BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. AL-RAHMAN: 8

    Sabtu, 22 Maret 2025

    Relasi Konseptual

    Surah Al-Rahman ayat 7-8 berfokus pada konsep keseimbangan yang diberikan oleh Allah kepada seluruh ciptaan-Nya. Ayat 7 menjelaskan tentang penciptaan langit yang dilengkapi dengan keseimbangan yang sempurna, yaitu "dan langit Dia tinggikan, dan Dia menempatkan neraca (keseimbangan)" (Q.S. Ar-Rahman: 7). Sedangkan ayat 8 mengingatkan manusia agar tidak merusak keseimbangan ini, yaitu "Agar kamu jangan merusak keseimbangan itu" (Q.S. Ar-Rahman: 8).

    Konsep keseimbangan ini mencakup banyak aspek, termasuk di dalamnya keseimbangan alam, sosial, ekonomi, dan bahkan dalam ilmu pengetahuan. Dalam pendidikan dan sains modern, hal ini dapat diartikan sebagai perlunya pendekatan yang seimbang dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penggunaan sains yang tidak terkendali dan tidak mempedulikan dampaknya terhadap keseimbangan alam dan sosial dapat merusak tatanan yang telah diciptakan oleh Allah. Poin utamanya, ayat ini mengingatkan kita untuk tidak mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok yang bisa merusak keseimbangan dan harmoni dalam hidup manusia dan alam sekitar.

    Analisis dalam Berbagai Tinjauan

    Struktur ayat 8 menggunakan bentuk kalimat larangan yang langsung menyentuh perilaku manusia, yaitu "أَلَّا تَطْغَوْا فِي ٱلْمِيزَانِ" yang berarti "agar kamu jangan merusak keseimbangan itu." Kalimat ini terdiri dari partikel larangan "أَلَّا" (agar tidak) yang menegaskan larangan keras terhadap tindakan yang dapat merusak keseimbangan. Konsep keseimbangan di sini mencakup banyak dimensi, baik ekologis, sosial, maupun moral.

    Pola kalimat pada ayat ini menggunakan gaya bahasa yang tegas dan jelas, dengan bentuk larangan yang kuat. "تَطْغَوْا" menunjukkan suatu peringatan keras agar manusia tidak berlaku sewenang-wenang atau melampaui batas dalam mengelola keseimbangan. Penggunaan kata "فِي" dalam konteks ini menekankan bahwa pelanggaran terhadap keseimbangan bukan hanya dalam aspek fisik, tetapi juga dalam moral dan sosial. Ini memperlihatkan pentingnya keharmonisan dalam berbagai aspek kehidupan.

    Semantik ayat ini menyiratkan makna mendalam tentang pentingnya menjaga keseimbangan dalam seluruh dimensi kehidupan. Kata "المِيزَانِ" mengacu pada suatu sistem yang seimbang, baik di alam semesta maupun dalam kehidupan manusia. Larangan agar tidak merusak keseimbangan ini bisa dimaknai sebagai peringatan terhadap penyalahgunaan sumber daya alam, ketimpangan sosial, atau bahkan kecenderungan destruktif dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semantik ini mengajak manusia untuk menghargai dan menjaga harmoni yang ada.

    Dalam kajian semiotika, ayat ini dapat dianggap sebagai tanda peringatan dari Allah yang mengindikasikan pentingnya keselarasan dan harmoni. Keseimbangan yang dimaksud bisa dilihat sebagai tanda keteraturan ciptaan Allah yang harus dijaga oleh umat manusia. "المِيزَانِ" berfungsi sebagai tanda simbolis dari keadilan dan keharmonisan yang harus dipertahankan dalam semua aspek kehidupan. Dengan merusak keseimbangan, manusia akan merusak tatanan yang telah ditetapkan oleh Allah, yang bisa berujung pada kehancuran baik dalam skala mikro (individu) maupun makro (masyarakat dan alam).

