Oleh Muhammad Yusuf
Saya tertarik dengan terma "Darurat Nalar Kritis" yang diperkenalkan oleh Agus Wibowo Direktur* Pendidikan SEEB Institute Dosen FE Universitas Negeri Jakarta dalam subtema pada sebuah Opini. Saya sudah lama mengenal istilah darurat dalam istilah hukum fiqh, darurat narkoba, emergensi dalam kesehatan. Bahkan akhir-akhir ini dikenal istilah darurat "akal sehat". Istilah yang terakhir ini mungkin lebih dekat dengan "darurat nalar kritis'.
Namun, darurat "akal sehat". Istilah akal sehat yang dipopulerkan oleh Rocky Gerung dimotivasi oleh obsesinya untuk beroposisi terhadap kemapanan dan kedunguan penguasa. Karena itu ia menjelaskan bahwa beroposisi terhadap kedangkalan berpikir rezim yang sedang berkuasa. Darurat nalar kritis' yang saya adaptasi di sini adalah dalam rangka membangun nalar akademik di kampus-kampus.
Apa kriteria sebuah kampus untuk disebut dalam darurat nalar kritis'? Dan, siapa paling berhak memastikan hal itu? Kalau pertanyaaan ini tidak mampu dijawab oleh kampus, maka saya makin yakin bahwa kampus benar-benar dalam kondisi "darurat nalar kritis'". Itu berarti kampus beroperasi tanpa kurikulum dalam rangka mempersiapkan masa depan. Tapi, asumsi awal saya semua kampus hadir untuk membangun dan mengaktifkan nalar kritis'. Hal inilah yang perlu diuji, apakah masih bertumbuh atau terjadi pendangkalan. Saya tidak ingin menggunakan istilah Rocky Gerung dengan istilah 'kedunguan'. Ini sensitif dan menyinggung perasaan. Saya hanya ingin menyentuh rasio, dan bukan rasa.
Kini, kini kita dan generasi millenial sedang digerogoti berbagai informasi melalu media teknologi informasi dan komunikasi, tidak terkecuali media sosial. Media sosial (medsos) dan media massa yang tanpa sadar mereka akses telah mengajari anak didik terampil mencela, menghina, dan menfitnah.
Nalar kritis' tidak bisa mengabaikan etika. Begitu pula etika tidak boleh menghalangi pertumbuhan nalar kritis.
Sayajngnya, saat ini kerap etika yang terbangun dalam afeksi generasi millenial menjadi pudar dan nyaris terlibas habis tak tersisa. Ironis sekali. Pada kondisi demikian, nalar kritis atau berpikir kritis sangat dibutuhkan, tidak hanya pada peserta didik (mahasiswa), tetapi juga bagi para dosen. Artinya, sebagai figur pendidik bangsa, para dosen harus netral dan bertumpu pada nalar kritis.Jangan sampai para akademisi malah menjadi oposisi yang mengambil bagian pada kerja share aneka hoax dan ujaran kebencian itu.Tugas dosen adalah membimbing dan mengajari mahasiswa untuk berpikir kritis, bukan malah menelan mentah-mentah apa yang mereka dengar, rasa, dan lihat. Mereka mesti dibimbing menjadi generasi kritis yang secara etis berpihak pada pikiran yang dapat ditakar secara ilmiah dan "scientific method".
Mengapa Darurat Nalar Kritis?
