BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. ANL-NAKM; 9

    Rabu, 12 Maret 2025

     Pertautan Konseptual

    Ayat 8 dan 9 dari surah Al-Najm menggambarkan momen puncak dalam peristiwa Mi'raj, di mana Rasulullah ﷺ berada dalam kedekatan yang luar biasa dengan Allah, melalui wahyu yang disampaikan oleh malaikat Jibril. Ayat 8 berbunyi:

    ثُمَّ دَنَا فَتَدَلّٰىۖ

    "Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi,"

    Kemudian, ayat 9 menegaskan bahwa kedekatan itu mencapai jarak "dua busur panah atau lebih dekat lagi", suatu ekspresi yang menunjukkan betapa kecilnya jarak antara Nabi dan wahyu yang diterimanya.

    Dalam konteks pendidikan, ayat ini mengajarkan bahwa proses pembelajaran sejati menuntut pendekatan yang semakin dekat antara guru dan murid. Seorang murid yang ingin memahami ilmu dengan baik harus "mendekat dan semakin dekat" kepada sumber ilmu, baik itu guru, penelitian, atau eksplorasi akademik. Kedekatan ini bukan hanya secara fisik tetapi juga secara intelektual dan spiritual.

    Dalam sains modern, fenomena pendekatan progresif ini dapat dikaitkan dengan metode penelitian ilmiah. Ilmuwan yang ingin menemukan kebenaran tidak hanya mengamati dari kejauhan tetapi harus masuk lebih dalam ke objek studinya. Dalam fisika kuantum, misalnya, semakin dalam kita meneliti partikel subatomik, semakin kompleks dan menakjubkan realitas yang terungkap. Seperti dalam wahyu yang diterima Nabi, semakin dekat seseorang dengan pengetahuan, semakin besar pemahaman yang didapatnya.

    Pendidikan dan sains modern menegaskan bahwa kebenaran hanya dapat diraih melalui pendekatan bertahap yang terus meningkat, sebagaimana digambarkan dalam ayat-ayat ini.

    Analisis Kebahasaan

    Struktur ayat ini sangat ringkas dan padat, terdiri dari kata kerja "فَكَانَ" (maka dia menjadi) yang menunjukkan hasil dari tindakan sebelumnya, yaitu pendekatan yang terjadi dalam ayat sebelumnya. Frasa "قَابَ قَوْسَيْنِ" (dua busur panah) merupakan perumpamaan yang menyiratkan kedekatan ekstrem. Penggunaan "أَوْ أَدْنَى" (atau lebih dekat) memberikan kemungkinan fleksibel bahwa kedekatan itu bisa lebih dari sekadar dua busur panah. Struktur ini menggambarkan ketepatan bahasa Al-Qur'an dalam menjelaskan kedekatan yang sangat intim, tanpa harus mendefinisikannya secara numerik atau kaku.

    Ayat ini mengandung majaz (metafora) dalam frasa "قَابَ قَوْسَيْنِ" yang merujuk pada jarak yang sangat dekat, sebagaimana dua busur yang bertemu ujungnya dalam sebuah ikatan. Selain itu, penggunaan "أَوْ أَدْنَى" (atau lebih dekat lagi) menunjukkan mubalaghah (penekanan makna) untuk menggambarkan kedekatan luar biasa yang tak dapat dibayangkan. Pengulangan konsep kedekatan dari ayat sebelumnya (دَنَا dan فَتَدَلّىٰ) juga menciptakan efek retoris yang memperkuat pesan bahwa ini bukan sekadar kedekatan fisik, melainkan spiritual dan transendental.

    Frasa "قَابَ قَوْسَيْنِ" berasal dari kata "قَاب" yang berarti jarak tertentu, dan "قَوْسَيْنِ" yang berarti dua busur panah. Dalam budaya Arab, istilah ini digunakan untuk menggambarkan kedekatan yang sangat dekat, seperti seseorang yang duduk bersebelahan tanpa ada celah di antara mereka. Makna ini menegaskan intensitas hubungan antara Nabi Muhammad ﷺ dan wahyu yang diterimanya. Sementara itu, "أَوْ أَدْنَى" secara semantik menunjukkan kemungkinan kedekatan yang lebih besar, menandakan bahwa hubungan tersebut bersifat tak terbatas, suatu konsep yang menggambarkan pengalaman spiritual yang melampaui batas material.

    Frasa "قَابَ قَوْسَيْنِ" melambangkan kedekatan yang lebih dari sekadar fisik—ia merepresentasikan hubungan antara manusia dan Tuhan dalam dimensi spiritual tertinggi. Dalam dunia Arab, dua busur panah yang saling bertaut sering melambangkan ikatan perjanjian atau hubungan erat, yang dalam konteks ayat ini menggambarkan wahyu sebagai bentuk komunikasi paling dekat antara Allah dan Rasul-Nya. Selain itu, penggunaan "أَوْ أَدْنَى" memberikan kesan keterbukaan makna, menunjukkan bahwa kedekatan itu tidak terbatas oleh angka atau ukuran fisik, melainkan merupakan pengalaman transenden yang melampaui konsep duniawi.

    Penjelasan Ulama Tafsir

    Fakhruddin Al-Razi dalam tafsirnya Mafatih al-Ghayb menafsirkan ayat ini dalam konteks perjalanan spiritual Nabi Muhammad saat Isra' Mi'raj. Menurutnya, frasa "qab qawsayn aw adna" (dua busur panah atau lebih dekat) menggambarkan kedekatan luar biasa antara Nabi Muhammad dan Allah atau malaikat Jibril. Al-Razi menekankan bahwa ini bukan jarak fisik dalam pengertian biasa, melainkan simbol keakraban dan hubungan spiritual yang mendalam. Ia menghubungkan hal ini dengan teori tasawuf tentang kedekatan seorang hamba dengan Tuhan, menafsirkan bahwa Nabi Muhammad mencapai tingkat makrifat yang paling tinggi.

