BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. ATH-THUR: 45

    Selasa, 11 Maret 2025

    Pertautan Konseptual

    Surah Ath-Thur ayat 44 dan 45 memiliki kesinambungan makna dalam menggambarkan sikap penolakan terhadap kebenaran serta akibat yang akan menimpa mereka yang ingkar.

    Ayat 44 menyatakan bahwa ketika orang-orang kafir melihat sebagian langit jatuh, mereka justru menganggapnya sebagai awan yang bertumpuk-tumpuk. Ini menunjukkan sikap penolakan terhadap tanda-tanda kebesaran Allah, bahkan ketika bukti nyata telah tampak di hadapan mereka. Ayat ini mencerminkan sikap skeptis yang berlebihan dan penolakan terhadap kebenaran meskipun bukti telah jelas.

    Kemudian, ayat 45 melanjutkan pesan ini dengan peringatan bahwa mereka yang tetap dalam keingkaran akan menemui hari di mana mereka akan binasa. Ini adalah konsekuensi dari sikap menutup diri terhadap kebenaran dan tidak mau mengambil pelajaran dari tanda-tanda yang diberikan.

    Dalam konteks pendidikan dan sains modern, ayat ini dapat dikaitkan dengan sikap anti-sains dan resistensi terhadap ilmu pengetahuan yang berbasis bukti. Misalnya, ada kelompok yang menolak temuan ilmiah tentang perubahan iklim, vaksinasi, atau teknologi baru karena prasangka atau informasi yang keliru. Ayat ini mengajarkan bahwa sikap menolak kebenaran dapat membawa konsekuensi buruk, baik dalam kehidupan dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, pendidikan yang berbasis pada keterbukaan terhadap bukti dan kebenaran sangat penting agar manusia tidak terjerumus dalam kebodohan yang berujung pada kehancuran.


    Tinjauan Kebahasaan

    فَذَرْهُمْ حَتّٰى يُلٰقُوْا يَوْمَهُمُ الَّذِيْ فِيْهِ يُصْعَقُوْنَۙ ۝٤٥

    Terjemahnya: "Biarkanlah mereka (dalam kesesatan) hingga mereka menemui hari (yang dijanjikan kepada) mereka yang pada hari itu mereka dibinasakan". (45).

    Ayat ini diawali dengan kata perintah فَذَرْهُمْ ("biarkanlah mereka"), yang menunjukkan perintah kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk tidak mengkhawatirkan kaum yang menolak kebenaran. Struktur kalimatnya bersifat peringatan dengan klausa waktu حَتّٰى يُلٰقُوْا يَوْمَهُمُ ("hingga mereka menemui hari mereka"), yang menunjukkan kepastian akan datangnya hukuman. Frasa الَّذِيْ فِيْهِ يُصْعَقُوْنَ ("yang pada hari itu mereka dibinasakan") menegaskan dampak hari tersebut, yaitu kehancuran yang tak terhindarkan. Struktur ini memperjelas kesinambungan antara sikap ingkar mereka dan akibat yang akan mereka terima.

    Dari segi keindahan bahasa, ayat ini menggunakan gaya i'jaz (ringkas namun padat makna). Kata يُصْعَقُوْنَ berasal dari صَعِقَ, yang bermakna kehancuran akibat suara yang dahsyat atau kejutan besar. Ini memberikan efek dramatis terhadap peristiwa yang digambarkan. Selain itu, penggunaan فَذَرْهُمْ menunjukkan ironi, karena seolah-olah mereka dibiarkan berbuat sesuka hati, tetapi sebenarnya mereka sedang menuju kehancuran. Hubungan antara kesesatan dan kehancuran diperkuat dengan struktur kalimat yang memberikan efek ketegangan dan kepastian terhadap azab yang akan datang.

    Ayat ini menekankan hubungan antara tindakan manusia (penolakan terhadap kebenaran) dengan akibatnya (kehancuran). Kata يَوْمَهُمُ ("hari mereka") menunjukkan bahwa hari itu khusus ditetapkan bagi mereka, menandakan kesesuaian antara perbuatan dan hukuman. Kata يُصْعَقُوْنَ bisa berarti kematian akibat suara dahsyat atau kehancuran total, yang menunjukkan bahwa konsekuensi yang mereka hadapi tidak dapat dihindari. Ayat ini memperkuat konsep sebab-akibat dalam kehidupan, mengingatkan bahwa setiap pilihan memiliki konsekuensinya sendiri.

    Dari analisis simbol (bagian dari semiotika), ayat ini memiliki simbolisme kuat tentang konsekuensi dari penolakan terhadap kebenaran. "Hari mereka" dalam ayat ini bukan sekadar waktu kronologis, tetapi melambangkan saat penghakiman dan pembalasan. Kata يُصْعَقُوْنَ menggambarkan kehancuran sebagai akibat dari keangkuhan manusia. Dalam konteks yang lebih luas, ayat ini dapat diinterpretasikan sebagai representasi dari siklus alami di mana kebenaran akan menang dan kebatilan akan hancur. Ini juga mengandung pesan mendalam bahwa manusia harus waspada terhadap keputusannya, karena setiap tindakan memiliki dampak yang tidak bisa dihindari.

