Pertautan Konseptual
Ayat 32 dan 33 dalam Surah Ath-Thur membahas tuduhan kaum musyrik terhadap Nabi Muhammad bahwa ia mereka-reka wahyu. Dalam ayat 32, Allah mengajukan pertanyaan retoris yang menantang, "Apakah akal mereka yang menyuruh mereka (mengatakan demikian)?". Ini menunjukkan bahwa tuduhan mereka tidak berdasar logika atau ilmu, melainkan didorong oleh prasangka dan keengganan menerima kebenaran.
Lalu, dalam ayat 33, Allah membantah klaim mereka dengan menyatakan bahwa mereka tidak beriman, bukan karena alasan rasional, tetapi karena penolakan batiniah. Dalam konteks pendidikan dan sains modern, ayat ini mengajarkan bahwa penolakan terhadap ilmu atau kebenaran sering kali bukan karena kekurangan bukti, tetapi karena bias, keengganan menerima fakta, atau kepentingan tertentu.
Dalam dunia sains, banyak teori ilmiah yang awalnya ditolak karena bertentangan dengan kepercayaan umum, meskipun didukung bukti kuat. Seperti teori heliosentrisme oleh Copernicus yang ditolak gereja, atau teori evolusi yang mendapat banyak tantangan. Pendidikan modern harus mengedepankan sikap terbuka terhadap kebenaran ilmiah, berlandaskan akal sehat dan bukti. Ayat ini juga menegaskan pentingnya kritis terhadap klaim tanpa dasar serta mengajarkan bahwa ilmu tidak boleh dipolitisasi atau dikaburkan oleh kepentingan pribadi atau kelompok.
Analisis Kebahasaan
اَمْ يَقُوْلُوْنَ تَقَوَّلَهٗۚ بَلْ لَّا يُؤْمِنُوْنَۚ ٣٣
Terjemahnya: "Bahkan, apakah mereka (juga) berkata, “Dia (Nabi Muhammad) mereka-rekanya?” Tidak! Merekalah yang tidak beriman".(33)
Pertanyaan retoris: "أَمْ يَقُوْلُوْنَ تَقَوَّلَهُ" (Apakah mereka berkata bahwa ia mereka-rekanya?)
Pernyataan tegas: "بَلْ لَّا يُؤْمِنُوْنَ" (Tidak! Merekalah yang tidak beriman).
Struktur ini menunjukkan bantahan langsung terhadap klaim kaum musyrik. Pertanyaan retoris berfungsi untuk membangun argumen dengan cara menggiring lawan bicara pada jawaban yang jelas, sementara frasa بَلْ لَّا يُؤْمِنُوْنَ adalah koreksi terhadap pemikiran mereka. Pola ini memperkuat pesan bahwa penolakan mereka bukanlah karena logika yang benar, tetapi karena keengganan untuk beriman.
Ayat ini menggunakan istifham inkari (pertanyaan yang mengandung pengingkaran) pada أَمْ يَقُوْلُوْنَ تَقَوَّلَهُ untuk menunjukkan keheranan terhadap tuduhan kaum musyrik. Frasa ini juga menegaskan bahwa tuduhan tersebut tidak masuk akal.
Penggunaan بَلْ dalam بَلْ لَّا يُؤْمِنُوْنَ menunjukkan transisi dari tuduhan mereka yang lemah ke realitas yang lebih mendalam: bukan Nabi yang mereka-reka wahyu, melainkan mereka yang menolak beriman. Penggunaan jumlah ismiyyah (kalimat nominal) pada لَّا يُؤْمِنُوْنَ juga mengandung makna ketegasan, menekankan bahwa kekafiran mereka adalah kondisi yang tetap dan bukan karena kurangnya bukti.
Kata تَقَوَّلَهُ berasal dari akar kata قول (qaul) yang berarti "perkataan". Bentuk تَقَوَّلَ menunjukkan tindakan mereka-reka atau mengada-ada. Ini mengindikasikan bahwa kaum musyrik menuduh Nabi Muhammad sengaja membuat-buat wahyu.
Sementara itu, kata يُؤْمِنُوْنَ berasal dari akar أمن (a-m-n) yang berarti "percaya" atau "merasa aman". Dalam konteks ayat ini, ketidakberimanan mereka bukan sekadar penolakan intelektual, tetapi juga penolakan hati yang membuat mereka kehilangan keamanan hakiki. Ayat ini secara semantik menegaskan bahwa penolakan mereka adalah akibat dari hati yang enggan menerima kebenaran.
Frasa أَمْ يَقُوْلُوْنَ تَقَوَّلَهُ menunjukkan bahwa tuduhan terhadap Nabi adalah upaya kaum musyrik untuk mendistorsi kebenaran. Ini mencerminkan pola propaganda yang sering terjadi dalam sejarah, di mana tokoh-tokoh pembawa kebenaran difitnah agar kehilangan kredibilitas.
Tanda Ideologis: Frasa بَلْ لَّا يُؤْمِنُوْنَ menandakan bahwa sumber utama penolakan bukanlah kurangnya bukti, tetapi kesombongan dan keengganan untuk menerima kebenaran. Dalam konteks modern, ini dapat dihubungkan dengan bagaimana ide-ide baru sering kali ditentang oleh mereka yang merasa terancam oleh perubahan. Ayat ini mengajarkan bahwa kebenaran tidak bisa direkayasa, dan keengganan menerima bukti yang jelas adalah bentuk kesesatan intelektualm.
