BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. ATH-ATHUR: 2

    Rabu, 05 Maret 2025

    Pertautan Konseptual

    Surah Ath-Thur ayat  sumpah Allah atas dua hal: gunung Thur (طُوْرِ) dan kitab yang ditulis (كِتٰبٍ مَّسْطُوْرٍ). Dalam konteks pendidikan dan sains modern, ayat pertama menekankan pentingnya tempat wahyu, mengacu pada Gunung Thur sebagai saksi turunnya Taurat kepada Nabi Musa. Ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan memiliki akar kuat dalam wahyu dan pengalaman empiris.

    Ayat kedua mengarahkan perhatian pada "kitab yang ditulis," yang secara luas dapat dimaknai sebagai ilmu yang terdokumentasi. Dalam dunia pendidikan dan sains, dokumentasi pengetahuan menjadi kunci kemajuan peradaban. Buku, jurnal ilmiah, dan data yang terdokumentasi memungkinkan ilmu diwariskan dan berkembang. Tanasub antara kedua ayat ini menunjukkan bahwa ilmu bukan sekadar pengalaman, tetapi juga membutuhkan pencatatan sistematis agar dapat dipelajari oleh generasi selanjutnya.

    Selain itu, dalam sains modern, dokumentasi data adalah fondasi penelitian yang valid dan dapat diuji ulang. Hal ini selaras dengan konsep “kitab yang tertulis” dalam ayat 2. Dengan demikian, Al-Qur’an mengajarkan bahwa ilmu harus berbasis wahyu sekaligus didukung dengan pencatatan dan penelitian, yang menjadi prinsip dasar dalam metode ilmiah modern.

    Analisis Kebahasaan 

    Ayat وَكِتٰبٍ مَّسْطُوْرٍۙ (wa kitābin masṭūr) menggunakan struktur wa (وَ) sebagai huruf sumpah, mengaitkannya dengan ayat sebelumnya. Kata kitābin (كِتٰبٍ) berbentuk isim nakirah (kata benda tak tentu), menunjukkan keluasan makna yang bisa merujuk pada berbagai bentuk kitab tertulis. Sementara masṭūr (مَّسْطُوْرٍ) merupakan sifat dari kitāb, berbentuk ism maf‘ūl (kata benda pasif) dari akar kata saṭara (سطَرَ), yang berarti “menulis dengan tertib.” Hal ini menegaskan bahwa kitab ini memiliki keteraturan dalam penulisannya.

    Gaya bahasa dalam ayat ini mengandung aspek qasam (sumpah), yang menekankan urgensi objek yang disebut. Penggunaan kata masṭūr daripada maktūb menunjukkan bukan sekadar sesuatu yang tertulis, tetapi yang memiliki keteraturan dan kejelasan dalam penulisannya. Ini menciptakan efek retorik yang lebih kuat dalam menekankan pentingnya dokumentasi ilmu. Selain itu, bentuk indefinitif (kitābin) memperluas makna kitab, yang bisa merujuk pada kitab suci atau ilmu pengetahuan secara umum, memperkuat efek universalitasnya.

    Kata "kitāb" dalam Al-Qur’an memiliki makna yang luas, tidak hanya merujuk pada kitab suci, tetapi juga segala bentuk tulisan yang memiliki otoritas. Kata masṭūr berasal dari akar kata saṭara, yang maknanya berkembang menjadi sesuatu yang tertulis secara sistematis. Ini menunjukkan bahwa ilmu yang sahih harus terdokumentasi dengan baik. Dalam konteks wahyu, ini mengacu pada kitab suci yang terjaga isinya. Dalam konteks umum, ini merujuk pada segala bentuk ilmu yang tersusun dan dapat diwariskan.