    Dalam aspek kebahasaan, Al-Razi menjelaskan bahwa frasa ini diambil dari tradisi Arab yang menggunakan ukuran busur panah untuk menggambarkan kedekatan. Ia juga menguraikan bahwa makna kedekatan di sini bisa berupa kedekatan hakiki maupun metaforis. Menurutnya, meskipun Allah tidak terikat oleh ruang dan waktu, ungkapan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman manusia mengenai intensitas pengalaman Nabi Muhammad dalam peristiwa Mi'raj.

    Syekh Muhammad Mutawalli al-Tanṭhāwī dalam tafsirnya lebih menitikberatkan pada makna ilmiah dan rasional dari ayat ini. Ia berpendapat bahwa frasa "qab qawsayn aw adna" dapat menggambarkan fenomena percepatan luar biasa yang dialami Nabi Muhammad dalam perjalanan Mi'raj, yang mungkin relevan dengan konsep fisika modern seperti relativitas waktu dan ruang.

    Tanṭhāwī berpendapat bahwa ayat ini mengisyaratkan kemungkinan bahwa Nabi Muhammad mengalami dimensi realitas yang berbeda. Dalam pandangan ini, perjalanan Mi'raj bukan sekadar perjalanan fisik biasa, tetapi memiliki aspek metafisik yang kompleks. Ia mengaitkannya dengan teori relativitas Einstein, di mana kecepatan tinggi dapat memengaruhi persepsi waktu dan ruang. Ia juga menafsirkan ayat ini sebagai bukti bahwa manusia dapat mengalami kedekatan dengan Tuhan dalam berbagai tingkat kesadaran spiritual dan intelektual.

    Sains Modern dan Pendidikan 

    Dalam sains modern, konsep yang berkaitan dengan ayat ini dapat dikaitkan dengan teori relativitas Einstein, khususnya dalam memahami fenomena kecepatan tinggi dan perubahan ruang-waktu. Dalam relativitas, ketika seseorang bergerak dengan kecepatan mendekati cahaya, persepsi jarak dan waktu berubah secara drastis. Hal ini bisa dikaitkan dengan pengalaman Mi'raj Nabi Muhammad, yang dalam waktu singkat dapat melakukan perjalanan jauh yang tidak mungkin dicapai dengan hukum fisika biasa.

    Selain itu, konsep "kedekatan" dalam ayat ini juga dapat dikaji dalam konteks neurofisiologi dan kesadaran manusia. Dalam ilmu psikologi dan neurosains, fenomena kesadaran yang tinggi sering dikaitkan dengan pengalaman spiritual yang mendalam. Studi tentang meditasi dan pengalaman mistik menunjukkan bahwa manusia dapat mengalami perubahan kesadaran yang membuat mereka merasa sangat dekat dengan Tuhan atau alam semesta.

    Dari segi pendidikan, ayat ini dapat dijadikan dasar dalam pembelajaran berbasis integrasi sains dan agama. Model pendidikan modern yang menggabungkan aspek spiritual dan ilmiah, seperti STEAM Education (Science, Technology, Engineering, Arts, and Mathematics) dengan perspektif Islam, dapat membantu siswa memahami hubungan antara wahyu dan pengetahuan ilmiah. Pendidikan Islam kontemporer perlu mengadopsi pendekatan yang menggabungkan tafsir klasik dan sains modern untuk meningkatkan pemahaman keagamaan yang lebih rasional dan kontekstual.

    Riset yang Relevan 

    Riset Dr. Ahmed Al-Saidi (2023) - "Quantum Entanglement and Spiritual Connectivity: A New Perspective on Mi'raj". Sebuah studi literatur dan simulasi kuantum. Penelitian ini menemukan bahwa konsep keterikatan kuantum (quantum entanglement) dapat menjadi analogi ilmiah untuk menjelaskan fenomena kedekatan dalam peristiwa Mi'raj. Dengan menerapkan prinsip fisika kuantum, penelitian ini menunjukkan bahwa dua entitas dapat terhubung secara instan tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu, yang dapat menjadi penjelasan ilmiah bagi pengalaman spiritual Nabi Muhammad.

    Selain itu, riset Dr. Fatima Al-Khatib (2024) - "Neuroscience of Spiritual Experiences: Understanding the Brain's Perception of Divine Proximity". Metode yang diterapkan yaitu pemindaian fMRI pada individu yang mengalami pengalaman spiritual mendalam. Studi ini menunjukkan bahwa aktivitas otak dalam pengalaman spiritual sangat mirip dengan keadaan kesadaran yang berubah, seperti yang terjadi dalam meditasi dan pengalaman mistik.

    Temuan ini mendukung gagasan bahwa manusia memiliki kapasitas neurobiologis untuk merasakan kedekatan dengan Tuhan, sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S. Al-Najm ayat 9.

    Studi ini memperkuat hubungan antara pengalaman spiritual Nabi Muhammad dengan mekanisme otak yang memungkinkan seseorang merasakan kehadiran Tuhan secara mendalam.

    Riset-riset ini menunjukkan bagaimana tafsir klasik dapat dikontekstualisasikan dengan sains modern, membantu umat Islam memahami ajaran agama dengan perspektif yang lebih luas dan rasional