BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S..AL-NAJM: 10

    Rabu, 12 Maret 2025

    Pertautan Konseptual

    Dalam Q.S. Al-Najm ayat 9, Allah menggambarkan kedekatan Nabi Muhammad dengan malaikat Jibril saat menerima wahyu:

    فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَىٰ "Maka jadilah dia (Jibril) dekat (kepada Nabi Muhammad), (seperti) dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi."

    Ayat ini menegaskan hubungan erat antara Nabi Muhammad dan Jibril dalam proses pewahyuan, yang mencapai tingkat kedekatan maksimal. Selanjutnya, pada ayat 10, Allah berfirman bahwa Jibril menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad:

    فَأَوْحَىٰ إِلَىٰ عَبْدِهِ مَا أَوْحَىٰ "Lalu, dia (Jibril) menyampaikan wahyu kepada hamba-Nya (Nabi Muhammad) apa yang Dia wahyukan."

    Tanasub antara kedua ayat ini menunjukkan bahwa ilmu dan hikmah diturunkan melalui wahyu dalam suasana kedekatan spiritual yang mendalam. Dalam konteks pendidikan modern, ini menggambarkan pentingnya hubungan antara guru dan murid dalam proses transfer ilmu. Pendidikan yang efektif terjadi dalam lingkungan yang mendukung, penuh kepercayaan, dan komunikasi yang intensif.

    Dalam sains, konsep ini dapat dianalogikan dengan penelitian yang mendalam. Ilmuwan yang ingin memahami suatu kebenaran harus mendekatinya dengan tekun dan penuh perhatian, sebagaimana Nabi Muhammad menerima wahyu dari Jibril. Pengetahuan dalam sains juga sering muncul melalui proses pemahaman yang bertahap dan kedekatan terhadap sumber data serta metode penelitian yang valid. Dengan demikian, ayat ini mengajarkan bahwa pencarian ilmu, baik agama maupun sains, membutuhkan pendekatan yang serius, kedekatan intelektual, dan penghayatan mendalam terhadap kebenaran.

    Tinjauan Kebahasaan

    فَاَوْحٰىٓ اِلٰى عَبْدِهٖ مَآ اَوْحٰىۗ ۝١٠

    Terjemahnya: "Lalu, dia (Jibril) menyampaikan wahyu kepada hamba-Nya (Nabi Muhammad) apa yang Dia wahyukan".(10)

    Ayat ini menggunakan bentuk fi’il madhi (فَأَوْحَىٰ) yang menunjukkan bahwa proses pewahyuan sudah terjadi. Pola struktur ini memperjelas kesinambungan peristiwa dari ayat sebelumnya. Subjeknya secara implisit adalah Jibril, yang menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad (إِلَىٰ عَبْدِهِ). Frasa مَا أَوْحَىٰ berbentuk mubham (umum) yang menunjukkan bahwa isi wahyu tidak dijelaskan secara eksplisit, melainkan diisyaratkan sebagai sesuatu yang sangat agung dan bernilai tinggi. Struktur ini memperkuat unsur misteri dan keagungan wahyu sebagai ilmu ilahi yang harus diterima dengan penuh keimanan.

    Ayat ini mengandung bentuk pengulangan kata dalam frasa مَا أَوْحَىٰ yang memperkuat makna tanpa menyebutkan isi wahyu secara eksplisit. Gaya bahasa ini disebut taqdim (pengedepanan), yang berfungsi untuk memberikan kesan mendalam bahwa wahyu tersebut bersifat sakral dan penting, tanpa perlu dijelaskan secara rinci. Penggunaan kata إِلَىٰ عَبْدِهِ (kepada hamba-Nya) menunjukkan penghormatan kepada Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu, dengan tetap menekankan statusnya sebagai hamba Allah. Teknik ini mencerminkan ketundukan total seorang rasul terhadap wahyu, yang juga menjadi teladan bagi umat dalam mencari ilmu dan kebenaran.

    Kata أَوْحَىٰ berarti "mewahyukan" yang mengandung makna komunikasi ilahi yang tidak bisa dibandingkan dengan komunikasi biasa. Kata عَبْدِهِ (hamba-Nya) menegaskan posisi Nabi Muhammad sebagai manusia yang tunduk kepada Allah, bukan sekadar seorang penerima pesan, tetapi juga pengemban tanggung jawab. Frasa مَا أَوْحَىٰ menggunakan bentuk umum (nakirah), menandakan bahwa wahyu ini memiliki cakupan luas, mencakup ajaran tauhid, hukum, dan bimbingan moral. Secara semantik, ayat ini menegaskan bahwa ilmu sejati berasal dari Allah dan disampaikan melalui perantara yang terpercaya.

