Pertautan Konseptual
Surah Ath-Thur ayat 37 dan 38 membangun kesinambungan logis dalam membantah klaim orang-orang kafir tentang kebenaran wahyu. Ayat 37 mempertanyakan apakah mereka memiliki perbendaharaan rahasia Allah atau menjadi penguasa atas alam semesta. Lalu, ayat 38 menantang mereka apakah mereka memiliki tangga ke langit untuk mendengarkan langsung keputusan Allah, sehingga mereka bisa mengklaim kebenaran tanpa dasar.
Dalam konteks pendidikan dan sains modern, dua ayat ini mencerminkan esensi berpikir kritis dan verifikasi ilmiah. Pendidikan modern menekankan pentingnya metode ilmiah, di mana klaim harus didasarkan pada bukti yang nyata (سلطان مبين). Sama seperti Al-Qur’an menantang klaim tanpa dasar, sains juga menolak asumsi yang tidak dapat diuji. Sementara itu, konsep "tangga ke langit" dapat dimaknai sebagai upaya manusia mencari pengetahuan melalui eksplorasi dan penelitian, bukan sekadar spekulasi.
Dari perspektif epistemologi Islam, ayat ini mengajarkan bahwa ilmu tidak boleh berdasarkan klaim tanpa bukti. Dalam pendidikan, ini relevan dengan prinsip kejujuran akademik dan penelitian berbasis bukti. Selain itu, ayat ini juga menggugah refleksi terhadap batasan pengetahuan manusia. Kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat tetap tidak mampu menyingkap semua rahasia alam, menunjukkan bahwa wahyu tetap menjadi sumber pengetahuan tertinggi. Dengan demikian, Al-Qur’an dan sains bukanlah dua entitas yang bertentangan, tetapi saling melengkapi dalam memahami hakikat kehidupan dan keberadaan.
Analisis Kebahasaan
أَمْ لَهُمْ سُلَّمٌ يَسْتَمِعُونَ فِيهِ ۖ فَلْيَأْتِ مُسْتَمِعُهُم بِسُلْطَٰنٍ مُّبِينٍ
Terjemahnya: "Ataukah mereka mempunyai tangga (ke langit) untuk mendengarkan pada tangga itu (hal-hal yang gaib)? Maka hendaklah orang yang mendengarkan di antara mereka mendatangkan suatu keterangan yang nyata"(38).
Ayat ini menggunakan struktur istifhām inkārī (pertanyaan retoris yang bersifat penolakan), yang menegaskan ketidakmungkinan klaim orang kafir. Ayat dimulai dengan أَمْ, yang berfungsi sebagai transisi dari pertanyaan sebelumnya, menunjukkan kesinambungan argumen. Frasa لَهُمْ سُلَّمٌ menggambarkan sesuatu yang tidak nyata, yakni tangga ke langit, sebagai metafora akses langsung ke rahasia Ilahi. Pola kalimatnya mengarah pada tantangan logis, ditutup dengan perintah فَلْيَأْتِ yang bersifat imperatif, menunjukkan tuntutan bukti konkret. Struktur ini memperkuat retorika Al-Qur’an dalam membantah klaim batil dengan logika yang tajam dan sistematis.
Keindahan retoris dalam ayat ini terletak pada penggunaan istifhām (pertanyaan) yang menyindir (أَمْ لَهُمْ سُلَّمٌ) untuk menggugah kesadaran. Majaz (metafora) dalam سُلَّمٌ memperlihatkan kesia-siaan klaim mereka seolah-olah mereka memiliki jalan rahasia ke langit. Frasa يَسْتَمِعُونَ فِيهِ menampilkan sarkasme halus, seolah-olah mereka bisa mencuri informasi ilahi. Sementara itu, فَلْيَأْتِ مُسْتَمِعُهُم adalah tantangan terbuka dengan qashr (pembatasan) bahwa satu-satunya cara membuktikan klaim mereka adalah dengan menghadirkan سُلْطَانٍ مُّبِينٍ, yakni bukti yang nyata dan tak terbantahkan, yang pada kenyataannya mustahil mereka miliki.
Kata سُلَّمٌ secara harfiah berarti tangga atau sarana naik, tetapi dalam konteks ini menjadi metafora bagi akses terhadap ilmu ghaib. Kata يَسْتَمِعُونَ berasal dari akar س م ع (mendengar), yang dalam Al-Qur’an sering dikaitkan dengan pencarian kebenaran, tetapi dalam konteks ini menyiratkan klaim palsu mendengar wahyu. سُلْطَانٍ مُّبِينٍ berarti bukti yang nyata dan kuat, bukan sekadar argumen retoris. Makna semantik ayat ini menunjukkan bahwa pengetahuan tidak bisa didasarkan pada asumsi, tetapi harus memiliki landasan yang jelas, relevan dengan prinsip ilmiah bahwa klaim harus diuji kebenarannya melalui metode yang sahih.
