Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.
APA DAN MENGAPA ERA POST TRUTH?
Istilah post-truth mengacu pada suatu kondisi di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi. Era ini muncul seiring dengan berkembangnya media sosial dan banjir informasi yang tidak terverifikasi. Istilah ini diresmikan sebagai Word of the Year oleh Oxford Dictionary pada 2016. Post-truth bukan berarti "kebenaran telah usai", tetapi bahwa kebenaran sudah tidak menjadi tolok ukur utama dalam pembentukan opini publik.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membawa perubahan besar dalam lanskap sosial dan budaya, khususnya dalam cara masyarakat mengakses, memproduksi, dan menyebarkan informasi. Di tengah arus informasi yang masif, dunia saat ini memasuki sebuah fase yang disebut sebagai era post-truth, yaitu kondisi ketika fakta objektif menjadi kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi. Istilah post-truth pertama kali mencuat dalam ranah politik, namun kini telah merambah ke berbagai aspek kehidupan sosial, termasuk keagamaan, ekonomi, dan budaya.
Masalah utama dalam era ini adalah semakin kaburnya batas antara kebenaran dan kebohongan. Media sosial dan algoritma digital memperkuat echo chamber dan confirmation bias, di mana individu hanya terpapar informasi yang sejalan dengan pandangan mereka. Fenomena ini melahirkan polarisasi sosial dan ketidakpercayaan terhadap institusi, termasuk media, pemerintah, bahkan lembaga keagamaan. Dalam konteks ini, publik sering kali lebih mempercayai narasi yang emosional dan populer meski tidak berdasar, ketimbang fakta yang telah diverifikasi.
Dalam konteks keilmuan, era post-truth menantang tradisi akademik yang menekankan validitas, rasionalitas, dan objektivitas. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan metodologis yang mampu memahami dinamika post-truth secara komprehensif. Salah satu pendekatan yang dapat ditawarkan adalah pendekatan interdisipliner, yang menggabungkan kajian komunikasi, sosiologi, psikologi sosial, serta etika dan epistemologi Islam. Metode kualitatif, seperti analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis), dapat digunakan untuk mengungkap bagaimana konstruksi narasi dalam media bekerja membentuk realitas semu. Pendekatan ini juga penting untuk mengidentifikasi nilai-nilai apa yang dikorbankan dalam dominasi emosi atas fakta.
ISYARAT ISLAM TENTANG ERA POST TRUTH
Era post truth ditandai dengan kekacauan. Kebenaran diterima berdasarkan viralitas dan popularitas. Hal ini diilustrasikan dalam sebuah hadis diriwayatkan olehnIbnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah, no. 4036. Dihasankan oleh sebagian ulama seperti Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami' no. 3650
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ، يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ، وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ، وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ، وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ» قِيلَ: وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَالَ: «الرَّجُلُ التَّافِهُ يَتَكَلَّمُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ»
Artinya:
"Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah ﷺ bersabda: "Akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh tipu daya; di mana pendusta dipercaya, orang jujur ldidustakan, pengkhianat diberi amanah, orang yang amanah dianggap pengkhianat, dan yang berbicara adalah ruwaibidhah." Lalu ada yang bertanya, "Siapa itu ruwaibidhah?" Nabi ﷺ menjawab: "Orang yang bodoh (rendahan/tak layak) tetapi berbicara dalam urusan orang banyak (masyarakat umum)."
Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA ini menggambarkan situasi sosial yang sangat relevan dengan fenomena era post-truth yang tengah melanda dunia saat ini. Istilah post-truth mengacu pada kondisi ketika emosi dan opini pribadi lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan fakta objektif. Dalam konteks ini, hadis tersebut secara luar biasa telah memberikan peringatan dini tentang kondisi zaman di mana kebenaran akan dikaburkan, dan persepsi akan menggantikan realitas.
Pertama, Rasulullah ﷺ menyatakan bahwa akan datang “sanawat khadda'at”—tahun-tahun penuh tipu daya. Ini mencerminkan karakteristik utama era post-truth: penyebaran informasi palsu dan disinformasi yang tersebar luas melalui media sosial, propaganda politik, dan algoritma internet yang hanya memperkuat pandangan tertentu, bukan menyaring kebenaran.
Kedua, fenomena “yushaddaq fihi al-kādhib, wa yukadhdhab fihi al-sādiq”—pendusta dipercaya dan orang jujur didustakan—menjelaskan krisis kepercayaan dan kerusakan standar etika dalam masyarakat. Di zaman post-truth, figur publik yang menyebarkan narasi populer meskipun tidak berdasar fakta, sering kali lebih dipercaya daripada pakar atau ilmuwan yang berbicara berdasarkan data. Ini memperlihatkan betapa narasi dan retorika dapat mengalahkan kejujuran dan integritas.
Ketiga, bagian hadis “yu’taman fihi al-khā’in, wa yukhaun fihi al-amīn” mencerminkan rusaknya sistem moral dan kepercayaan. Dalam realitas kontemporer, orang yang curang atau manipulatif justru diberi jabatan dan kepercayaan, sementara orang yang jujur dan amanah sering dicurigai atau disingkirkan karena tidak sejalan dengan kepentingan tertentu.