Gagasan darurat nalar kritis tidak terlepas dari hiruk-pikuk pesta demokrasi yang tidak dasarkan pada ethics dan value. Mulai pileg pilpres, dan pilkada yang diracuni oleh berbagai praktik many politics dan kecurangan. Maka nalar kritis dan etis berteriak histeris menyuarakan pemilu yang jujur dan adil (jurdil). Dalam pertarungan kecurangan dan hoax itulah gagasan darurat nalar kritis jauh sudah menjadi perbincangan serius pendidik di belahan dunia mana pun. Bahkan, sejak 1942, nalar kritis menjadi tujuan utama dalam pendidikan. Pertnyaannya, keberadaan kampus benarkah menjadi lembaga yang menghasilkan nalar kritis atau terbawa arus menjadi oposisi atau koalisi, ataukah bertahan menjadi akademisi yang kritis? Kalau Anda oposisi anda membangun logika terbalik dari kekuasaan. Jika anda koalisi kekuasaan maka anda berhadapan dengan rekan-rekan anda yang menjadi oposisi. Berbeda halnya apabila Anda konsisten menjadi akademisi maka Anda akan berpihak mendukung dan membangun nalar kritis. Hanya akademisi yang berprinsip membangun objektivitas dan nalar kritis. Darurat nalar kritis harus dijawab dari kampus oleh para akademisi. Akademisi tidak memiliki kebencian terhadap person dan privasi orang lain. Akan tetapi mereka mempunyai kepentingan besar terhadap nalar kritis.
Bagaimana para pakar melihatnya? Howard Gardner, lewat Five Minds for the Future (2007), menyebut darurat nalar kritis bagi anak bangsa di era digital.Akibat gempuran informasi digital, nalar kritis menjadi tersumbat rapat. Bagi anak didik termasuk mahasiswa, ketidakmampuan menalar kritis sangat berbahaya (Premana, 2010).Jangankan terhadap persoalan yang kompleks, mahasiswa akan sukar mengolah informasi meski pada level sangat sederhana sekalipun.Kegagalan menalar kritis juga membuat mereka mudah terdistorsi lantaran pijakan logikanya tidak kukuh.Itu disebabkan pengetahuan yang dimilikinya belum cukup untuk menilai dan menyaring informasi. Akibatnya muncul salah pengertian, perhitungan, dan salah mengambil keputusan.
Problem kebekuan nalar kritis, di masa akan datang, banyak memicu masalah.Pendidikan yang gagal melatih mahasiswa bernalar kritis akan menghasilkan pribadi yang sukar berdialog antar kelompok berbeda--karena yang ada hanya satu ide.
Dengan begitu, ruang gerak nalarnya menjadi sempit dan kerdil.Nalar kritis merupakan suatu aktivitas evaluatif untuk menghasilkan suatu simpulan (Cabrera, 1992).
Sementara itu, Gerhard (1971) menyebut nalar kritis sebagai suatu proses kompleks yang melibatkan penerimaan dan penguasaan data, analisis data, dan evaluasi data dengan mempertimbangkan aspek kualitatif dan kuantitatif serta melakukan seleksi atau membuat keputusan berdasarkan hasil evaluasi.Berpikir kritis diperlukan dalam rangka memecahkan suatu permasalahan sehingga diperoleh keputusan yang cepat dan tepat.
Sejalan dengan itu, hasil temuan Aditya (2013:1) dan Facione (2013:3) menunjukkan nalar kritis tidak hanya mendukung hasil belajar anak didik termasuk mahasiswa, tetapi juga perkembangan karier dan kehidupan mereka di masa depan.
Hal yang sama juga disampaikan Splitter (1991).Menurut Splitter, nalar kritis akan membuat anak didik mampu mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengonstruksi argumen serta mampu memecahkan masalah dengan tepat.Nalar kritis juga akan membuat anak didik mampu menolong dirinya atau orang lain dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi. Upaya untuk melatih nalar kritis pada mahasiswa. Lanjut Spitter, sampai saat ini sering luput dari perhatian dosen.Itu terlihat pada kegiatan pembelajaran yang lebih banyak memberi informasi, diikuti diskusi dan latihan menulis makalah, skripsi, tesis, disertasi, artikel ilmiah dengan frekuensi yang sangat terbatas. Belum lagi jika praktik tidak terpuji, transaksi karya ilmiah, atau tukar tambah hasil evaluasi pembelajaran yang kehilangan pedoman.
Hasil temuan Anderson et al, (1997); Bloomer (1998); Kember (1997), dan Soden R (2000), menunjukkan bahwa proses belajar mengajar pada praktiknya kurang mendorong pada pencapaian kemampuan peserta didik untuk bernalar kritis.Tidak hanya di bangku sekolah, tetapi juga perguruan tinggi (PT).Dua faktor penyebab nalar kritis tidak berkembang selama pendidikan ialah kurikulum yang umumnya dirancang dengan target materi yang luas sehingga dosen lebih terfokus pada penyelesaian materi dan kurangnya pemahaman dosen tentang metode pengajaran yang dapat meningkatkan kemampuan nalar kritis.
