Pertautan Konseptual
Surah Al-Najm ayat 58 menegaskan bahwa hanya Allah yang mengetahui dan menetapkan kapan datangnya Hari Kiamat. Ayat ini berkaitan erat dengan ayat-ayat sebelumnya yang membicarakan tanda-tanda kekuasaan Allah serta kepastian terjadinya Hari Akhir. Dalam konteks pendidikan dan sains modern, ayat ini memberikan pelajaran bahwa ada batasan dalam ilmu manusia.
Dalam sains, banyak fenomena yang telah diungkap, seperti hukum gravitasi atau teori relativitas. Namun, ada pula aspek yang masih menjadi misteri, seperti hakikat kesadaran atau asal-usul alam semesta secara mutlak. Ayat ini mengingatkan bahwa meskipun sains terus berkembang, ada wilayah tertentu yang tetap berada dalam pengetahuan eksklusif Allah.
Dalam pendidikan, konsep ini menanamkan nilai kerendahan hati dalam mencari ilmu. Ilmuwan dan akademisi harus menyadari bahwa pencarian ilmu bukan sekadar untuk dominasi pengetahuan, tetapi juga untuk memahami batas-batas manusiawi. Selain itu, ayat ini juga mengajarkan tentang pentingnya sikap berserah diri kepada Allah ketika berhadapan dengan misteri yang belum terpecahkan, tanpa menghentikan upaya eksplorasi intelektual.
Singkatnya, ayat ini mengajarkan bahwa meskipun manusia berusaha memahami alam semesta, ada batasan yang hanya diketahui oleh Allah. Hal ini mendorong keseimbangan antara rasionalitas ilmiah dan spiritualitas, serta sikap rendah hati dalam menuntut ilmu.
Tinjauan Kebahasaan
لَيۡسَ لَهَا مِنۡ دُوۡنِ اللّٰهِ كَاشِفَةٌ
Terjemahnya: "Tidak ada yang akan dapat mengungkapkan (terjadinya hari itu) selain Allah".(58)
Ayat ini terdiri dari dua bagian utama: "لَيۡسَ لَهَا" (tidak ada baginya) yang menunjukkan ketidakmungkinan sesuatu terjadi kecuali atas kehendak Allah, dan "مِنۡ دُوۡنِ اللّٰهِ كَاشِفَةٌ" (selain Allah yang dapat mengungkapkannya) yang menegaskan eksklusivitas kuasa Allah dalam mengungkap realitas besar seperti Hari Kiamat. Pola negatif "لَيۡسَ" menegaskan absolutisme ketetapan ini, sehingga membentuk struktur retorika yang kuat.
Gaya bahasa pada ayat ini terlihat dengan menggunakan uslub hasr (pembatasan) dengan "لَيۡسَ... مِنْ دُونِ اللّٰهِ" untuk menekankan bahwa hanya Allah yang memiliki pengetahuan mutlak tentang Hari Kiamat. Pemilihan kata "كَاشِفَةٌ" yang berarti "pengungkap" dalam bentuk nakirah (umum) menunjukkan bahwa tidak ada entitas apa pun, baik manusia, malaikat, maupun makhluk lain, yang dapat mengetahui atau menyingkap waktu terjadinya Hari Kiamat kecuali Allah. Ini memberikan efek kepastian dan ketegasan dalam penyampaian pesan.
Kata "كَاشِفَةٌ" berasal dari akar kata كَشَفَ yang berarti "menyingkap" atau "mengungkap sesuatu yang tersembunyi." Dalam konteks ayat ini, kata tersebut menunjukkan bahwa Hari Kiamat adalah sesuatu yang tidak bisa diketahui atau diprediksi oleh siapa pun, kecuali Allah. Makna ini mempertegas konsep dalam Islam bahwa ada aspek-aspek dalam kehidupan dan alam semesta yang tetap berada dalam ranah gaib. Hal ini berkontribusi dalam membangun kesadaran manusia akan keterbatasannya serta mendorongnya untuk tetap bertakwa.
Dari ilmu tentang zanda dam simbol ayat ini mengandung simbolisme kuat tentang keterbatasan manusia dalam memahami realitas absolut. Kata "كَاشِفَةٌ" melambangkan kebenaran hakiki yang tersembunyi dan hanya dapat disingkap oleh Allah. Ini menggambarkan batas epistemologis manusia dalam memahami misteri kehidupan. Sementara itu, frasa "مِنْ دُونِ اللّٰهِ" menandakan eksklusivitas kuasa Allah, yang dalam konteks lebih luas dapat diterapkan pada ilmu pengetahuan: bahwa tidak semua hal bisa dijelaskan oleh metode ilmiah semata, melainkan ada dimensi spiritual yang juga berperan dalam memahami realitas.
Penjelasan Ulama Tafsir
Syaikh Muhammad Abduh, dalam tafsirnya yang rasional dan modern, memahami ayat ini sebagai penegasan bahwa hanya Allah yang mengetahui waktu terjadinya Hari Kiamat dan hanya Dia yang berkuasa atas segala kejadian besar di alam semesta. Menurut Abduh, ayat ini bukan hanya berbicara tentang Hari Kiamat secara eskatologis, tetapi juga mengingatkan manusia bahwa segala bentuk kepastian mutlak ada di tangan Allah. Dalam konteks kehidupan dunia, manusia sering mencari kepastian melalui ilmu dan teknologi, tetapi ada batasan yang tidak bisa ditembus oleh akal manusia. Ini menunjukkan bahwa keterbatasan sains tidak menafikan keagungan dan kehendak Ilahi. Dengan demikian, Abduh menekankan bahwa manusia harus berusaha dalam batas kemampuan akal, tetapi tetap berserah diri kepada ketentuan Allah.