Kata سُلَّمٌ dari ilmu tanda dan simbol, kata ini sebagai simbol perjalanan menuju pengetahuan menunjukkan bahwa akses terhadap ilmu hakiki tidaklah mudah dan membutuhkan proses. Istilah سُلْطَانٍ مُّبِينٍ secara simbolik merepresentasikan otoritas kebenaran, yang dalam konteks wahyu hanya dimiliki oleh Allah dan Rasul-Nya. Pertanyaan dalam ayat ini berfungsi sebagai kode budaya (cultural code) yang membongkar klaim palsu orang-orang kafir, sekaligus menegaskan batas epistemologis manusia. Dengan demikian, ayat ini menjadi kritik terhadap spekulasi tanpa dasar, sebuah prinsip yang juga dipegang dalam ilmu pengetahuan modern bahwa kebenaran harus didukung bukti nyata.
Penjelasan Ulama
Fakhrur Razi dalam Tafsir al-Kabir menjelaskan bahwa ayat ini mengandung unsur istifham inkari (pertanyaan retoris yang menyanggah klaim lawan). Ayat ini ditujukan kepada kaum musyrik Mekah yang menolak kenabian Muhammad ﷺ dan kebenaran wahyu. Ia menafsirkan "سُلَّمٌ" (tangga) sebagai kiasan bagi sarana atau cara yang memungkinkan manusia mengakses ilmu ghaib. Menurutnya, ayat ini menantang klaim bahwa mereka memiliki jalan khusus untuk memperoleh wahyu atau mendengar langsung dari langit. Fakhrur Razi juga menegaskan bahwa tantangan ini memperlihatkan keunggulan wahyu dibanding dugaan atau asumsi manusia semata.
Tanthawi Jauhari dalam Tafsir al-Jawahir menafsirkan ayat ini dengan pendekatan ilmiah. Baginya, kata "سُلَّمٌ" bisa juga diartikan sebagai sarana ilmu pengetahuan untuk mencapai pemahaman yang lebih tinggi. Ia mengaitkan ayat ini dengan eksplorasi ilmu astronomi, menunjukkan bahwa langit dan alam semesta hanya dapat dijangkau melalui metode ilmiah. Jauhari menekankan bahwa kebenaran harus didukung oleh bukti yang nyata (سلطان مبين), yang dalam konteks modern bisa berarti metode ilmiah dan eksperimen. Dengan demikian, tafsirnya lebih mengarah pada penegasan pentingnya ilmu pengetahuan dalam memahami alam dan menolak klaim tanpa bukti.
Sains dan Pendidikan
Ayat ini memiliki relevansi dengan sains modern, terutama dalam bidang astronomi, fisika, dan epistemologi:
1. Astronomi dan Eksplorasi Ruang Angkasa
Ayat ini menyinggung konsep "tangga ke langit", yang dalam perspektif sains modern dapat dikaitkan dengan eksplorasi luar angkasa. Ilmuwan saat ini menggunakan roket dan teleskop canggih untuk "mendengar" dan mengamati fenomena di alam semesta, seperti gelombang gravitasi dan radiasi kosmik. Konsep Sultan Mubin (bukti nyata) juga selaras dengan metode ilmiah dalam mengeksplorasi kebenaran alam semesta.
2. Metodologi Ilmu Pengetahuan
Dalam pendidikan modern, ayat ini menegaskan pentingnya berpikir kritis dan berbasis bukti. Seperti tantangan dalam ayat ini, ilmu pengetahuan modern tidak menerima klaim tanpa bukti empiris. Pendekatan ilmiah yang berbasis observasi dan eksperimen sesuai dengan prinsip dalam ayat ini, yaitu perlunya "bukti nyata" dalam membuktikan suatu kebenaran.
3. Filosofi Pendidikan
Pendidikan berbasis sains saat ini menekankan pendekatan berbasis bukti dalam memahami fenomena. Ayat ini bisa menjadi landasan bagi pengembangan kurikulum yang mengajarkan pentingnya pembuktian ilmiah dan sikap skeptis terhadap klaim yang tidak memiliki dasar kuat.
Riset yang Relevan
Penelitian Dr. Brian Green dan tim berjudul: "Observing Cosmic Signals: The Next Step in Understanding the Universe", Sebuah studi observasional menggunakan teleskop radio untuk mendeteksi sinyal dari luar angkasa. Tim berhasil mendeteksi pola gelombang radio dari eksoplanet yang menunjukkan kemungkinan adanya aktivitas elektromagnetik yang belum diketahui sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa ada banyak informasi tentang alam semesta yang masih perlu dijelaskan dengan bukti nyata.
Selain itu, penelitian Dr. Amelia Robertson bertajuk "Scientific Literacy and Critical Thinking in Modern Education: A Comparative Study" Studi komparatif yang menganalisis efektivitas pendekatan berbasis bukti dalam kurikulum pendidikan di berbagai negara. Studi ini menemukan bahwa negara-negara yang menerapkan pendekatan ilmiah dalam pendidikan memiliki tingkat literasi sains yang lebih tinggi, yang selaras dengan konsep dalam Q.S. Ath-Thur: 38 tentang pentingnya bukti dalam memahami kebenaran.
Dari kedua penelitian ini, kita bisa melihat bahwa pendekatan berbasis bukti (سلطان مبين) memiliki implikasi besar dalam sains modern dan pendidikan. Ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an telah mengajarkan prinsip ilmiah jauh sebelum metode ilmiah modern berkembang. Ayat ini menginspirasi untuk pengembangan sains dan pendidikan dan inovasinya tanpa henti.
0 komentar