BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. ATH-THUR: 7

    Kamis, 06 Maret 2025

     Pertautan Konseptual

    اِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ لَوَاقِعٌۙ ۝٧

    Terjemahnya: "sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi' (7).

    Q.S. Ath-Thur ayat 6 menyebutkan, "dan laut yang di dalam tanahnya ada api", yang menggambarkan fenomena geologi seperti letusan gunung berapi bawah laut. Ayat ini memberikan bukti ilmiah bahwa alam semesta tunduk pada hukum Allah. Ayat berikutnya, "Sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi" (7), menegaskan kepastian azab yang akan menimpa orang-orang yang ingkar.

    Dalam konteks pendidikan dan sains modern, ayat-ayat ini menunjukkan hubungan antara ilmu pengetahuan dan keyakinan spiritual. Ilmu pengetahuan mengungkap fenomena alam seperti tektonik lempeng dan vulkanisme laut, yang sejalan dengan isyarat dalam Al-Qur'an. Sementara itu, pendidikan berfungsi sebagai alat untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah, bukan hanya sebagai eksplorasi akademik tetapi juga sebagai sarana meningkatkan keimanan.

    Dengan memahami hubungan antara ayat 6 dan 7, kita diajak untuk menyadari bahwa hukum alam tidak terpisah dari ketetapan Allah. Kepastian azab dalam ayat 7 juga bisa dipahami sebagai peringatan terhadap konsekuensi moral dan ilmiah dari tindakan manusia, termasuk eksploitasi lingkungan tanpa batas yang dapat membawa bencana bagi peradaban.

    Struktur ayat إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ لَوَاقِعٌ menunjukkan kepastian aza Allah. Kata إِنَّ berfungsi sebagai taukid (penegasan), memperkuat kepastian yang disampaikan. Kata لَوَاقِعٌ berbentuk ism fa'il (kata benda aktif) dari kata وقَعَ yang berarti "terjadi dengan pasti". Frasa عَذَابَ رَبِّكَ menunjukkan bentuk idhafah (kepemilikan), menegaskan bahwa azab ini berasal dari Tuhan.

    Secara sintaksis, susunan ayat ini menegaskan bahwa azab Tuhan tidak bisa dielakkan. Penggunaan isim fa'il dalam bentuk marfu’ (رفع) menunjukkan kesinambungan dan kepastian. Hal ini memperlihatkan bahwa azab tersebut bukan hanya sekadar ancaman, tetapi suatu kenyataan yang pasti terjadi.

    Gaya bahas ayat ini menggunakan gaya bahasa taukid (penegasan) melalui penggunaan إِنَّ dan pemilihan kata لَوَاقِعٌ yang menunjukkan kepastian. Ayat ini juga mengandung ijaz (gaya bahasa ringkas tetapi padat makna).

    Pemilihan kata رَبِّكَ (Tuhanmu) menunjukkan aspek targhib (motivasi) sekaligus tarhib (peringatan). Sebagai Rabb, Allah adalah pemelihara dan pengatur segala sesuatu, tetapi Dia juga memiliki azab yang pasti bagi orang-orang yang ingkar.

    Dari segi majas, ayat ini menggunakan isti’arah makniyah (metafora implisit). Kata لَوَاقِعٌ dapat dimaknai sebagai sesuatu yang jatuh menimpa, menggambarkan azab yang pasti datang dan tidak dapat dielakkan.

    Kata عَذَابَ berarti hukuman atau penderitaan yang menimpa sebagai akibat dari perbuatan dosa. Kata ini sering dikaitkan dengan siksa akhirat, tetapi dalam konteks tertentu juga bisa merujuk pada hukuman duniawi, seperti bencana alam atau kehancuran moral suatu kaum.

    Kata لَوَاقِعٌ berasal dari akar kata وَقَعَ, yang berarti "jatuh", "terjadi", atau "menimpa". Bentuk isim fa'il menunjukkan bahwa kejadian ini tidak bersifat tentatif tetapi pasti terjadi.

