BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. ATH-THUR: 15

    Kamis, 06 Maret 2025

     Pertautan Konseptual

    اَفَسِحْرٌ هٰذَآ اَمْ اَنْتُمْ لَا تُبْصِرُوْنَ ۝١٥

    Terjemahnya: "Apakah ini sihir? Ataukah kamu tidak melihat? (15).

    Ayat ke-14 dalam surah Ath-Thur menggambarkan kondisi para pendosa yang disiksa di neraka dan terjatuh dalam azab yang telah dijanjikan Allah. Lalu, ayat ke-15 menegaskan pertanyaan retoris: "Apakah ini sihir? Ataukah kamu tidak melihat?" Pertautan antara kedua ayat ini mencerminkan perlawanan antara realitas dan persepsi manusia yang keliru akibat pengingkaran mereka terhadap kebenaran.

    Dalam konteks pendidikan dan sains modern, kedua ayat ini menggambarkan pentingnya pendekatan kritis dan objektif terhadap kebenaran. Banyak individu yang menolak fakta ilmiah atau kebenaran yang jelas dengan alasan irasional, seperti teori konspirasi atau mitos yang menyesatkan. Dalam pendidikan, peran guru dan ilmuwan adalah membimbing manusia agar dapat membedakan antara ilusi dan kenyataan melalui metode ilmiah dan akal yang sehat.

    Secara epistemologis, ayat ini mengajarkan bahwa manusia harus memiliki keterbukaan terhadap bukti yang ada. Ilmu pengetahuan berkembang berdasarkan pengamatan dan pembuktian, bukan prasangka atau penolakan tanpa dasar. Oleh karena itu, pendidikan harus menanamkan sikap kritis dan kemampuan berpikir logis agar manusia tidak terjebak dalam kebingungan antara sihir (ilusi) dan kenyataan (fakta).

    Analisis Kebahasaan

    Ayat ini berbentuk istifhām (kalimat tanya) yang bersifat retoris. Pertanyaan "Apakah ini sihir?" berfungsi untuk menegaskan bahwa azab neraka adalah nyata, bukan sekadar ilusi. Struktur أَمْ أَنْتُمْ لَا تُبْصِرُونَ menggunakan oposisi biner: jika bukan sihir, berarti itu adalah kenyataan yang seharusnya mereka lihat. Penggunaan أَفَـ pada awal ayat menunjukkan unsur kejutan dan teguran keras terhadap kebingungan orang-orang kafir. Struktur ini memperkuat makna bahwa kebenaran telah begitu jelas, tetapi mereka tetap memilih untuk mengingkarinya.

    Ayat ini menggunakan isti'arah (metafora) dalam penyebutan sihir untuk menunjukkan penolakan yang tidak masuk akal terhadap realitas. Ada juga uslub ta'ajjub (gaya bahasa keheranan) yang menunjukkan betapa irasionalnya kaum kafir dalam menghadapi kebenaran. Selain itu, pertanyaan retoris yang diajukan memiliki unsur taukīd (penegasan), menegur mereka yang tidak mau menerima bukti yang nyata. Kontras antara sihir (sesuatu yang tidak nyata) dan tidak melihat memperkuat makna bahwa penolakan mereka bukan karena kurangnya bukti, tetapi karena kedegilan hati mereka sendiri.

    Kata السِّحْرُ dalam konteks ini mengacu pada sesuatu yang dianggap menipu pandangan atau bertentangan dengan akal sehat. Makna ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir menganggap azab neraka sebagai sesuatu yang mustahil atau ilusi. Frasa لَا تُبْصِرُونَ bukan hanya berarti "tidak melihat secara fisik" tetapi juga bermakna tidak memahami atau menyadari dengan hati dan akal. Ini menunjukkan bahwa kebutaan mereka bersifat intelektual dan spiritual. Konsep ini selaras dengan tema Al-Qur’an tentang manusia yang memiliki mata tetapi tidak dapat melihat kebenaran (Q.S. Al-A'raf: 179)

    Ayat ini mengandung tanda-tanda yang menunjukkan ketidakseimbangan persepsi manusia dalam menghadapi realitas. Kata سِحْرٌ dalam masyarakat Arab mengacu pada sesuatu yang tidak nyata, sehingga penggunaannya di sini adalah bentuk ironi: mereka yang menolak kebenaran justru melihat kenyataan sebagai kebohongan. Sementara itu, لَا تُبْصِرُونَ bukan hanya soal indera penglihatan, tetapi simbol dari keengganan manusia menerima fakta. Dalam konteks yang lebih luas, ayat ini menyiratkan bagaimana manusia seringkali memilih kebutaan terhadap kebenaran meskipun bukti telah jelas di hadapan mereka.