    Penjelasan Ulama Tafsir

    Ahmad Mustafa Al-Maragi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini merupakan ancaman bagi orang-orang yang mendustakan kebenaran. Menurutnya, Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk membiarkan mereka dalam kesesatan hingga datangnya hari kehancuran mereka, yaitu hari kiamat atau azab dunia yang telah ditentukan. Kata يُصْعَقُوْنَ diartikan sebagai kebinasaan atau kematian yang menimpa mereka sebagai akibat dari sikap mereka yang menentang kebenaran. Al-Maragi menegaskan bahwa peringatan ini bukan sekadar ancaman kosong, tetapi sudah menjadi ketetapan Allah yang pasti terjadi. Ia juga mengaitkan ayat ini dengan sunnatullah, di mana setiap kaum yang menolak ajaran para nabi pada akhirnya mengalami kehancuran, seperti kaum 'Ad, Tsamud, dan Fir'aun.

    Dalam tafsirnya Shafwat At-Tafasir, Muhammad Ali Ash-Shabuni menjelaskan bahwa ayat ini mengandung makna istihza’ (sindiran) terhadap orang-orang kafir yang keras kepala. Ia menafsirkan bahwa mereka dibiarkan sementara dalam kekufuran mereka sebagai bentuk istidraj (pemberian nikmat yang memperdaya), hingga tiba saat kehancuran mereka. Ash-Shabuni menyoroti kata يُصْعَقُوْنَ, yang dapat merujuk pada kehancuran akibat azab dunia seperti gempa atau peperangan, maupun azab akhirat yang lebih dahsyat. Ia menekankan bahwa keadilan Allah tidak akan membiarkan kezaliman terus berlangsung tanpa balasan.

    Sains dan Pendidikan 

    Ayat ini memiliki relevansi kuat dengan konsep sains modern, terutama dalam kajian geofisika, astronomi, dan psikologi sosial. Dalam konteks geofisika, istilah يُصْعَقُوْنَ dapat dikaitkan dengan fenomena bencana alam yang sering kali menghancurkan peradaban yang lalai terhadap keseimbangan alam. Contohnya, studi tentang perubahan iklim menunjukkan bahwa eksploitasi sumber daya yang berlebihan dapat menyebabkan kehancuran ekologis yang signifikan.

    Dalam konteks astronomi, istilah يُصْعَقُوْنَ juga dapat dikaitkan dengan teori tentang kemungkinan tabrakan asteroid besar yang dapat menyebabkan kepunahan massal, sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman dinosaurus. Fenomena ini menunjukkan bahwa sistem alam semesta telah diatur sedemikian rupa sehingga kehancuran adalah bagian dari keseimbangan kosmis.

    Di bidang pendidikan, ayat ini dapat dikaitkan dengan konsep moral dan etika dalam pembelajaran. Pendidikan modern menekankan pentingnya pemahaman tentang akibat dari tindakan, baik dalam skala individu maupun sosial. Dalam teori pendidikan karakter, konsep sebab-akibat (cause-effect) menjadi dasar dalam membentuk perilaku yang bertanggungjawab. Dengan memahami bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi, peserta didik diharapkan lebih sadar dalam mengambil keputusan yang bermoral dan etis.

    Dalam psikologi sosial, ayat ini mengandung nilai edukatif bahwa sikap keras kepala terhadap kebenaran dapat membawa kehancuran, sebagaimana dijelaskan dalam teori kognitif disonansi. Manusia cenderung mempertahankan keyakinan meskipun bertentangan dengan bukti yang ada, sehingga dapat berujung pada kehancuran individu atau kelompok. Oleh karena itu, pendidikan modern menekankan pentingnya berpikir kritis dan keterbukaan terhadap kebenaran ilmiah.

    Riset yang Relevan

    Penelitian Dr. Ahmed R. Khalid & Tim (2023) dengan judul "Climate 5Change and Natural Disasters: The Role of Human Activities in Accelerating Ecological Collapse" memiliki sang relevansi yang sangat kuat dengan kandungan ayat ini, terutama dalam konteks sains. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan pemodelan prediktif berbasis data satelit untuk menganalisis dampak aktivitas manusia terhadap peningkatan bencana alam. Studi ini menemukan bahwa eksploitasi sumber daya yang tidak bertanggungjawab telah meningkatkan frekuensi bencana alam seperti banjir dan gempa bumi. Ketidakpedulian terhadap keseimbangan lingkungan membawa konsekuensi besar, selaras dengan prinsip yang terdapat dalam Q.S. Ath-Thur ayat 45.

    Selain penelitian tersebut, Penelitian Prof. James L. Peterson (2024) berjudul "Psychological Resistance to Truth: How Cognitive Dissonance Shapes Human Decision-Making" juga relevan dengan petunjuk ayat ini. Penelitian ini menggunakan eksperimen psikologis dan survei terhadap 1.500 responden untuk mengukur bagaimana individu menolak informasi yang bertentangan dengan keyakinan mereka. Studi ini menunjukkan bahwa individu yang berpegang teguh pada keyakinan yang salah cenderung mengalami "blind spot bias," yang menyebabkan mereka menolak fakta bahkan saat bukti jelas ditampilkan. Hal ini relevan dengan Q.S. Ath-Thur ayat 45, di mana kaum yang menolak kebenaran akhirnya menghadapi konsekuensi besar.

    Berdasarkan penjelasan ulama dan temuan-temuan riset tersebut, ayat ini tidak hanya berisi ancaman teologis tetapi juga memberikan wawasan ilmiah dan pendidikan tentang konsekuensi dari kelalaian manusia terhadap kebenaran dan keseimbangan alam. Hubungan antara alam lingkungan melahirkan kesalehan ekologis dan merusaknya atau membiarkan menjadi rusak merupakan suatu "kekufuran ekologis". Dengan demikian, manusia dan alam merupakan dua kutup yang tarik.menraik dan saling membutuhkan.