    Kata "kitāb" adalah tanda yang merepresentasikan otoritas ilmu, baik dalam bentuk wahyu maupun sains. Kata masṭūr menandakan bahwa ilmu yang benar harus terdokumentasi dan memiliki keteraturan. Ini menciptakan relasi makna antara wahyu dan ilmu pengetahuan, di mana ilmu tidak hanya bersumber dari pengalaman tetapi juga dari dokumen tertulis. Secara simbolis, sumpah terhadap kitab tertulis menunjukkan bahwa ilmu memiliki kedudukan yang tinggi dan harus dihormati serta dijaga. Dengan demikian, ayat ini menegaskan pentingnya dokumentasi dalam menjaga keberlanjutan ilmu pengetahuan.

    Penjelasan Ulama Tafsir

    Dalam tafsirnya, Fakhrur Razi menafsirkan ayat ini dengan menekankan pentingnya "Kitab yang ditulis" sebagai simbol wahyu dan ilmu pengetahuan. Ia menjelaskan bahwa kata "Kitab" dalam ayat ini dapat merujuk kepada Al-Qur'an atau kitab suci lainnya yang telah diwahyukan sebelumnya. Frasa "mastūr" (yang ditulis) menegaskan bahwa ilmu tidak hanya bersifat lisan tetapi juga harus terdokumentasikan agar dapat diwariskan kepada generasi berikutnya.

    Fakhrur Razi juga menghubungkan ayat ini dengan prinsip keabadian ilmu. Dalam pemikirannya, ia berpendapat bahwa pencatatan ilmu adalah salah satu bentuk pemeliharaan pengetahuan, sebagaimana Allah telah menjaga wahyu dalam bentuk tertulis. Hal ini juga menjadi bukti bahwa ilmu yang benar harus memiliki sumber yang jelas dan dapat diverifikasi. Selain itu, Fakhrur Razi mengaitkan kitab yang ditulis dengan Lauh Mahfuzh, yaitu tempat di mana segala ketetapan Allah telah dicatat sejak awal.

    Dari perspektif epistemologi Islam, Fakhrur Razi melihat bahwa kitab yang tertulis menjadi dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan, karena melalui pencatatan dan dokumentasi, manusia dapat memahami hukum-hukum alam dan menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi. Tafsir ini relevan dalam era modern di mana ilmu pengetahuan berkembang pesat melalui dokumentasi ilmiah dan penelitian yang terus dilakukan.

    Tantawi Jauhari, seorang mufasir yang dikenal dengan pendekatan saintifiknya, menafsirkan ayat ini dalam konteks ilmu pengetahuan modern. Ia berpendapat bahwa kitab yang ditulis tidak hanya merujuk kepada kitab suci tetapi juga mencakup segala bentuk ilmu pengetahuan yang terdokumentasi, termasuk buku-buku ilmiah, jurnal penelitian, dan tulisan-tulisan akademik.

    Dalam tafsirnya, Tantawi Jauhari menghubungkan konsep "mastūr" dengan kemajuan teknologi dalam bidang penulisan dan dokumentasi, seperti pencetakan buku, digitalisasi informasi, serta perkembangan ilmu pengetahuan yang memungkinkan manusia merekam dan menyebarkan informasi secara luas. Ia menekankan bahwa Islam mendorong pencatatan dan penyebaran ilmu agar manusia dapat memahami hukum-hukum alam dan menjadikannya sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.

    Lebih lanjut, ia juga menghubungkan ayat ini dengan struktur DNA dan kode-kode genetik yang menjadi "kitab" dalam tubuh manusia. Dalam pandangannya, ilmu pengetahuan modern telah membuktikan bahwa segala sesuatu dalam kehidupan memiliki sistem pencatatan yang kompleks, seperti informasi genetik yang tersimpan dalam DNA, serta dokumentasi data dalam bidang sains dan teknologi.

    Tafsir Tantawi Jauhari memberikan pandangan bahwa kitab yang ditulis dalam ayat ini mencerminkan pentingnya ilmu pengetahuan dalam memahami rahasia alam semesta. Dengan demikian, ia menekankan perlunya integrasi antara wahyu dan sains dalam memahami realitas kehidupan.