    Penafsiran Ulama

    Fakhrur Raziy dalam Tafsir al-Kabir menjelaskan bahwa ayat ini merupakan sindiran terhadap orang-orang yang mengingkari kebenaran. Ia menyoroti dua aspek utama dalam ayat ini: pertama, pertanyaan retoris "Apakah ini sihir?" yang menunjukkan keheranan orang kafir terhadap ancaman azab. Mereka tidak mampu memahami kenyataan yang menimpa mereka, sehingga menyamakannya dengan sihir. Kedua, ungkapan "Ataukah kamu tidak melihat?" menegaskan bahwa mereka sesungguhnya bisa menyaksikan kebenaran tetapi memilih untuk mengabaikannya. Ini menunjukkan sifat keras kepala mereka dalam menolak bukti yang nyata. Fakhrur Raziy menekankan bahwa ayat ini memperingatkan manusia agar tidak menutup diri dari kebenaran dan menggunakan akal secara objektif dalam memahami realitas.

    Tanthawi Jauhari dalam Tafsir al-Jawahir mengaitkan ayat ini dengan prinsip berpikir ilmiah. Menurutnya, Allah menegur manusia yang menolak kebenaran dengan alasan yang tidak rasional. Ia menafsirkan bahwa ayat ini mendorong manusia untuk berpikir kritis dan tidak terjebak dalam ilusi. Baginya, ungkapan "Apakah ini sihir?" menggambarkan ketidakmampuan sebagian orang memahami fenomena luar biasa karena keterbatasan ilmu mereka. Sedangkan frasa "Ataukah kamu tidak melihat?" merupakan ajakan untuk membuka mata terhadap bukti nyata yang sudah ada. Tanthawi melihat bahwa Islam mengajarkan penggunaan akal dan ilmu sebagai alat untuk memahami kebenaran, sehingga manusia tidak terjebak dalam dogma yang tidak berdasar.

    Sains dan Pendidikan 

    Ayat ini sangat relevan dalam dunia sains dan pendidikan modern karena menyoroti pentingnya berpikir kritis dan objektif dalam memahami realitas. Dalam sains, skeptisisme ilmiah adalah prinsip utama dalam membedakan antara fakta dan ilusi. Misalnya, dalam dunia kedokteran dan fisika kuantum, banyak fenomena yang dulu dianggap sihir kini terbukti secara ilmiah, menunjukkan bahwa keterbatasan pengetahuan sering kali membuat manusia salah menilai sesuatu.

    Dalam pendidikan, ayat ini mengajarkan bahwa manusia harus membuka diri terhadap kebenaran yang berbasis bukti. Ini sejalan dengan konsep evidence-based learning, yang menekankan pentingnya penelitian dan pembuktian dalam memperoleh ilmu. Ayat ini juga menegaskan perlunya pendekatan critical thinking dalam proses belajar, menghindari dogmatisme yang bisa menghambat inovasi dan kemajuan.

    Di era digital, tantangan dalam pendidikan adalah bagaimana membedakan antara informasi yang valid dan hoaks. Ayat ini mengingatkan bahwa manusia harus terus mengasah daya analitis mereka, tidak mudah percaya tanpa verifikasi. Dalam bidang psikologi pendidikan, ayat ini juga mengisyaratkan pentingnya membangun budaya ilmiah yang berbasis pada observasi dan analisis rasional, bukan asumsi subjektif.

    Riset yang Relevan 

    Penelitian tentang sains dan skeptisisme yang dilakuakan  Dr. Michael Shermer dan Tim bertajuk "The Cognitive Basis of Scientific Skepticism: Why People Resist Evidence-Based Thinking". Penelitian ini menggunakan metode eksperimen psikologi kognitif dengan menganalisis respons 500 partisipan terhadap berbagai klaim ilmiah dan pseudosains. Penelitian ini menemukan bahwa orang cenderung menolak fakta yang bertentangan dengan keyakinan awal mereka. Namun, pelatihan berpikir kritis dapat meningkatkan kemampuan individu dalam menerima kebenaran berbasis bukti. Ini sejalan dengan makna Q.S. Ath-Thur: 15 yang menegaskan bahwa sebagian orang menolak kebenaran bukan karena kurangnya bukti, tetapi karena mereka enggan melihatnya.

    Terdapat penelitian tentang pendidikan berbasis bukti yang Prof. Linda Darling-Hammond dan Tim berjudul "Enhancing Critical Thinking Skills in Education Through Evidence-Based Learning Strategies". Studi ini menggunakan metode eksperimen dalam lingkungan pendidikan dengan melibatkan 1.000 siswa dari berbagai tingkat pendidikan yang diberikan pendekatan pembelajaran berbasis bukti dan analisis kritis.

    Melalui penelitian ditemukan bahwa siswa yang dibiasakan untuk berpikir secara analitis dan mempertanyakan informasi secara sistematis memiliki peningkatan pemahaman konseptual yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang hanya menerima informasi tanpa kritis. Ini membuktikan bahwa pendidikan yang berbasis investigasi dan skeptisisme ilmiah lebih efektif dalam membentuk individu yang rasional, sebagaimana pesan dari Q.S. Ath-Thur: 15.

    Dengan demikian, baik dalam perspektif tafsir maupun penelitian modern, ayat ini mengandung pesan kuat tentang pentingnya keterbukaan intelektual dan penggunaan akal dalam memahami realitas.