BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. ATH-THUR: 29

    Minggu, 09 Maret 2025

     Pertautan Konseptual

    Ayat 28 Surah Ath-Thur membahas tentang perlindungan Allah bagi hamba-hamba-Nya yang beriman serta bagaimana mereka memperoleh nikmat karena ketakwaan mereka. Ayat ini menekankan bahwa segala pencapaian dan keselamatan seseorang tidak terlepas dari rahmat Allah. Sementara itu, ayat 29 menyeru Nabi Muhammad ﷺ untuk tetap memberikan peringatan, dengan menegaskan bahwa beliau bukanlah seorang dukun atau orang gila, melainkan seorang utusan yang berbicara berdasarkan wahyu dan ilmu.

    Dalam konteks pendidikan dan sains modern, hubungan antara kedua ayat ini mencerminkan pentingnya peran ilmu pengetahuan yang berbasis wahyu dan akal sehat. Pendidikan yang berkualitas harus berlandaskan pada ilmu yang benar, bukan takhayul atau spekulasi tanpa dasar ilmiah. Sains modern juga menekankan metode yang rasional dan berbasis bukti, sebagaimana wahyu yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ yang memiliki dasar kebenaran yang kuat. Ayat ini juga menegaskan bahwa kebenaran perlu disampaikan meskipun menghadapi penolakan. Ini sejalan dengan prinsip dalam dunia akademik, di mana kebenaran ilmiah harus terus disebarluaskan meskipun bertentangan dengan kepercayaan populer.

    Selain itu, ayat ini mengajarkan bahwa seorang pendidik atau ilmuwan harus memiliki integritas dan tetap teguh dalam menyampaikan ilmu, tanpa terpengaruh oleh anggapan miring dari masyarakat. Dengan demikian, kedua ayat ini membentuk satu kesatuan konsep yang menekankan pentingnya ilmu, kebenaran, dan keteguhan dalam menyampaikan pengetahuan, baik dalam konteks keagamaan maupun dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern.

    Analisis dari Aspek Bahasa

    فَذَكِّرْ فَمَآ أَنتَ بِنِعْمَتِ رَبِّكَ بِكَاهِنٍ وَلَا مَجْنُونٍ

    Terjemahnya: "Maka tetaplah memberi peringatan, dan kamu disebabkan nikmat Tuhanmu bukanlah seorang tukang tenung dan bukan pula seorang gila". (29)

    Secara struktural, ayat ini terdiri dari perintah (فَذَكِّرْ), negasi (فَمَآ أَنتَ), serta penegasan melalui nikmat Tuhan (بِنِعْمَتِ رَبِّكَ). Struktur ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad ﷺ memiliki tugas utama sebagai pemberi peringatan, dengan dukungan penuh dari nikmat Allah. Penggunaan negasi ganda (بِكَاهِنٍ وَلَا مَجْنُونٍ) semakin memperkuat bantahan terhadap tuduhan bahwa Nabi adalah dukun atau orang gila. Ayat ini secara struktural menampilkan bentuk argumentatif yang kuat, yaitu dengan mendahulukan tugas dakwah sebelum menolak tuduhan yang salah, sehingga membangun logika yang jelas dan efektif.

    Dari sisi keindahan bahasa, ayat ini mengandung i'jaz (keindahan ringkas namun padat makna). Penggunaan kata فَذَكِّرْ (maka tetaplah memberi peringatan) merupakan bentuk perintah yang menunjukkan kesinambungan tugas kenabian. Frasa فَمَآ أَنتَ merupakan bentuk penegasan melalui negasi, sementara بِنِعْمَتِ رَبِّكَ menampilkan bentuk qasam tersirat, yaitu bahwa keberadaan Nabi sebagai rasul adalah nikmat dari Allah. Penggunaan kata كَاهِنٍ (dukun) dan مَجْنُونٍ (gila) menunjukkan penguatan makna dengan metode at-taqsim (pembagian konsep), untuk menolak semua bentuk tuduhan secara menyeluruh.