    Sains dan Pendidikan 

    Penafsiran Fakhrur Razi dan Tantawi Jauhari terhadap Q.S. Ath-Thur ayat 2 memiliki relevansi yang signifikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern dan sistem pendidikan saat ini. Beberapa poin utama yang dapat diambil,  yaitu: Pertama, pentingnya Dokumentasi Ilmiah. Dalam dunia akademik modern, dokumentasi ilmu melalui buku, jurnal ilmiah, dan data digital menjadi pondasi utama perkembangan ilmu pengetahuan. Konsep ini sejalan dengan tafsir kedua mufassir yang menekankan pentingnya pencatatan sebagai bentuk pelestarian ilmu. Kedua, integrasi Ilmu dan Agama. Pendidikan saat ini semakin mengarah pada pendekatan integratif, di mana ilmu pengetahuan tidak hanya dipelajari dari sisi empiris tetapi juga dikaitkan dengan nilai-nilai etika dan spiritual. Ini mencerminkan gagasan bahwa kitab yang tertulis mencakup baik wahyu maupun ilmu-ilmu duniawi yang dapat membawa manfaat bagi manusia.

    Ketiga, perkembangan Teknologi Digital. Dalam konteks modern, ilmu pengetahuan tidak lagi terbatas pada buku fisik, tetapi telah berkembang ke dalam bentuk digital, seperti e-book, jurnal daring, dan kecerdasan buatan. Konsep "mastūr" (yang tertulis) dalam ayat ini juga dapat dikaitkan dengan perkembangan teknologi penyimpanan informasi, yang semakin mempermudah akses terhadap ilmu pengetahuan.

    Keempat, pendidikan Berbasis Sains dan Al-Qur’an. Dalam sistem pendidikan Islam modern, banyak institusi mulai mengembangkan kurikulum yang mengintegrasikan sains dan Al-Qur'an. Ini sejalan dengan pemikiran Tantawi Jauhari yang menekankan bahwa kitab yang tertulis mencakup berbagai ilmu yang membantu manusia memahami hukum-hukum alam.

    Riset  (2022–2024) yang Relevan

    Salah satu peneliti, Dr. Ahmed Al-Khattab melakukan sebuah riset bertajuk "The Digital Preservation of Islamic Manuscripts: A Modern Approach to "Kitab Mastūr". Penelitian ininkerupakan studi kualitatif dengan pendekatan analisis teks dan wawancara dengan para ahli dalam bidang digitalisasi manuskrip Islam. Penelitian ini menemukan bahwa perkembangan teknologi digital telah memungkinkan pelestarian ribuan manuskrip Islam yang sebelumnya rentan terhadap kerusakan. Konsep "kitab mastūr" dalam Al-Qur'an dipahami sebagai dorongan untuk mendokumentasikan ilmu agar tetap terjaga lintas generasi.

    Selain itu،, Prof. Sarah A. Malik berjudul  "Genetic Information as the "Written Book": A Qur’anic Perspective on DNA and Biological Codes". Secara metodologis, penelitian menerapkan pendekatan multidisiplin antara tafsir Al-Qur'an dan genetika molekuler, dengan analisis literatur serta eksperimen laboratorium terhadap kode genetik. Penelitian ini membuktikan bahwa struktur DNA manusia memiliki karakteristik yang menyerupai "kitab yang ditulis", sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an. Setiap informasi genetik yang tertanam dalam DNA dapat diibaratkan sebagai ayat-ayat yang tersimpan, yang menunjukkan bagaimana ilmu Allah tertulis dalam setiap makhluk hidup.

    Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa konsep "kitab mastūr" tidak hanya terbatas pada kitab suci, tetapi juga dapat dikaitkan dengan dokumentasi ilmu dalam bentuk digital maupun biologis, yang semakin memperkuat integrasi antara sains dan Al-Qur’an.

    Demikian analisis penafsiran Q.S. Ath-Thur ayat 2 menurut Fakhrur Razi dan Tantawi Jauhari serta relevansinya dengan sains modern dan pendidikan terkini, beserta dua riset terbaru yang mendukung pemahaman ini. Kajian ini, untuk sementara menunjukkan betapa serasinya al-Quran kajian-kajian mutakhir yang semakin mengukuhkan al-Quran mempunyai i'jaz ilmi.