    Selain itu, kata رَبِّكَ menunjukkan hubungan personal antara manusia dan Tuhannya, memperlihatkan bahwa azab ini bukan sekadar peristiwa alami, melainkan konsekuensi dari ketetapan Tuhan yang Mahabijaksana.

    Ayat ini menggunakan tanda-tanda bahasa yang menunjukkan makna ketuhanan dan eskatologi. Kata عَذَابَ merupakan simbol ancaman yang sering digunakan dalam Al-Qur'an untuk menggambarkan konsekuensi dosa. Sementara itu, kata رَبِّكَ memiliki makna ganda: sebagai pemelihara yang penuh kasih tetapi juga sebagai hakim yang memberikan balasan.

    Secara ikonis, kata لَوَاقِعٌ menggambarkan sesuatu yang akan "jatuh" atau "menimpa", yang dapat diasosiasikan dengan kehancuran yang nyata. Secara indeksikal, ayat ini merujuk pada realitas sejarah di mana  umat-umat terdahulu mengalami kehancuran akibat kedurhakaan mereka, sekaligus sebagai peringatan bagi generasi selanjutnya.

    Penafsiran Ulama

    Fakhrur Razi dalam tafsirnya menyoroti aspek ancaman dalam ayat ini, yang berbunyi: "Sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi." Ia menafsirkan bahwa ayat ini menegaskan kepastian datangnya hari pembalasan sebagai bentuk keadilan Allah. Dalam perspektifnya, ancaman ini ditujukan kepada orang-orang yang mengingkari kebenaran, khususnya mereka yang meragukan hari kiamat.

    Razi menjelaskan bahwa kata inna dalam ayat ini menegaskan kepastian azab, sedangkan la-waqi' berarti sesuatu yang pasti terjadi tanpa keraguan sedikit pun. Ia juga menghubungkan konsep azab dengan hukum kausalitas, di mana setiap perbuatan manusia memiliki konsekuensi, baik di dunia maupun akhirat.

    Dalam konteks keilmuan, pendekatan Fakhrur Razi menekankan aspek filsafat dan logika dalam memahami wahyu. Ia menggunakan metode teologis dan rasional untuk menjelaskan bahwa kepastian azab adalah keniscayaan berdasarkan hukum sebab-akibat yang juga menjadi prinsip utama dalam sains modern.

    Sedangkan Tantawi Jauhari dalam tafsirnya mengkaji ayat ini dengan pendekatan ilmiah. Ia melihat ancaman azab sebagai tanda kebesaran Allah yang tercermin dalam fenomena alam. Menurutnya, la-waqi' tidak hanya merujuk pada azab akhirat tetapi juga mencerminkan siklus hukum alam di dunia.

    Jauhari mengaitkan ayat ini dengan ilmu geologi dan astronomi. Ia berpendapat bahwa azab Tuhan bisa terjadi dalam bentuk bencana alam seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, atau perubahan iklim ekstrem. Ia juga menyoroti bagaimana kehancuran yang menimpa peradaban masa lalu merupakan bukti nyata dari hukum Tuhan yang tertulis dalam Al-Qur’an.

    Pendekatan Tantawi Jauhari lebih dekat dengan sains modern karena ia berusaha menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan. Ia menafsirkan bahwa kepastian azab bisa dikaji secara ilmiah melalui pengamatan terhadap pola-pola alam yang menunjukkan adanya sistem hukum alam yang tetap dan tidak bisa dihindari.

    Sains dan Pendidikan 

    Penafsiran Fakhrur Razi dan Tantawi Jauhari terhadap Q.S. Ath-Thur ayat 7 memiliki relevansi yang kuat dengan perkembangan sains modern dan pendidikan terkini.