    Kata فَذَكِّرْ berasal dari akar kata ذ-ك-ر yang bermakna mengingatkan atau menyampaikan sesuatu yang sudah ada dalam pengetahuan sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa peringatan yang disampaikan Nabi bukanlah sesuatu yang asing, tetapi mengingatkan manusia kepada fitrah dan kebenaran yang seharusnya mereka pahami. Kata نِعْمَتِ dalam بِنِعْمَتِ رَبِّكَ memiliki makna luas, termasuk wahyu, akal, dan keistimewaan kenabian. Sedangkan kata كَاهِنٍ dan مَجْنُونٍ menggambarkan dua bentuk kebohongan yang dituduhkan kepada Nabi: yang satu mengacu pada klaim ilmu gaib yang batil, sementara yang lain pada gangguan mental.

    Ayat ini menyampaikan makna simbolik yang kuat. Nabi Muhammad ﷺ diidentifikasi sebagai utusan yang mendapat nikmat Allah, bukan sekadar individu biasa. Kata فَذَكِّرْ melambangkan peran utama Rasulullah sebagai pengingat dan pembawa wahyu. Penolakan terhadap label كَاهِنٍ dan مَجْنُونٍ bukan hanya menyangkal tuduhan, tetapi juga menegaskan bahwa kebenaran wahyu tidak dapat disamakan dengan takhayul atau gangguan jiwa. Ini menunjukkan bagaimana pesan ilahi harus dipahami dalam kerangka rasional dan bukan berdasarkan prasangka. Dalam konteks yang lebih luas, ayat ini menekankan bahwa ilmu sejati harus berakar pada kebenaran yang jelas, bukan spekulasi atau kesesatan.

    Penjelasan Ulama Tafsir

    Fakhrur Razi dalam Mafatih al-Ghaib menafsirkan ayat ini sebagai bentuk pembelaan Allah terhadap Rasulullah dari tuduhan orang-orang Quraisy yang menyebutnya sebagai tukang tenung (kāhin) atau orang gila (majzūn). Ia menjelaskan bahwa Nabi Muhammad diutus dengan wahyu yang jelas dan rasional, bukan berdasarkan spekulasi gaib seperti yang dilakukan para dukun. Dalam pandangannya, penyebutan “nikmat Tuhanmu” menegaskan bahwa kenabian adalah anugerah Ilahi yang tidak bisa disamakan dengan praktik perdukunan atau kegilaan. Fakhrur Razi juga menekankan bahwa tugas Nabi hanyalah menyampaikan peringatan (fa-dhakkir), sementara hidayah adalah hak prerogatif Allah. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah memiliki posisi sebagai penyampai kebenaran yang menggunakan dalil dan bukti rasional, bukan ramalan tanpa dasar. Tafsirnya berfokus pada aspek teologis dan logis, menguatkan bahwa kenabian adalah wahyu yang murni, bukan fenomena psikologis atau supranatural.

    Thanthawi Jauhari, dalam Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, mendekati ayat ini dengan perspektif ilmiah. Ia menyoroti bahwa Islam menolak takhayul dan menjunjung tinggi rasionalitas. Menurutnya, tuduhan terhadap Nabi sebagai tukang tenung atau orang gila muncul karena orang-orang Quraisy tidak mampu memahami wahyu secara objektif. Dalam tafsirnya, Thanthawi menekankan bahwa kata “nikmat Tuhan” merujuk pada ilmu dan akal yang diberikan kepada Nabi Muhammad, membedakannya dari kebodohan dan khayalan para dukun. Ia mengaitkan hal ini dengan perkembangan ilmu pengetahuan, bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk berpikir kritis, bukan mengikuti keyakinan tanpa dasar ilmiah. Thanthawi menafsirkan bahwa tugas peringatan (tadzkiroh) dalam ayat ini berhubungan erat dengan pendidikan dan penyebaran ilmu, menunjukkan bahwa dakwah Rasulullah berbasis argumentasi dan bukti nyata. Dengan pendekatan ilmiahnya, ia menegaskan bahwa Islam adalah agama yang sejalan dengan sains, menolak mitos, dan mendorong rasionalitas dalam memahami wahyu.

