BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. ATH-THUR: 47

    Selasa, 11 Maret 2025

    Pertautan Konseptual

    Pada QS. Ath-Thur ayat 46, Allah menggambarkan hari ketika azab besar akan menimpa orang-orang yang zalim, suatu kondisi di mana mereka tidak akan bisa lari atau ditolong. Ayat 47 kemudian menegaskan bahwa sebelum azab utama itu, masih ada azab lain yang lebih kecil sebagai peringatan, meskipun kebanyakan manusia tidak menyadarinya.

    Dalam konteks pendidikan dan sains modern, ayat ini mengajarkan pentingnya memahami konsekuensi jangka panjang dan jangka pendek dalam proses pembelajaran. Seorang pelajar yang mengabaikan kedisiplinan atau tidak memahami konsep dasar akan menghadapi kesulitan akademik sebagai "peringatan" sebelum menghadapi kegagalan total. Begitu pula dalam sains, fenomena seperti perubahan iklim memberikan tanda-tanda peringatan sebelum bencana besar terjadi. Sayangnya, sebagaimana disebutkan dalam ayat, banyak yang tidak menyadari atau mengabaikan tanda-tanda tersebut.

    Dengan demikian, konsep tanasub dalam dua ayat ini mengajarkan bahwa setiap akibat besar sering kali diawali oleh peringatan-peringatan kecil yang dapat dipahami melalui pendidikan dan penelitian ilmiah. Hal ini menegaskan perlunya kesadaran akan "azab kecil" sebagai bagian dari proses pembelajaran dan pengambilan keputusan yang lebih baik di masa depan.


    Tinjauan Kebahasaan

    عَذَابًا دُونَ ذَٰلِكَ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

    Terjemahnya: "Dan sesungguhnya untuk orang-orang yang zalim ada azab selain daripada itu. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui".(47)

    Ayat ini memiliki susunan kalimat yang terdiri dari dua bagian utama: pernyataan tentang azab bagi orang zalim (عَذَابًا دُونَ ذَٰلِكَ) dan penegasan bahwa kebanyakan manusia tidak mengetahuinya (وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ). Pola ini membentuk hubungan sebab-akibat, di mana azab kecil yang diberikan merupakan bentuk peringatan, tetapi banyak yang tidak memahami hikmahnya. Struktur ini juga memperlihatkan kesinambungan dengan ayat sebelumnya (46), yang membahas azab akhirat, sedangkan ayat 47 menegaskan adanya azab duniawi sebagai pembelajaran sebelum azab yang lebih besar.

    Dari segi gaya bahasa, ayat ini menggunakan taukid (penegasan) dalam bentuk kata "لَكِنَّ" yang menunjukkan bahwa meskipun azab kecil telah diberikan, kebanyakan manusia tetap tidak memahami. Penggunaan kata "دُونَ" (selain daripada itu) memberikan makna hierarkis, mengindikasikan bahwa azab dunia lebih ringan dibanding azab akhirat. Pola ini memperlihatkan keindahan retorika Al-Qur'an dalam membangun pemahaman bertahap. Selain itu, kontradiksi antara adanya peringatan dan ketidaktahuan manusia menggambarkan keironisan kondisi manusia yang sering kali mengabaikan tanda-tanda kebesaran Allah.

    Kata "عَذَابًا" dalam ayat ini merujuk pada berbagai bentuk penderitaan, baik fisik maupun psikologis. Kata "دُونَ" menunjukkan tingkatan, di mana azab ini lebih rendah dari azab utama, yang berarti bisa berbentuk ujian kehidupan, penyakit, bencana, atau kesulitan lainnya. Frasa "وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ" menunjukkan ketidaktahuan mayoritas manusia, bukan dalam arti tidak memiliki informasi, tetapi lebih kepada sikap lalai dan tidak mengambil pelajaran. Makna ini relevan dengan fenomena modern di mana banyak orang mengabaikan tanda-tanda krisis sebelum menghadapi dampak yang lebih besar.

    Ayat ini mengandung simbolisme tentang siklus peringatan dan hukuman. "Azab kecil" bisa diartikan sebagai tanda atau simbol dari azab besar yang akan datang, sebagaimana dalam kehidupan seseorang, kegagalan kecil adalah peringatan sebelum kegagalan besar terjadi. Konsep ketidaktahuan manusia mencerminkan kebutaan sosial terhadap tanda-tanda perubahan, baik dalam aspek keagamaan maupun sains. Secara lebih luas, dalam konteks sosial dan lingkungan, ayat ini bisa dimaknai sebagai kritik terhadap ketidakpedulian manusia terhadap krisis moral, sosial, dan ekologi yang telah menunjukkan gejala awal sebelum dampak besar terjadi.

    Penjelasan Ulama Tafsir

    Fakhrur Razi dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib menafsirkan ayat ini dengan pendekatan teologis dan filosofis. Ia menjelaskan bahwa “azab selain daripada itu” merujuk pada siksaan dunia sebelum siksaan akhirat. Azab ini bisa berupa bencana alam, penyakit, atau penderitaan psikologis yang menimpa orang-orang zalim sebagai bentuk peringatan dari Allah. Menurutnya, manusia sering kali tidak menyadari bahwa kesulitan yang mereka alami adalah akibat dari perbuatan mereka sendiri. Fakhrur Razi juga menyoroti bahwa kezaliman bukan hanya dalam bentuk kejahatan terhadap orang lain, tetapi juga terhadap diri sendiri, misalnya dengan mengabaikan nilai-nilai kebenaran.