    Dari sudut pandang sains, penjelasan Tantawi Jauhari tentang azab sebagai konsekuensi hukum alam sangat sejalan dengan prinsip ilmiah yang menyatakan bahwa setiap tindakan memiliki akibat. Misalnya, perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia bisa dianggap sebagai bentuk azab ekologis. Ini sesuai dengan konsep sebab-akibat dalam sains yang juga dikaji dalam studi lingkungan dan geofisika.

    Sementara itu, penafsiran Fakhrur Razi lebih menekankan aspek filsafat dan kausalitas, yang relevan dengan bidang etika dalam sains dan teknologi. Dalam era digital saat ini, konsep ini bisa dikaitkan dengan bagaimana penggunaan teknologi harus diiringi dengan tanggung jawab moral. Misalnya, perkembangan kecerdasan buatan (AI) harus dikendalikan agar tidak berdampak negatif bagi manusia.

    Dalam konteks pendidikan, kedua penafsiran ini bisa dijadikan bahan diskusi dalam pendidikan Islam berbasis integrasi sains. Model pembelajaran yang menghubungkan teks-teks agama dengan ilmu pengetahuan akan membantu siswa memahami bahwa Islam tidak bertentangan dengan sains, tetapi justru selaras.

    Selain itu, pendekatan Jauhari yang menekankan observasi ilmiah sangat cocok dengan metode pembelajaran STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics). Dengan mengajarkan siswa untuk mengamati fenomena alam sebagai tanda kebesaran Tuhan, pendidikan berbasis sains dan agama bisa lebih menarik dan aplikatif.

    Jadi, pemahaman terhadap ayat ini dapat membangun kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan dalam memahami kebesaran Allah, sekaligus menanamkan sikap tanggung jawab terhadap lingkungan dan teknologi di era modern.

    Riset yang Relevan 

    Riset oleh Dr. Muhammad Iqbal (2023): berjudul: "Kausalitas Perubahan Iklim dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains Modern" dengann menerapkan metode kualitatif dengan analisis tafsir tematik dan penelitian ilmiah terkait perubahan iklim. Penelitian ini menemukan bahwa konsep sebab-akibat dalam Al-Qur’an sejalan dengan prinsip ekologi modern. Misalnya, eksploitasi sumber daya alam tanpa batas menyebabkan bencana alam sebagai dampak ekologis. Ayat-ayat yang berbicara tentang azab dapat dipahami sebagai peringatan bagi manusia untuk menjaga keseimbangan lingkungan.

    Riset yang dilakukan oleh Dr. Aisyah Hanum (2024) bertajuk "Integrasi Pendidikan Agama dan Sains: Model Pembelajaran Berbasis Al-Qur’an dan STEM".bSebuah penelitian eksperimen pada sekolah menengah yang menerapkan metode pembelajaran integratif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang belajar dengan pendekatan integrasi sains dan agama lebih memahami konsep-konsep ilmiah secara mendalam. Mereka juga lebih sadar akan pentingnya nilai-nilai etika dalam penggunaan ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang teknologi dan lingkungan.

    Riset-riset ini menunjukkan bagaimana ajaran Al-Qur’an, termasuk Q.S. Ath-Thur ayat 7, dapat dihubungkan dengan tantangan sains dan pendidikan modern.

     Studi Dr. Iqbal mengonfirmasi bahwa konsep azab dalam Islam dapat dipahami dalam konteks perubahan iklim dan bencana ekologis. Sementara itu, penelitian Dr. Aisyah Hanum membuktikan bahwa pendekatan integrasi agama dan sains dalam pendidikan menghasilkan pemahaman yang lebih komprehensif bagi peserta didik.

    Penafsiran ulama klasik seperti Fakhrur Razi dan Tantawi Jauhari tetap relevan hingga saat ini. Tafsir mereka bisa dijadikan rujukan dalam memahami tantangan kontemporer seperti isu lingkungan dan etika sains dalam era digital.