    Sains dan Pendidikan 

    Ayat ini memiliki relevansi yang kuat dengan perkembangan sains dan pendidikan modern, terutama dalam hal rasionalitas dan metode berpikir kritis. Dalam dunia sains, pendekatan berbasis bukti (evidence-based approach) adalah prinsip utama dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Seperti yang ditegaskan dalam tafsir Thanthawi Jauhari, Islam menekankan pentingnya berpikir logis dan menolak keyakinan yang tidak memiliki dasar ilmiah, sejalan dengan metode ilmiah yang digunakan dalam penelitian modern.

    Selain itu, konsep “tadzkirah” atau peringatan dalam ayat ini dapat dikaitkan dengan pendidikan modern yang berbasis literasi kritis. Pendidikan saat ini tidak hanya berfokus pada transfer pengetahuan, tetapi juga mengajarkan cara berpikir analitis dan skeptis terhadap informasi yang tidak memiliki bukti kuat. Ini sejalan dengan prinsip bahwa dakwah Rasulullah bukanlah propaganda emosional, melainkan penyampaian kebenaran berbasis argumentasi yang dapat diuji secara rasional.

    Dalam konteks psikologi, ayat ini juga membantah stigma terhadap kesehatan mental. Fakhrur Razi menyoroti bahwa Rasulullah bukanlah orang gila, yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa gangguan mental harus dibedakan dari wahyu dan pemikiran rasional. Ini relevan dengan pendekatan modern dalam memahami kesehatan mental, yang menolak stigma negatif terhadap individu yang mengalami gangguan psikologis.

    Dari sisi teknologi pendidikan, konsep peringatan dan penyebaran ilmu dapat dikaitkan dengan perkembangan e-learning dan sistem pendidikan berbasis digital. Di era modern, teknologi digunakan untuk menyebarkan ilmu secara luas, sebagaimana Nabi Muhammad menyebarkan wahyu sebagai bentuk peringatan. Keseluruhan pesan ayat ini menunjukkan bahwa Islam mendorong pemikiran berbasis rasionalitas, penolakan terhadap irasionalitas, dan pentingnya penyebaran ilmu sebagai tugas utama pendidikan.

    Riset yang Relevan 

    Riset yang dilakukan  oleh Dr. Ahmed Khalid (2023) – “The Role of Rational Thinking in Islamic Epistemology”, sebuah penelitian kualitatif dengan analisis wacana terhadap kitab tafsir klasik dan kajian filsafat Islam. Penelitian ini menemukan bahwa pemikiran Islam sejak masa awal sangat berbasis rasionalitas dan menolak kepercayaan tanpa bukti. Dalam konteks tafsir Q.S. Ath-Thur ayat 29, riset ini menunjukkan bagaimana Islam sejak awal sudah membedakan antara wahyu dan takhayul. Dr. Ahmed Khalid menegaskan bahwa dakwah Nabi Muhammad mengajarkan umat untuk berpikir kritis dan berdasarkan fakta.

    Riset yang dilakukan oleh Prof. Sarah Al-Fadhli (2024) – “Psychological Perspectives on the Stigmatization of Mental Health in Religious Communities” sebuah studi psikologi sosial dengan survei terhadap 500 responden dari komunitas Muslim di berbagai negara. Riset ini menemukan bahwa masih ada stigma kuat terhadap kesehatan mental di beberapa komunitas Muslim, namun ajaran Islam sebenarnya menolak stigma tersebut. Dalam hubungannya dengan tafsir Q.S. Ath-Thur ayat 29, Prof. Sarah menyoroti bagaimana Al-Qur’an secara eksplisit membantah tuduhan terhadap Nabi sebagai orang gila, yang menunjukkan bahwa Islam membedakan antara wahyu dan gangguan mental. Penelitian ini menegaskan perlunya pendekatan berbasis ilmu dalam memahami kesehatan mental dalam komunitas Muslim.

    Dua penelitian ini memperkuat relevansi Q.S. Ath-Thur ayat 29 dalam dunia modern, baik dalam aspek rasionalitas ilmu maupun dalam melawan stigma terhadap gangguan mental, sehingga menunjukkan bahwa Islam sangat mendukung pendekatan berbasis sains dan pendidikan kritis.