    Tanthawi Jauhari dalam tafsirnya Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an menafsirkan ayat ini dengan pendekatan ilmiah. Ia melihat “azab selain daripada itu” sebagai fenomena alam yang bisa dijelaskan secara ilmiah, seperti gempa bumi, banjir, dan wabah penyakit yang terjadi akibat pelanggaran manusia terhadap hukum alam. Tanthawi berpendapat bahwa Al-Qur’an memiliki banyak isyarat ilmiah, termasuk dalam ayat ini, yang mengajak manusia untuk memahami hukum sebab-akibat di alam semesta. Ia menekankan pentingnya ilmu pengetahuan dalam memahami peringatan Allah, agar manusia tidak hanya melihatnya sebagai hukuman tetapi juga sebagai pelajaran untuk memperbaiki diri.

    Sains Modern dan Pendidikan 

    Ayat ini memiliki relevansi kuat dengan berbagai aspek sains modern dan pendidikan. Dalam konteks sains, peringatan tentang azab dunia dapat dikaitkan dengan bencana alam dan dampaknya terhadap ekosistem. Ilmuwan telah menemukan bahwa banyak bencana terjadi akibat eksploitasi lingkungan oleh manusia, seperti perubahan iklim akibat deforestasi dan polusi. Hal ini selaras dengan tafsir Tanthawi Jauhari yang menekankan keterkaitan antara hukum alam dan tindakan manusia.

    Dalam bidang kesehatan, “azab” ini juga bisa diinterpretasikan sebagai penyakit akibat gaya hidup tidak sehat. Misalnya, meningkatnya penyakit jantung, diabetes, dan gangguan mental disebabkan oleh pola makan buruk, stres, dan kurangnya kesadaran akan kesehatan. Penafsiran Fakhrur Razi yang menekankan bahwa azab bisa bersifat psikologis juga sesuai dengan meningkatnya kasus gangguan kesehatan mental akibat tekanan sosial dan ekonomi.

    Dalam dunia pendidikan, ayat ini mengajarkan pentingnya kesadaran dan pemahaman kritis terhadap realitas kehidupan. Pendidikan modern menekankan pendekatan saintifik dan kritis dalam memahami fenomena alam serta dampak tindakan manusia. Dengan memahami konsep sebab-akibat dalam ayat ini, peserta didik dapat lebih sadar akan dampak dari perilaku mereka terhadap lingkungan dan masyarakat. Selain itu, pendidikan karakter yang berbasis nilai-nilai Al-Qur’an dapat membantu membentuk individu yang bertanggungjawab dan tidak melakukan kezaliman dalam bentuk apa pun.

    Riset yang Relevan 

    Diantara penelitian yang memiliki relevansi dengan petunjuk ayat ini dalam konteks sains dan pendidikan, yaitu penelitian Dr. Muhammad Saeed & Tim. Tema penelitiannya adalah "The Impact of Environmental Degradation on Natural Disasters: A Quranic and Scientific Perspective".

    Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan analisis teks Al-Qur’an serta data empiris dari bencana alam global. Studi ini menemukan bahwa banyak bencana lingkungan, seperti banjir dan kebakaran hutan, dapat dikaitkan dengan eksploitasi manusia terhadap sumber daya alam. Kajian Al-Qur’an menunjukkan bahwa konsep “azab” dalam Islam memiliki dimensi ekologis, di mana kezaliman terhadap alam dapat menyebabkan kehancuran yang lebih besar. Temuan ini menguatkan tafsir Tanthawi Jauhari bahwa “azab” bisa berupa fenomena alam yang berakar pada tindakan manusia.

    Penelitian serupa, yaitu sebuah studi yang dilakukan oleh  Prof. Aisha Rahman & Dr. Khalid Al-Mutairi dengan judul "Psychological Consequences of Social Oppression: Analyzing the Quranic Concept of Injustice". Metode yang yang diterapkan adalah studi psikologi sosial dengan wawancara dan survei terhadap korban kezaliman sosial, dikombinasikan dengan kajian tafsir terhadap konsep zulm (kezaliman) dalam Al-Qur’an. Studi ini mengemukakan bahwa individu yang mengalami kezaliman sosial, seperti diskriminasi dan eksploitasi, cenderung mengalami gangguan mental seperti depresi dan kecemasan. Konsep “azab” dalam Al-Qur’an juga bisa berupa penderitaan psikologis akibat ketidakadilan. Hal ini selaras dengan pandangan Fakhrur Razi yang menekankan bahwa azab bisa terjadi dalam bentuk psikologis akibat tindakan manusia sendiri.

    Kedua riset ini menegaskan bahwa konsep azab dalam Al-Qur’an tidak hanya bersifat teologis tetapi juga memiliki dimensi ilmiah dan sosial yang relevan dengan tantangan dunia modern. Dalam teori dan hukum sebab-akibat, perbuatan akan menghadirkan kemaslahatan dan kebaikan. Sebaliknya perbuatan buruk akan berakibat buruk dan kehancuran.