BLANTERORBITv102

    BERKATALAH YANG BAIK ATAU DIAMLAH

    Sabtu, 02 Agustus 2025

    Oleh: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, M.Pd.I.

    Di tengah riuhnya suara manusia hari ini—dalam percakapan tatap muka, percakapan daring, unggahan media sosial, komentar digital, dan obrolan yang tak putus—barangkali kita perlu berhenti sejenak, menarik napas panjang, dan merenung: untuk apa sebenarnya kita berbicara?

    Kita hidup di era ketika semua orang merasa harus bersuara. Sebagian merasa perlu berkomentar atas segalanya. Sebagian lainnya merasa tidak lengkap hidupnya tanpa menanggapi, menyanggah, menyindir, atau sekadar ikut-ikutan. Tetapi di balik kebebasan berekspresi yang diagung-agungkan itu, ada pertanyaan moral yang tak kalah penting: apa dampak dari apa yang kita ucapkan?

    "Berkatalah yang baik atau diamlah." Sebuah nasihat Nabi yang sering kita dengar, tapi semakin jarang kita hayati. Ringkas, sederhana, tapi mengandung hikmah yang dalam. Ini bukan sekadar larangan berbicara kotor, melainkan panggilan untuk bertanggung jawab atas setiap kata yang keluar dari mulut dan jari kita.

    Kata Bisa Menyembuhkan, Kata Bisa Membunuh

    Kita sering menganggap kata-kata itu ringan. Tapi sejarah membuktikan bahwa kata-kata bisa menjadi awal dari peperangan, bisa meruntuhkan kepercayaan, bisa menghancurkan reputasi, bahkan bisa menuntun seseorang ke jurang keputusasaan. Seberapa sering kita mendengar kabar orang yang bunuh diri karena perundungan verbal? Seberapa banyak konflik keluarga, perpecahan sosial, bahkan permusuhan antarnegara yang dimulai dari narasi yang salah, ujaran yang menyakitkan, atau fitnah yang dibungkus opini?

    Sebaliknya, kata-kata juga bisa menjadi jembatan damai. Kata bisa menjadi pelipur lara bagi hati yang patah, penguat bagi jiwa yang rapuh, dan motivasi bagi mereka yang hampir menyerah. Tapi kata-kata seperti ini tak lahir dari sembarang mulut. Ia lahir dari hati yang penuh empati dan pikiran yang jernih.

    Mengapa Kita Terlalu Mudah Bicara?

    Apakah kita bicara untuk benar-benar menyampaikan kebaikan, atau hanya karena ingin merasa didengar? Apakah kita menulis untuk memberi solusi, atau hanya untuk menyalurkan amarah dan rasa frustrasi kita sendiri?

    Di era digital, banyak orang lebih takut disebut "diam" daripada disebut "salah." Seolah-olah menjadi pendiam adalah aib, dan menjadi vokal—meskipun tanpa dasar—adalah bentuk keberanian. Tapi keberanian sejati bukan pada seberapa keras kita bersuara, melainkan pada keberanian untuk tidak bicara ketika bicara hanya akan memperkeruh keadaan.

    Saring Sebelum Sharing, Tahan Sebelum Menghujat

    Sudah berapa banyak informasi bohong tersebar karena jari terlalu cepat membagikan sebelum berpikir? Sudah berapa banyak hubungan rusak karena kita memilih emosi daripada bijak dalam berkata?

    Jika kita tahu ucapan kita bisa menyakitkan, mengapa tetap kita katakan? Jika kita tahu kalimat kita bisa menyesatkan, mengapa tetap kita bagikan? Jika kita tahu komentar kita tidak memberi solusi, mengapa kita ikut bersuara hanya untuk menyindir atau mengejek?

    Diam bukan berarti lemah. Justru dalam diam terkadang tersimpan kebijaksanaan yang tak bisa diwakili oleh kata-kata. Dalam diam, kita memberi ruang untuk berpikir. Dalam diam, kita belajar mendengar. Dan dari mendengar, kita mulai memahami.

    Akhirnya, Semua Kembali ke Hati

    Jika hati kita bersih, kata-kata kita akan jernih. Jika niat kita tulus, perkataan kita akan lurus. Tetapi jika hati kita penuh amarah, dengki, dan kesombongan, maka kata-kata kita akan menjadi senjata yang melukai siapa saja, termasuk diri sendiri.

    Maka mari kita bertanya pada diri sendiri sebelum berbicara atau menulis:

    Apakah ini akan memberi manfaat?

    Apakah ini akan membawa kebaikan?

    Apakah ini akan mendamaikan, atau malah memperuncing perbedaan?

    Jika tidak, maka diam lebih mulia.

    Kesimpulan: Bijaklah Dalam Berkata

    Di zaman ketika semua orang bisa bicara, menjadi bijak dalam berkata adalah sebuah keistimewaan. Dan di zaman ketika semua orang merasa harus didengar, menjadi pendengar yang baik adalah tindakan revolusioner.

    Jadi, jika hari ini kita merasa tergoda untuk berkata-kata yang tidak baik, tidak bermanfaat, atau bahkan bisa menyakiti orang lain, ingatlah satu nasihat sederhana tapi agung:

    “Berkatalah yang baik, atau diamlah.”

    Karena diam bukan kekalahan, tapi pilihan. Dan pilihan itu menunjukkan bahwa kita masih punya akal, hati, dan harga diri.