Puncaknya adalah sabda Rasul ﷺ tentang ruwaibidhah—orang bodoh yang berbicara dalam urusan publik. Ini menggambarkan fenomena viralnya orang-orang yang tidak kompeten namun mendapat panggung di ruang publik, terutama lewat media sosial. Mereka membentuk opini publik tanpa dasar ilmu atau tanggung jawab moral. Fenomena ini memperparah disorientasi masyarakat dalam membedakan kebenaran dan kebatilan.
Dengan demikian, hadis ini menjadi peringatan abadi dan sangat relevan dalam menghadapi era post-truth. Kaum Muslim dituntut untuk tetap berpihak pada kebenaran, menjaga amanah, dan kritis terhadap informasi, agar tidak menjadi bagian dari masyarakat yang tertipu oleh tipuan zaman.
Dalam perspektif Islam, fenomena post-truth tidak lepas dari peringatan Al-Qur’an dan Hadis mengenai pentingnya kejujuran dan kehati-hatian dalam menerima serta menyampaikan informasi. Al-Qur’an secara tegas menyatakan: “Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti...” (QS. Al-Hujurat: 6).
Selain itu, terdapat pula hadis Nabi Saw. yang dapat mengingatkan: “Cukuplah seseorang dikatakan berdusta ketika ia menceritakan semua yang ia dengar.” (HR. Muslim).
Dalil-dalil naqli ini menegaskan pentingnya verifikasi dan integritas informasi, prinsip yang justru terkikis dalam budaya post-truth. Oleh karena itu, pengkajian terhadap era ini bukan hanya relevan secara akademik, tetapi juga mendesak secara moral dan spiritual dalam rangka membangun kembali masyarakat yang kritis, adil, dan berlandaskan kebenaran.
LENSA TEORETIS
Istilah post-truth pertama kali mendapatkan perhatian global ketika Oxford Dictionaries menetapkannya sebagai "Word of the Year" pada 2016. Post-truth mengacu pada keadaan di mana fakta objektif memiliki pengaruh lebih kecil dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi. Dalam konteks ini, kebenaran tidak lagi menjadi parameter utama dalam wacana sosial-politik.
Secara teoretis, fenomena post-truth dapat dijelaskan melalui pendekatan komunikasi dan epistemologi. Menurut teori konstruktivisme sosial, kebenaran merupakan hasil konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh bahasa, budaya, dan kekuasaan. Oleh karena itu, dalam era digital yang sarat informasi dan disinformasi, narasi personal dan emosional sering kali dianggap lebih "benar" daripada fakta empiris.
Jean Baudrillard, melalui konsep simulacra dan hyperreality, juga memberikan landasan filosofis bagi pemahaman era post-truth. Dalam dunia di mana realitas digantikan oleh representasi media, batas antara fakta dan fiksi menjadi kabur. Realitas yang dikonsumsi publik sering kali merupakan "realitas buatan" yang telah dimediasi oleh opini, framing media, atau algoritma media sosial.
FENOMENA ERA POST TRUTH
1. Pergeseran Konsep Kejujuran Politik
Sebuah riset oleh Lasser, Aroyehun, Carrella dkk. (2022) menganalisis tweets anggota Kongres AS antara 2011–2022. Mereka menemukan adanya transisi dalam komunikasi politik menuju apa yang disebut belief‑speaking—ungkapan pandangan subyektif yang dianggap autentik dibandingkan pernyataan berbasis bukti. Bagi partai Republik, peningkatan belief‑speaking sebesar 10 % dikaitkan dengan penurunan kualitas sumber berita sebesar 12,8 poin menurut NewsGuard. Sebaliknya, bahasa yang menekankan truth seeking (mencari fakta objektif) meningkatkan kualitas sumber tweet dari kedua partai. Temuan ini menunjukkan bahwa dalam era post‑truth, integritas politik semakin bergantung pada keyakinan pribadi ketimbang bukti empiris.
2. Inovasi Metode Deteksi Misinformasi via Sinyal Fisiologi
Penelitian terbaru oleh Nguyen, Wang, Jiang, Gedeon (2025) mengeksplorasi bagaimana sinyal fisiologis—seperti aktivitas elektrodal kulit (EDA) dan fotopletismografi (PPG)—dapat digunakan untuk mendeteksi apakah seseorang mempersepsikan klaim tertentu sebagai benar atau tidak. Eksperimen mengkombinasikan label kebenaran objektif dan kepercayaan subyektif partisipan terhadap klaim terkait iklim. Hasil: EDA lebih sensitif melacak respons terhadap informasi dibandingkan PPG. Namun, klasifikasi gabungan antara persepsi dan kebenaran menunjukkan akurasi rendah, menunjukkan kompleksitas dalam memetakan hubungan antara belief dan veracity. Kajian ini menggarisbawahi pentingnya pendekatan multimodal—perpaduan psikologi, kognisi, dan sinyal fisik—untuk deteksi misinformasi yang lebih akurat.