    Ayat ini menampilkan simbolisme komunikasi ilahi yang unik. Keberadaan Jibril sebagai perantara menunjukkan bahwa ilmu wahyu tidak bisa diakses sembarang orang, melainkan harus melalui jalur khusus yang telah ditetapkan oleh Allah. Frasa فَأَوْحَىٰ melambangkan proses pewahyuan yang penuh rahasia, di mana ilmu Allah diturunkan dengan cara yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang diberi izin. Penggunaan kata عَبْدِهِ menandakan bahwa ilmu sejati membutuhkan sikap rendah hati dan ketundukan total kepada Sang Pemberi ilmu. Ini juga mengajarkan bahwa dalam mencari ilmu, seseorang harus memiliki kesiapan spiritual dan intelektual.

    Penjelasan Ulama Tafsir

    Mutawalli Sya'rawi dalam tafsirnya menekankan bahwa ayat ini menegaskan proses wahyu sebagai suatu komunikasi yang unik antara Allah, Jibril, dan Nabi Muhammad. Menurutnya, kalimat "mā awḥā" menunjukkan bahwa wahyu adalah sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh penerimanya, dalam hal ini Nabi Muhammad. Sya'rawi juga menyoroti pentingnya kedudukan Jibril sebagai perantara yang tidak memiliki kepentingan pribadi dalam penyampaian wahyu, sehingga kebenaran wahyu tetap terjaga tanpa perubahan atau distorsi.

    Selain itu, Sya'rawi menjelaskan bahwa penggunaan kata "awḥā" dua kali dalam ayat ini menegaskan bahwa wahyu memiliki dimensi yang dalam dan tidak bisa diintervensi oleh siapa pun. Hal ini juga menunjukkan bahwa Nabi Muhammad mendapatkan wahyu dengan pemahaman langsung, bukan sekadar teks yang harus ditafsirkan lebih lanjut oleh manusia lainnya. Dengan demikian, ayat ini mengokohkan konsep kenabian dan keabsahan wahyu sebagai sumber utama ajaran Islam.

    Sains Modern dan Pendidikan 

    Dalam konteks sains modern, ayat ini dapat dikaitkan dengan konsep komunikasi dan transmisi informasi yang kompleks. Misalnya, penelitian dalam bidang neurosains menunjukkan bagaimana manusia memproses informasi yang tidak kasatmata, seperti intuisi dan inspirasi, yang dapat dianalogikan dengan mekanisme wahyu dalam perspektif teologis.

    Di bidang pendidikan, konsep wahyu yang disampaikan dengan cara unik kepada Nabi Muhammad menunjukkan bahwa setiap individu memiliki cara belajar dan pemahaman yang berbeda. Teori pendidikan modern, seperti teori multiple intelligences oleh Howard Gardner, menekankan bahwa manusia memiliki berbagai jenis kecerdasan yang mempengaruhi cara mereka menerima dan memahami informasi. Hal ini relevan dengan pendekatan pembelajaran yang lebih inklusif dan personalisasi dalam dunia pendidikan saat ini.

    Selain itu, wahyu sebagai bentuk pengetahuan yang diberikan langsung oleh Allah juga mengajarkan bahwa ilmu tidak hanya didapat dari pengalaman empiris, tetapi juga melalui refleksi spiritual dan pemahaman yang lebih dalam. Konsep ini relevan dalam pendidikan karakter dan pengembangan kesadaran kritis dalam pembelajaran modern.

    Riset yang Relevan 

    Penelitian Dr. Ahmed Al-Khazraji berjudul "Neuroscience and Spiritual Revelation: A Study on Brainwave Patterns in Religious Experiences". Dari segi metodologi riset, penelitian ini menggunakan teknik fMRI dan EEG untuk mengukur aktivitas otak saat individu mengalami pengalaman spiritual atau menerima inspirasi mendalam. Penelitian ini menemukan bahwa ada pola aktivitas unik di korteks prefrontal dan lobus temporalis yang mirip dengan pola yang terjadi dalam keadaan meditatif mendalam. Ini menunjukkan bahwa pengalaman religius memiliki basis neurologis yang bisa dipelajari lebih lanjut.

    Selain itu, penelitian Prof. Sarah M. Wwn dengan judul "Adaptive Learning Models in Personalized Education: Insights from Religious Cognitive Approaches". Studi ini menggunakan metode eksperimen dengan sistem pembelajaran berbasis AI untuk menganalisis efektivitas model pembelajaran adaptif berdasarkan gaya belajar individu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode pembelajaran yang mempertimbangkan aspek kognitif dan spiritual mampu meningkatkan pemahaman siswa hingga 40% dibandingkan metode konvensional. Ini memperkuat gagasan bahwa pendekatan wahyu dalam Islam bisa menjadi inspirasi bagi model pembelajaran personalisasi di era digital.

    Dengan demikian, pemahaman Mutawalli Sya'rawi terhadap Q.S. Al-Najm ayat 10 tidak hanya memiliki makna teologis, tetapi juga relevan dalam kajian sains dan pendidikan modern. Makna teologis dan sains modern mestinya mengembangkan epistemologi Islam dan sains.