Jangankan perguruan tinggi, sekolahpun dituntut membangun nalar kritis. Kurikulum 2013 (kurtilas) mutakhir sudah menginstruksikan para guru agar mengajari anak didik bernalar kritis. Melalui pendekatan saintifik atau pendekatan berbasis proses keilmuan, anak didik diharapkan melakukan kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi/mencoba, menalar/mengasosiasi, dan mengomunikasikan.
Dalam kurtilas juga direkomendasikan pembelajaran langsung yang menghasilkan pengetahuan dan keterampilan langsung (instructional effect) dan pembelajaran tidak langsung, yaitu pembelajaran yang terjadi selama proses pembelajaran langsung yang dikondisikan menghasilkan dampak pengiring (nurturant effect).Para guru boleh memilih aneka model pembelajaran, seperti discovery learning, project-based learning, problem-based learning, dan inquiry learning. Kesemua model pembelajaran itu muaranya mengajari dan mengembangkan nalar kritis anak didik.
Hasil temuan Facione (2013:5) menunjukkan nalar kritis memiliki beberapa aspek, di antaranya: 1) anak didik mampu menginterpretasi, seperti mengategorikan dan menjelaskan maksud, 2) kemampuan analisis, seperti kemampuan menilai ide dan mengidentifikasi argumen, 3) kemampuan evaluasi, seperti membentuk kesimpulan dan mencari pembuktian, 4) kemampuan inference, seperti kemampuan menilai pendapat, (5) kemampuan explanation, seperti membenarkan kesimpulan dengan menunjukkan argumen, dan 6) kemampuan self-regulation, seperti mengoreksi diri.
Selanjutnya UNESCO (2006:35) merekomendasikan nalar kritis sebagai kunci pembelajaran aktif.Dalam pembelajaran aktif, anak didik selalu dilibatkan dalam segala kegiatan dan pemikiran mengenai apa yang sedang mereka lakukan.Singkatnya, pembelajaran aktif tidak sekadar mengarahkan dan menyampaikan informasi saja, tetapi juga mengembangkan kemampuan analisis dan nalar kritis anak didik.
Pembelajaran aktif menurut UNESCO setidaknya memiliki ciri-ciri: 1) semua anak didik terlibat secara aktif, 2) anak didik berpikir aktif, 3) mendorong rasa ingin tahu untuk bertanya, 4) anak didik mengekspresikan gagasannya, dan 5) anak didik dapat bersikap kritis
Jika sekolah saja mesti bertanggung jawab atas pembangunan nalar kritis, maka perguruan tinggi tentu mesti di garda terdepan sebagai penjaga nalar kritis.
Penelitian, penulisan karya ilmiah mahasiswa termasuk makalah, skripsi, tesis, disertasi, artikel bukan tujuan, melainkan momentum dan ajang melatih nalar kritis dan etis. Kritis karena ada teori, data, dan metodologi. Etis karena tidak ada pelanggaran etika ilmiah seperti pelagiat, tiruan, dibuatkan. Dan itu sudah dinyatakan dalam lembar pernyataan keaslian karya ilmiah. Konsekuensi pelanggarannya adalah gelar dan ijazah yang diperoleh batal demi hukum. Demikian yang dibuat secara sadar disertai tanda tangan bermaterai. Itu berarti seluruh proses dan isinya merupakan sah.
***
Samata, 15/1/2021
Salam nalar kritis.
Assalamu'alaikum.Sukses selalu saya selalu mengikuti setiap ada tulisan yang baru dari Pak Doktor.Enak nyaman SEMUA TULISANYA.menambah ilmu dan wawasan serta mengajak kita lebih dekat pada Allah SWT.wslm.bahar.
BalasHapusDi tunggu ulasan yg baru.
BalasHapus