3. Strategi “Prebunking” atau Inoculation Melawan Misinformasi
Didukung oleh pendekatan psychological inoculation, penelitian di Science Advances dan Annals of the American Academy of Political and Social Science (2022) menguji efektivitas video singkat prebunking (penyuntikan informasi sebelum misinformasi disajikan). Dalam eksperimen yang melibatkan 29.116 orang, peserta pertama kali ditampilkan konten palsu lalu diberi penjelasan tentang teknik manipulasi pesan. Hasilnya menunjukkan peningkatan rata-rata ~5 % dalam kemampuan mengidentifikasi taktik manipulatif. Teknik ini dianggap efektif meningkatkan ketahanan terhadap disinformasi dibandingkan pendekatan klasik debunking yang reaktif
Secara keseluruhan, ketiga kajian tersebut melengkapi gambaran tentang bagaimana era post‑truth telah berubah: Pertama, di ranah politik, kejujuran tidak lagi hanya soal bukti fakta, melainkan soal narasi keyakinan pribadi (belief‑speaking). Kedua, pendekatan teknologi dan psikofisiologis membuka jalan baru untuk deteksi dini terhadap misinformasi. Ketiga, pendidikan dan komunikasi proaktif, seperti prebunking, membuktikan efektivitasnya dalam memperkuat literasi informasi masyarakat. Keempat, menilik konteks Indonesia, kajian seperti Purba & Sitorus (2023–2025) menyoroti gejala viral-based truth: kebenaran dilihat dari seberapa viral informasi, bukan dari fakta yang diverifikasi; mereka merekomendasikan peningkatan literasi media dan kontrol informasi oleh media massa dan pemerintah
Selain itu, penelitian lain menyoroti peran pendidikan agama Islam dalam membangun sikap moderat dan kritis (tasamuh, tawazun) dalam menangkal disinformasi dan hoaks di media sosial.
Era post‑truth bukan hanya soal penyebaran kabar palsu, tetapi juga soal perubahan norma komunikasi (keyakinan melebihi fakta), serta pentingnya strategi preventif (seperti prebunking) dan pendekatan multidisiplin. Di Indonesia, literasi media, pendidikan kritis, dan kolaborasi lintas lembaga menjadi kunci dalam menghadapi tantangan post‑truth secara lebih efektif. Era post-truth juga berkaitan erat dengan krisis otoritas epistemik. Institusi yang dulunya menjadi rujukan kebenaran—seperti akademisi, media, atau lembaga negara—mengalami penurunan kepercayaan. Sebagai gantinya, opini individu di media sosial sering kali mendapatkan legitimasi hanya karena daya viral atau daya afektifnya.
Era post-truth menuntut pendekatan baru dalam literasi media, pendidikan kritis, dan etika komunikasi. Pemahaman mendalam terhadap struktur produksi pengetahuan dan dinamika kekuasaan dalam informasi menjadi sangat penting untuk menghadapinya secara reflektif dan bertanggungjawab.
URGENSI VALIADATOR
Di era post-truth, kebenaran sering dikalahkan oleh opini pribadi, emosi, dan informasi yang tidak terverifikasi. Fenomena ini memperkuat urgensi akan pentingnya validasi dan peran validator ahli dalam memastikan kebenaran informasi. Al-Qur’an, melalui Q.S. An-Nahl ayat 43, memberikan arahan yang sangat relevan: "Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." Ayat ini mengandung perintah normatif dan prinsip epistemologis bahwa sumber ilmu haruslah datang dari orang yang benar-benar berkompeten.
Validasi dalam konteks ini merujuk pada proses pengecekan dan penguatan terhadap informasi sebelum diterima atau disebarkan. Sedangkan validator ahli adalah mereka yang memiliki otoritas ilmiah dan integritas untuk memverifikasi kebenaran. Dalam ayat ini, istilah “Ahl al-Dzikr” merujuk pada orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam, baik dalam agama maupun keilmuan lain yang relevan.
Era post-truth menjadikan banyak orang mudah percaya pada hoaks, teori konspirasi, dan manipulasi informasi. Tanpa validasi oleh ahli, masyarakat rentan terjebak dalam misinformasi yang berdampak sistemik, termasuk dalam bidang kesehatan, politik, dan pendidikan. Oleh karena itu, ayat ini menegaskan pentingnya rujukan kepada ahli sebagai upaya menjaga integritas pengetahuan.
Selain menjadi landasan teologis, ayat ini juga mendorong budaya ilmiah: keterbukaan untuk bertanya, rendah hati mengakui ketidaktahuan, dan pentingnya sumber informasi yang kredibel. Maka, di tengah banjir informasi era digital, umat Islam dan masyarakat luas wajib menjadikan validasi oleh ahli sebagai prinsip dasar untuk menjaga kebenaran, rasionalitas, dan etika sosial.
0 komentar