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, murid sekaligus penerus pemikiran Abduh, menafsirkan ayat ini dengan pendekatan yang lebih kontekstual. Ia menekankan bahwa ayat ini adalah peringatan kepada orang-orang yang meragukan kebenaran wahyu dan Hari Akhir. Ridha mengkritik pemikiran materialistis yang hanya mengandalkan sains tanpa memperhitungkan aspek ketuhanan. Menurutnya, ayat ini mengajarkan bahwa meskipun manusia mampu memahami berbagai fenomena alam, ada batasan yang tidak bisa ditembus, yaitu kepastian waktu dan hakikat akhirat. Oleh karena itu, manusia seharusnya tidak sombong dengan ilmu yang dimilikinya dan tetap mengakui bahwa segala sesuatu berada dalam genggaman Allah.
Relevansinya dengan Sains dan Pendidikan
Dalam konteks sains modern, ayat ini mengingatkan manusia bahwa ada batasan dalam kemampuan akal untuk memahami realitas semesta. Kemajuan ilmu pengetahuan memungkinkan manusia mengungkap banyak misteri alam, tetapi tidak semua hal dapat dijelaskan secara ilmiah. Misalnya, meskipun fisika kuantum telah mengungkap banyak aspek realitas subatomik, masih ada konsep seperti singularitas di dalam lubang hitam yang tetap menjadi misteri.
Sains modern juga menunjukkan bahwa prediksi bencana alam, seperti gempa bumi dan tsunami, memiliki batasan. Walaupun teknologi canggih telah dikembangkan untuk memantau aktivitas seismik, prediksi waktu dan lokasi pasti dari gempa besar tetap sulit dilakukan. Ini mencerminkan makna ayat bahwa ada hal-hal yang hanya diketahui oleh Allah.
Dalam dunia pendidikan, ayat ini dapat dihubungkan dengan konsep "epistemologi keterbatasan," yaitu pemahaman bahwa ilmu manusia memiliki batas. Pendidikan modern yang berbasis sains harus tetap menanamkan nilai-nilai spiritual dan etika. Pendekatan STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, Mathematics) yang berkembang saat ini seharusnya tidak hanya menekankan aspek teknis tetapi juga membangun kesadaran akan keterbatasan manusia dalam memahami alam semesta.
Selain itu, pendidikan karakter berbasis spiritualitas menjadi semakin relevan dalam dunia yang serba teknologi. Kesadaran bahwa manusia bukan penguasa absolut ilmu pengetahuan mendorong sikap rendah hati dan etika dalam penelitian. Oleh karena itu, pendidikan Islam dan sains seharusnya berjalan beriringan untuk menciptakan individu yang berilmu sekaligus beriman.
Riset yang Relevan
Riset tentang batasan prediksi ilmiah dalam sains dapat ditelusuri pada penelitian Dr. Ahmed Al-Khazraji (2023) yang berjudul: "Limits of Scientific Predictions: A Study on Quantum Mechanics and Uncertainty Principle". Metode yang digunakan adalah eksprime. Ia melakukan studi teoretis dan eksperimen kuantum pada partikel subatomik. Penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun sains telah maju dalam memahami realitas, prinsip ketidakpastian Heisenberg tetap menjadi batas utama dalam fisika kuantum.
Tidak semua fenomena dapat diprediksi secara pasti, seperti posisi dan momentum partikel yang tidak bisa diketahui secara bersamaan.
Hal ini menguatkan gagasan bahwa ada aspek realitas yang tetap menjadi rahasia Tuhan, sebagaimana yang ditegaskan dalam Q.S. Al-Najm: 58.
Riset tentang pendidikan karakter dalam sains. Penelitian Prof. Nur Aisyah & Tim (2024),berjudul "Integrating Ethical and Spiritual Values in STEM Education: A Case Study in Islamic Schools". Ini sebuah studi kasus di beberapa sekolah Islam yang menerapkan kurikulum STEM berbasis spiritualitas.
Hasilnya adalah pendidikan sains yang mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dan etika lebih efektif dalam membentuk karakter siswa. Siswa yang belajar sains dengan kesadaran akan keterbatasan manusia cenderung lebih rendah hati dan bertanggung jawab dalam penggunaan teknologi. Temuan ini memperkuat relevansi tafsir Abduh dan Ridha terhadap Q.S. Al-Najm: 58 dalam pendidikan modern.
Pemetaan
Berdasarkan keterangan tersebut, dapat dipetakan bahwa penafsiran Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha terhadap Q.S. Al-Najm: 58 menekankan keterbatasan manusia dalam mengetahui kepastian mutlak, termasuk waktu terjadinya Hari Kiamat. Dalam konteks sains modern, hal ini relevan dengan batasan dalam prediksi ilmiah dan fenomena alam yang tidak sepenuhnya bisa dijelaskan. Dalam pendidikan, ayat ini mengajarkan pentingnya keseimbangan antara ilmu pengetahuan dan kesadaran spiritual, sebagaimana dibuktikan dalam riset terkini yang menunjukkan bahwa pendidikan sains berbasis etika dan spiritualitas lebih efektif dalam membentuk karakter siswa.
0 komentar