan kesinambungan antara kepastian hukuman dan larangan menantang azab, menciptakan efek peringatan yang kuat bagi pendengar atau pembacanya.
Letak keindahan ayat ini, yaitu ketika menggunakan tasybih (perumpamaan) dalam frasa dzanūb[an] mithla dzanūbi asḥābihim, yang menyamakan azab orang zalim dengan umat terdahulu, memberikan efek penguatan. Selain itu, terdapat uslūb ta’kīd (gaya penguatan) dengan penggunaan inna, yang menegaskan kepastian azab. Frasa fa-lā yasta‘jilūn mengandung irony (iltifat), karena orang zalim sering kali menantang datangnya azab, padahal mereka seharusnya takut. Penyusunan ayat ini juga menunjukkan muhākāt (pengulangan makna secara halus) melalui penggunaan kata dzanūb dua kali, yang mempertegas hubungan antara azab masa lalu dan masa depan. Secara keseluruhan, ayat ini memiliki gaya bahasa yang kuat, peringatan tegas, dan efek retoris yang mendalam.
Kata dzanūb berasal dari akar kata ذ-ن-ب yang berarti "bagian" atau "nasib buruk akibat perbuatan". Dalam konteks ayat ini, ia merujuk pada hukuman atau siksaan akibat kezaliman. Penggunaan kata ashḥābihim menunjukkan bahwa hukuman ini bukan fenomena baru, tetapi telah terjadi sebelumnya. Frasa fa-lā yasta‘jilūn memiliki makna implisit bahwa azab akan datang pada waktunya, sehingga tidak perlu dipercepat atau ditantang. Semantik ayat ini menegaskan hukum sebab-akibat, di mana kezaliman pasti berujung pada azab sebagaimana yang telah menimpa kaum sebelumnya. Dengan demikian, ayat ini memberi peringatan keras melalui hubungan makna antara kezaliman dan konsekuensinya yang tidak terelakkan.
Secara semiotik, ayat ini memuat tanda-tanda hukuman Allah sebagai konsekuensi dari kezaliman. Kata "dzanūb" bukan sekadar "bagian", tetapi secara simbolis merujuk pada takdir kehancuran akibat dosa. Penyebutan "ashḥābihim" (teman-teman mereka) tidak menyebut nama secara spesifik, tetapi merujuk pada umat terdahulu yang telah dibinasakan, seperti kaum ‘Ād dan Tsamūd, yang menjadi simbol kehancuran akibat kezaliman. Frasa "fa-lā yasta‘jilūn" menunjukkan adanya tantangan dari orang-orang zalim terhadap ketetapan Allah, yang dalam semiotika menunjukkan sifat kesombongan manusia dalam menghadapi kebenaran. Secara keseluruhan, ayat ini sarat dengan tanda-tanda peringatan bagi manusia agar mengambil pelajaran dari sejarah dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Penjelasan Ulama
Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kashshaf menyoroti bahwa ayat ini menegaskan keadilan Allah dalam membalas kezaliman. Kata ذَنُوْبًا merujuk pada porsi azab yang setimpal dengan dosa mereka, sebagaimana umat terdahulu dihancurkan akibat kezaliman mereka. Al-Zamakhsyari juga menyoroti aspek balasan yang terukur, bukan hukuman sewenang-wenang. Ia menekankan bahwa penundaan azab bukan berarti Allah lalai, tetapi merupakan bentuk kebijaksanaan-Nya agar manusia memiliki kesempatan untuk bertaubat.
Dalam Fi Zhilal al-Qur’an, Sayyid Qutb melihat ayat ini sebagai peringatan bagi para tiran bahwa mereka tidak akan terhindar dari hukuman Allah. Ia mengaitkannya dengan hukum sebab-akibat dalam sejarah, di mana bangsa-bangsa yang zalim selalu mengalami kehancuran. Qutb juga menyoroti urgensi kesabaran dalam menghadapi kezaliman serta ketidakmungkinan mempercepat atau memperlambat ketetapan Allah. Baginya, ayat ini bukan hanya ancaman, tetapi juga dorongan bagi kaum tertindas untuk tetap teguh dalam iman.
Sains Modern dan Pendidikan
Dari perspektif sains sosial dan psikologi moral, kezaliman dapat dikaitkan dengan teori keadilan restoratif. Studi tentang moral disengagement (Albert Bandura) menunjukkan bahwa individu yang berbuat zalim sering kali menjustifikasi tindakan mereka hingga akhirnya menerima konsekuensi negatif. Secara historis, peradaban yang menindas rakyatnya cenderung mengalami kehancuran, seperti dalam studi Arnold Toynbee tentang siklus peradaban.
Dalam sains alam, ayat ini relevan dengan konsep keseimbangan ekologi dan hukum sebab-akibat dalam fisika (aksi-reaksi). Misalnya, eksploitasi sumber daya secara zalim dapat berujung pada bencana ekologi yang menghancurkan peradaban itu sendiri.
Dalam pendidikan moral, ayat ini dapat digunakan untuk mengajarkan pentingnya keadilan dan konsekuensi dari tindakan. Kurikulum pendidikan karakter menekankan bahwa pelajar harus memahami akibat dari perilaku mereka terhadap lingkungan sosial dan alam. Di era digital, fenomena cyberbullying juga mencerminkan bagaimana kezaliman dapat berujung pada konsekuensi sosial dan psikologis yang berat.
Selain itu, prinsip kesabaran dalam menghadapi ketidakadilan dapat diterapkan dalam pendidikan resilensi, yang bertujuan membentuk individu agar mampu menghadapi tantangan hidup tanpa menyerah pada kezaliman atau dendam.
Riset yang Relevan
Terdapat penelitian yang dilakukan Dr. Sarah Ahmede berjudul "The Psychological Impact of Injustice and the Role of Faith in Resilience" memiliki relevansi. Penelitian ini menerapkan studi kualitatif dengan wawancara terhadap 50 korban ketidakadilan sosial di Timur Tengah. Studi ini menemukan bahwa individu yang memiliki keyakinan kuat terhadap keadilan Tuhan lebih mampu mengatasi trauma akibat kezaliman. Konsep penundaan keadilan (delayed justice) dalam agama membantu individu tetap optimis meskipun mengalami ketidakadilan di dunia.
Selain itu, terapat pula penelitian Prof. James Thompson bertajuk "Environmental Destruction as a Consequence of Social Injustice: A Historical Perspective dengan menerapkan analisis data historis dan studi kasus dari 10 peradaban yang runtuh akibat eksploitasi sumber daya secara zalim telah menunjukkan hasil penelitian bahwa peradaban yang mengeksploitasi sumber daya secara tidak adil, seperti Romawi dan Maya, mengalami kehancuran ekologis yang berkontribusi pada keruntuhan mereka. Ini menunjukkan korelasi antara kezaliman manusia dan akibat yang ditimbulkannya, sebagaimana ditegaskan dalam ayat ini. Penelitian ini memperkuat pemahaman bahwa konsekuensi dari kezaliman tidak hanya bersifat metafisik tetapi juga memiliki dampak empiris dalam sejarah dan sains sosial.
0 komentar