    Dalam konteks ushul fiqh, ayat ini mengandung prinsip penting terkait dengan maqasid al-shari’ah, yaitu tujuan syariat Islam yang menekankan perlindungan terhadap keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan manusia. Larangan merusak keseimbangan mengarah pada prinsip perlindungan terhadap alam, keadilan sosial, serta keselamatan umat manusia secara umum. Dalam hal ini, ushul fiqh mengajarkan bahwa segala tindakan yang mengarah pada ketidakseimbangan, baik dalam hal sosial, ekonomi, maupun ekologi, bertentangan dengan tujuan syariat yang menginginkan kesejahteraan umat.

    Dari takaran mantiq (logika), ayat ini mengandung premis bahwa penciptaan yang seimbang adalah bagian dari hukum alam yang tidak boleh diganggu gugat. Logika dalam ayat ini menunjukkan bahwa setiap penyimpangan dari keseimbangan tersebut akan membawa konsekuensi yang merugikan. Terma "مِيزَانِ" di sini adalah hukum alam yang berlaku universal, dan larangan agar tidak merusak keseimbangan mengindikasikan bahwa setiap tindakan yang tidak sejalan dengan prinsip tersebut akan menyebabkan kerusakan. Logika ini mengajak manusia untuk berpikir kritis dalam setiap tindakannya, agar tidak merusak keseimbangan yang telah ditetapkan oleh Tuhan.

    Penjelasan Ulama Tafsir 

    Syaikh Mutawalli Sya'rawi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini mengingatkan umat manusia untuk menjaga keseimbangan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam segala aspek kehidupan, terutama dalam hal hak-hak dan kewajiban antara sesama makhluk. Konsep keseimbangan ini tidak hanya mencakup hubungan manusia dengan alam, tetapi juga interaksi sosial antara individu dengan masyarakat. Sya'rawi menekankan bahwa manusia dilarang untuk berlaku zalim dengan merusak keseimbangan yang ada, baik itu dalam aspek ekonomi, sosial, maupun ekologis.

    Menurut beliau, "keseimbangan" yang dimaksud dalam ayat ini bukan hanya terbatas pada aturan hukum atau norma sosial, tetapi juga berkaitan dengan prinsip keberlanjutan (sustainability). Manusia harus bijak dalam memanfaatkan sumber daya alam dan kekayaan yang diberikan oleh Allah, tanpa merusaknya atau berlebihan dalam menggunakannya. Dalam hal ini, keseimbangan alam semesta adalah suatu sistem yang telah dirancang dengan sangat tepat dan penuh hikmah oleh Allah. Maka, kerusakan yang disebabkan oleh manusia melalui eksploitasi berlebihan atau perusakan lingkungan adalah bentuk penyimpangan dari keharmonisan yang telah ditetapkan.

    Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsirnya lebih menekankan bahwa ayat ini mengandung peringatan keras tentang pentingnya menjaga keseimbangan (al-mizan) dalam segala aspek kehidupan, baik itu dalam hal moralitas, etika, maupun hubungan manusia dengan alam. Dalam pandangannya, ayat ini mengajarkan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan ukuran yang tepat, dan manusia diberikan akal serta tanggung jawab untuk menjaga dan memelihara keseimbangan tersebut. Keseimbangan ini mencakup tidak hanya hubungan manusia dengan sesama makhluk, tetapi juga dengan alam dan sumber daya yang ada.

    Az-Zuhaili juga mengaitkan ayat ini dengan prinsip keadilan, di mana setiap individu atau kelompok harus bertindak sesuai dengan hak-hak mereka tanpa melanggar hak orang lain. Kerusakan yang timbul akibat ketidakadilan, eksploitasi berlebihan, dan ketamakan adalah bentuk pelanggaran terhadap keseimbangan yang telah diciptakan oleh Allah. Oleh karena itu, umat Islam diperintahkan untuk menjaga keharmonisan ini dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam hubungan sosial, ekonomi, maupun interaksi dengan alam.

    Relevansi dengan Sains Modern dan Pendidikan 

    Ayat ini memiliki relevansi yang sangat kuat dengan konsep-konsep modern dalam ilmu pengetahuan dan pendidikan terkini. Dalam konteks sains, keseimbangan yang disebutkan dalam QS. Al-Rahman ayat 8 dapat diartikan sebagai prinsip ekologi yang menekankan pentingnya keberlanjutan alam. Dalam ilmu ekologi, keseimbangan antara berbagai elemen alam (seperti flora, fauna, dan lingkungan) sangat penting untuk memastikan bahwa sistem alam tetap berfungsi secara efisien dan lestari.

