BLANTERORBITv102

    PENJWLASAN Q,S. AL-NAJM: 3

    Rabu, 12 Maret 2025

    Relasi Konseptual

    Surah Al-Najm ayat 2 menyatakan bahwa Nabi Muhammad ﷺ "tidak sesat dan tidak keliru," kemudian ayat 3 menegaskan bahwa beliau juga tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu. Kedua ayat ini saling berkaitan dalam menegaskan bahwa risalah yang disampaikan oleh Nabi ﷺ adalah murni wahyu dari Allah, bukan hasil pemikiran atau dorongan subjektif beliau sendiri.

    Dalam konteks pendidikan modern, ayat ini menekankan pentingnya validitas sumber ilmu. Seorang pendidik atau ilmuwan harus memastikan bahwa ilmu yang disampaikan bukan sekadar opini atau spekulasi, melainkan didasarkan pada fakta, penelitian, dan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini selaras dengan prinsip saintifik dalam sains modern, di mana setiap teori harus didasarkan pada bukti empiris dan metode yang objektif.

    Selain itu, ayat ini juga mengajarkan bahwa penyampaian ilmu harus bebas dari bias dan kepentingan pribadi. Dalam dunia akademik, seorang ilmuwan yang dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi, politik, atau ego pribadi akan menghasilkan penelitian yang tidak objektif. Hal ini berbahaya karena dapat menyesatkan masyarakat sebagaimana hawa nafsu dapat menyesatkan seseorang dari kebenaran.

    Dengan demikian, ayat ini memberikan prinsip epistemologis dalam pendidikan dan sains: ilmu harus berbasis kebenaran objektif, bukan hawa nafsu. Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang bertumpu pada nilai-nilai kebenaran dan integritas, sebagaimana Nabi ﷺ yang berbicara berdasarkan wahyu, bukan dorongan pribadi.

    Analisis Kebahasaan

    وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى ۝٣

    Terjemahnya: "Dan tidak pula berucap (tentang Al-Qur’an dan penjelasannya) berdasarkan hawa nafsu(-nya)".(3).

    Ayat ini terdiri dari negasi (وَمَا) yang meniadakan kemungkinan bahwa Nabi ﷺ berbicara berdasarkan hawa nafsu (يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى). Kata kerja يَنْطِقُ (yanṭiqu) berbentuk mudhāri‘ (kata kerja sekarang/masa depan), menunjukkan kesinambungan atau kepastian dalam sikap beliau. Kata الْهَوَى (al-hawā) dalam bentuk nakirah (tanpa alif-lam) menunjukkan bahwa semua bentuk hawa nafsu, baik kecil maupun besar, disingkirkan dari ucapan beliau. Struktur ini menegaskan bahwa setiap perkataan Nabi ﷺ dalam menyampaikan risalah adalah murni dari wahyu, bukan hasil pemikiran pribadi yang terpengaruh oleh perasaan atau kepentingan duniawi.

    Dari aspek keindahan bahasa, ayat ini menggunakan uslūb nafy (gaya bahasa negasi) yang memperkuat makna. Penggunaan kata وَمَا (wa mā) menunjukkan penegasan yang kuat, bukan sekadar penolakan biasa. Selain itu, frasa عَنِ الْهَوَى (ani al-hawā) menggunakan harf jarr عَن yang menunjukkan bahwa Nabi ﷺ benar-benar terbebas dari segala pengaruh hawa nafsu dalam ucapannya. Struktur ini memberikan kesan mutlak dan tidak terbantahkan. Selain itu, pemilihan kata يَنْطِقُ (yanṭiqu) yang berarti “berbicara dengan jelas” menegaskan bahwa apa yang disampaikan Nabi ﷺ bukan sekadar ucapan biasa, tetapi memiliki otoritas kebenaran yang tinggi.

    Kata الْهَوَى (al-hawā) dalam bahasa Arab merujuk pada keinginan atau dorongan nafsu yang sering kali bertentangan dengan kebenaran dan akal sehat. Dalam konteks ayat ini, penggunaan kata tersebut menunjukkan bahwa Nabi ﷺ tidak berbicara berdasarkan dorongan emosional atau kepentingan pribadi, melainkan hanya menyampaikan kebenaran yang bersumber dari wahyu. Makna ini menegaskan bahwa Islam sebagai agama memiliki dasar yang objektif dan tidak dipengaruhi oleh spekulasi manusia. Kata يَنْطِقُ (yanṭiqu), yang bermakna "berbicara dengan jelas," menunjukkan bahwa perkataan Nabi ﷺ adalah sesuatu yang terarah dan memiliki makna mendalam, bukan sekadar ucapan spontan.

    Ayat ini menciptakan oposisi biner antara wahyu dan hawa nafsu. Dalam sistem tanda, يَنْطِقُ melambangkan penyampaian wahyu yang otoritatif, sedangkan عَنِ الْهَوَى melambangkan segala bentuk distorsi atau penyimpangan subjektif dalam berkomunikasi. Dengan meniadakan kemungkinan bahwa ucapan Nabi ﷺ berasal dari hawa nafsu, ayat ini menegaskan bahwa kebenaran Islam bersumber dari Tuhan, bukan manusia. Dalam konteks komunikasi dan ilmu pengetahuan, ini berarti bahwa sumber kebenaran harus berasal dari dasar yang kokoh, bukan sekadar opini atau asumsi yang tidak memiliki legitimasi epistemologis

    Penjelasan Ulama Tafsir

    Dalam kitab Tafsir al-Kabir, Fakhrur Razi menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan bahwa setiap perkataan Rasulullah ﷺ, khususnya terkait wahyu, bukanlah hasil dari keinginan pribadi atau dorongan hawa nafsu. Ia menafsirkan kata al-hawā sebagai kecenderungan jiwa yang tidak terikat dengan kebenaran objektif. Menurutnya, ayat ini menunjukkan bahwa semua ucapan Rasulullah ﷺ dalam hal agama bersumber dari wahyu ilahi, bukan hasil pemikiran atau spekulasi pribadi. Fakhrur Razi juga mengaitkan ini dengan konsep kemaksuman (ʻishmah) Nabi dalam menyampaikan wahyu, sehingga tidak mungkin beliau salah atau menyimpang dari kebenaran. Selain itu, ia menekankan bahwa wahyu bersifat mutlak dan harus diterima tanpa keraguan.