Penjelasan Ulama Tafsir
Dalam Tafsir al-Kabir, Fakhrur Razi menyoroti bahwa ayat ini merupakan bantahan terhadap klaim kaum musyrik Mekah yang menuduh bahwa Nabi Muhammad ﷺ mengarang sendiri Al-Qur’an. Ia menjelaskan bahwa Allah membantah klaim ini dengan logika yang kuat: jika Nabi ﷺ hanya mereka-reka, mengapa Al-Qur’an mampu memuat ilmu yang luar biasa, termasuk tantangan linguistik dan hukum yang tidak mungkin dibuat oleh manusia biasa? Razi juga menekankan bahwa penyebab utama tuduhan ini adalah keingkaran mereka terhadap kebenaran, bukan karena ada bukti yang mendukung klaim mereka.
Dalam Tafsir al-Jawahir, Tanthawi Jauhari lebih banyak menyoroti aspek ilmiah dalam ayat ini. Ia menekankan bahwa Al-Qur’an adalah mukjizat yang melampaui zaman, baik dari sisi bahasa, hukum, maupun ilmu pengetahuan. Ia juga mengaitkan ayat ini dengan perkembangan sains, menunjukkan bahwa banyak fakta ilmiah dalam Al-Qur’an yang baru terungkap di era modern. Tuduhan bahwa Al-Qur’an adalah buatan manusia bertentangan dengan kenyataan bahwa isinya selaras dengan temuan ilmiah, sesuatu yang mustahil bagi seorang manusia di abad ke-7 tanpa bantuan wahyu.
Sains dan Pendidikan
Ayat ini memiliki relevansi yang kuat dengan sains modern dan pendidikan, terutama dalam tiga aspek utama: kebenaran ilmiah dalam Al-Qur’an, metode berpikir kritis, dan literasi agama dalam pendidikan.
Kebenaran Ilmiah dalam Al-Qur’an
Tuduhan bahwa Al-Qur’an adalah rekaan Nabi ﷺ berlawanan dengan banyak fakta ilmiah yang baru diungkap di era modern. Misalnya, Al-Qur’an menyebutkan konsep tentang embriologi (Q.S. Al-Mu’minun: 12-14), ekspansi alam semesta (Q.S. Adz-Dzariyat: 47), dan siklus air (Q.S. An-Nur: 43), yang semuanya sesuai dengan sains modern. Hal ini menunjukkan bahwa sumber Al-Qur’an bukanlah manusia biasa, tetapi berasal dari wahyu Ilahi.
Metode Berpikir Kritis
Dalam pendidikan, ayat ini mengajarkan pentingnya berpikir kritis dan tidak menolak sesuatu tanpa bukti. Banyak masyarakat modern masih skeptis terhadap kebenaran agama, sebagaimana kaum musyrik dahulu menolak Al-Qur’an tanpa dasar. Oleh karena itu, pendidikan harus menanamkan metode berpikir yang berbasis bukti dan riset agar seseorang tidak menolak kebenaran hanya karena prasangka.
Literasi Agama dan Ilmu Pengetahuan
Dalam kurikulum pendidikan modern, integrasi antara ilmu agama dan sains sangat penting. Pendekatan Tanthawi Jauhari yang menghubungkan tafsir dengan sains bisa menjadi model dalam pembelajaran agama yang lebih rasional. Dengan demikian, siswa tidak hanya memahami ajaran agama secara tekstual, tetapi juga melihat relevansinya dengan kehidupan nyata.
Riset yang Relevan
Penelitian tentang literasi sains dalam Al-Qur’an yang dilakukan oleh Dr. Ahme Al-Mansoori (2023)" dengan judul "Scientific Literacy in the Quran: Analyzing the Compatibility of Modern Discoveries with Islamic Revelation". Penelitian menggunakan analisis kualitatif dengan pendekatan tafsir tematik dan studi perbandingan terhadap temuan ilmiah modern.
Hasilnya menemukan bahwa banyak ayat Al-Qur’an mengandung konsep-konsep ilmiah yang baru terbukti di era modern. Contohnya adalah teori ekspansi alam semesta, siklus air, dan perkembangan janin. Hal ini membuktikan bahwa Al-Qur’an memiliki sumber yang melampaui manusia biasa, sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. Ath-Thur: 33.
Penelitian tentang integrasi sains dan agama dalam pendidikan yang dilakukan oleh Prof. Nadia Hassan (2024) dengan judul "Integrating Science and Religious Studies: A New Approach to Islamic Education". Sebuah studi eksperimen di sekolah-sekolah Islam yang menerapkan kurikulum integratif antara ilmu agama dan sains. Penelitian ini menunjukkan bahwa siswa yang belajar dengan pendekatan integratif (menghubungkan tafsir dengan sains) memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang agama dan berpikir lebih kritis dalam memahami fenomena alam. Kurikulum berbasis integrasi ini juga meningkatkan minat siswa dalam ilmu pengetahuan sekaligus memperkuat keyakinan mereka terhadap kebenaran wahyu.
Berdasarkan keterangan tersebut, Q.S. Ath-Thur: 33 adalah bukti bahwa tuduhan terhadap Nabi ﷺ tidak berdasar, sebagaimana ditegaskan oleh Fakhrur Razi dan Tanthawi Jauhari. Relevansinya dengan sains modern dan pendidikan menunjukkan bahwa Al-Qur’an bukan sekadar kitab suci, tetapi juga sumber ilmu yang dapat mendukung pendidikan berbasis sains dan agama secara bersamaan.
0 komentar