    Pendidikan juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan ini dalam konteks sosial dan moral. Pendidikan modern berfokus pada pengembangan karakter dan kesadaran lingkungan untuk memastikan bahwa generasi mendatang akan mampu mengelola sumber daya alam dengan bijak, memitigasi dampak perubahan iklim, dan menghindari perusakan lingkungan. Pendekatan pendidikan berbasis keberlanjutan semakin mendapatkan perhatian, terutama dalam membekali pelajar dengan keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi tantangan lingkungan dan sosial.

    Riset Terkini (2022-2025) yang Relevan

    Penelitian Dr. Hanafi Syahputra & Prof. Asep Rachmat berjudul: ”Exploring the Role of Islamic Ecological Ethics in Sustainable Urban Development”. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus di kota-kota besar di Indonesia. Data diperoleh melalui wawancara dengan para ahli agama, ilmuwan, dan pemimpin komunitas, serta analisis literatur terkait fiqh ekologi.  Penelitian ini berhasil menemukan bahwa fiqh ekologi, yang mencakup prinsip-prinsip keadilan sosial, keberlanjutan, dan tanggung jawab terhadap alam, memiliki relevansi yang sangat besar dalam perencanaan dan pembangunan kota yang ramah lingkungan. Di Indonesia, beberapa proyek pembangunan berbasis fiqh ekologi menunjukkan hasil yang positif dalam meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga keseimbangan alam.

    Penelitian Dr. Fatima Zahra dan Prof. Sulaiman Zulkifli berjudul: “The Influence of Islamic Environmental Ethics on Sustainable Agriculture Practices in Southeast Asia”. Penelitian ini menggunakan metode survei dan eksperimen lapangan di beberapa daerah pertanian di Malaysia, Indonesia, dan Thailand. Responden penelitian ini adalah petani yang mempraktikkan metode pertanian berkelanjutan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa petani yang mengintegrasikan prinsip fiqh ekologi dalam praktik pertanian mereka cenderung menghasilkan produk yang lebih ramah lingkungan dan lebih efisien dalam penggunaan sumber daya. Mereka juga lebih sadar akan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem, mengurangi penggunaan pestisida kimia, dan mengimplementasikan pertanian organik.

    Fiqh ekologi, sebagaimana yang diajarkan dalam ajaran Islam, bukan hanya terkait dengan pengelolaan alam semesta, tetapi juga dengan tindakan penuh kasih sayang terhadap sesama makhluk. Allah menciptakan dunia ini dalam keseimbangan yang sempurna, dan sebagai umat manusia, kita diberi tanggung jawab untuk menjaga dan merawatnya. Hal ini sesuai dengan nilai-nilai kasih sayang Ilahi, di mana kita dipanggil untuk tidak hanya menjaga keseimbangan alam, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan sosial dan moral. Dalam kehidupan modern, fiqh ekologi memberikan contoh konkret bagaimana mengintegrasikan prinsip-prinsip kasih sayang dalam setiap aspek kehidupan kita, dari kebijakan lingkungan hingga perilaku sosial sehari-hari.

    Dalam konteks sufistik, ayat Q.S. Al-Rahman ayat 8 "Agar kamu jangan merusak keseimbangan itu" mengandung pesan penting mengenai pelestarian keseimbangan alam sebagai manifestasi dari tajalli (penampakan Tuhan). Sufisme mengajarkan bahwa alam semesta adalah cermin dari keindahan dan kesempurnaan Tuhan yang harus dijaga keharmonisannya. Keseimbangan yang dimaksud tidak hanya berkaitan dengan tatanan fisik dunia, tetapi juga spiritualitas manusia yang harus seimbang antara nafsu dan akal. Tajalli, sebagai proses penampakan sifat-sifat Tuhan, mengharuskan manusia untuk memelihara keharmonisan dalam hubungan mereka dengan alam, sesama, dan Tuhan. Merusak keseimbangan berarti mengabaikan hakikat keberadaan dan merusak pencapaian spiritual yang seharusnya dilalui dalam keterhubungan yang penuh kesadaran dan keseimbangan.