    Dalam tafsir Al-Jawahir, Tanthawi Jauhari memberikan pendekatan lebih ilmiah. Ia berpendapat bahwa ayat ini bukan hanya menunjukkan keabsahan wahyu, tetapi juga menjadi dasar epistemologi Islam yang membedakan wahyu dari ilmu manusia. Tanthawi menghubungkan ayat ini dengan fenomena akal dan ilmu pengetahuan. Menurutnya, Rasulullah ﷺ adalah sumber ilmu yang paling terpercaya karena beliau mendapatkan bimbingan langsung dari Allah. Ia menekankan bahwa ayat ini mengisyaratkan pentingnya mencari ilmu yang bersumber dari kebenaran hakiki, bukan sekadar opini atau spekulasi manusia. Tanthawi juga menghubungkan ayat ini dengan keunggulan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada metodologi yang benar.

    Sains Modern dan Pendidikan 

    Ayat ini sangat relevan dalam dunia sains dan pendidikan, terutama dalam konteks epistemologi Islam dan metode memperoleh ilmu. Berikut beberapa poin utama:

    a. Metode Ilmiah dan objektivitas

    Prinsip bahwa Rasulullah ﷺ tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu selaras dengan prinsip sains modern yang mengandalkan objektivitas dan data. Ilmuwan harus menghindari bias dan spekulasi yang tidak berbasis bukti, mirip dengan konsep wahyu yang tidak didasarkan pada opini pribadi.

    b. Pendidikan Berbasis Kebenaran

    Dalam pendidikan, penting bagi pendidik untuk mengajarkan ilmu yang sahih dan tidak didasarkan pada spekulasi. Pendidikan modern menekankan pentingnya validasi informasi, sama seperti Islam menekankan pentingnya wahyu sebagai sumber kebenaran mutlak.

    c. Integrasi Ilmu Agama dan Sains

    Penafsiran Tanthawi Jauhari menunjukkan bahwa ilmu agama dan ilmu modern tidak bertentangan. Pendidikan Islam seharusnya mengintegrasikan keduanya, memastikan bahwa ajaran agama tidak hanya bersifat dogmatis, tetapi juga bisa diuji dan diterapkan dalam kehidupan nyata.

    d. Pentingnya Etika dalam Ilmu

    Ayat ini mengajarkan bahwa ilmu tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi atau hawa nafsu. Dalam konteks modern, ini berkaitan dengan etika penelitian, di mana ilmuwan harus menjauhi manipulasi data dan menjaga integritas akademik.

    Intinya, ayat ini menjadi dasar epistemologi dalam Islam yang menekankan bahwa ilmu harus bersumber dari kebenaran, baik itu wahyu maupun metode ilmiah yang benar. Kebenaran ilmiah dan kebenaran wahyu tentu tidak setara, namun kebenaran ilmiah dapat dijadikan dasar untuk.menjelaskan kebenaran wahyu. 

    Riset yang Relevan 

    Penelitian Dr. Ahmed Al-Khatib (2023), judul "The Epistemology of Revelation and Scientific Methodology in Islamic Thought". Metode analisis kualitatif dengan pendekatan filsafat ilmu dan tafsir tematik. Hasil penelitian ini menemukan bahwa ada keselarasan antara metode wahyu dalam Islam dan metode ilmiah modern. Wahyu Islam memiliki struktur epistemologis yang serupa dengan metode ilmiah, yaitu verifikasi kebenaran berdasarkan sumber yang terpercaya. Penelitian ini menekankan bahwa pendidikan Islam harus mengintegrasikan ilmu agama dan sains untuk menghasilkan pengetahuan yang holistik.

    Penelitian Dr. Sarah Malik dan Prof. Jamaluddin Anwar (2024). "Integrating Islamic and Scientific Knowledge in Modern Education: A Case Study in Muslim Universities". Metode yang diterapkan yaitu Studi kasus pada beberapa universitas Islam di Timur Tengah dan Asia Tenggara. Hasil studi ini menunjukkan bahwa pendekatan integrasi ilmu agama dan sains dalam kurikulum menghasilkan siswa yang lebih kritis dan inovatif. Beberapa universitas yang menerapkan kurikulum berbasis wahyu dan sains menunjukkan peningkatan dalam kualitas penelitian serta pemahaman agama yang lebih mendalam. Hasil ini menunjukkan bahwa model pendidikan berbasis wahyu, sebagaimana dikonsepkan dalam Q.S. Al-Najm: 3, dapat menghasilkan ilmu yang lebih objektif dan berdaya guna.

    Penelitian ini menguatkan relevansi ayat dengan dunia pendidikan modern, di mana pendekatan berbasis wahyu dapat menjadi sumber inspirasi untuk metode pembelajaran yang lebih efektif dan objektif. Kejujuran ilmiah juga mesti dijunjung tinggi. Dari sinilah kejujuran dapat dikembangkan menjadi karakter yang melembaga dalam setiap individu.