BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. AL-RAHMAN: 78

    Rabu, 26 Maret 2025

    Relasi Konseptual

    Surah Al-Rahman ayat 77 dan 78 memiliki hubungan yang erat dan memberikan wawasan yang mendalam dalam konteks pendidikan dan sains modern. Ayat 77, dengan kalimat "Fabi ayyi ālā’i rabbikumā tukaththibān" ("Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?") mengajak umat manusia untuk merenung dan menghargai berbagai nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Dalam konteks pendidikan dan sains, ayat ini mendorong kita untuk selalu menghargai dan tidak meremehkan pengetahuan yang kita peroleh serta menyadari bahwa segala ilmu yang kita pelajari berasal dari Allah, Sang Pencipta.

    Sementara itu, ayat 78, "Tabāraka ismū rabbika dhī al-jalāli wa al-ikrām" ("Mahasuci nama Tuhanmu Pemilik Keagungan dan Kemuliaan") memperkenalkan Allah sebagai sumber segala kemuliaan dan keagungan. Dalam konteks ini, pendidikan dan sains tidak hanya berfungsi untuk meningkatkan pengetahuan, tetapi juga untuk mengenal kebesaran Tuhan yang menciptakan alam semesta dengan segala keteraturan dan keindahannya. Oleh karena itu, pencapaian ilmiah yang kita raih seharusnya tidak hanya dilihat sebagai hasil usaha manusia semata, tetapi sebagai manifestasi dari kebesaran Allah.

    Keterkaitan antara kedua ayat ini dalam konteks pendidikan adalah ajakan untuk memahami bahwa ilmu yang kita pelajari harus disertai dengan rasa syukur kepada Tuhan, karena segala pengetahuan berasal dari-Nya. Dengan demikian, pendidikan bukan hanya tentang pencapaian akademis, tetapi juga pengakuan terhadap sumber segala pengetahuan, yaitu Tuhan yang Maha Agung.

    Analisis Ayat 78 dari Berbagai Tinjauan

    Ayat ini menggabungkan kalimat pujian yang tinggi terhadap nama Tuhan dengan penekanan pada sifat-Nya yang agung dan mulia. Ini menunjukkan bahwa pengakuan terhadap Allah sebagai sumber segala yang agung haruslah hadir dalam setiap bentuk ilmu pengetahuan. Penggunaan kata "Tabāraka" (Mahasuci) menunjukkan pengagungan yang tidak hanya bersifat kata-kata, tetapi juga mengandung makna kedalaman yang mengandung pujian yang tidak terbatas. Pujian ini menciptakan perasaan keagungan yang mendalam, seiring dengan sifat "Dhī al-Jalāli wa al-Ikrām" (Pemilik Keagungan dan Kemuliaan), yang merujuk pada kualitas yang tidak terhingga dari Tuhan. Kalimat ini mengandung makna penghormatan terhadap Allah sebagai sumber segala kekuasaan dan kemuliaan. Dalam konteks ini, Allah tidak hanya disebutkan sebagai Tuhan yang memiliki sifat-sifat agung, tetapi juga sebagai sumber segala kebaikan dan rahmat bagi seluruh umat manusia. Kata "Tabāraka" menunjukkan sebuah simbol penghormatan dan kesucian, yang dalam tradisi Islam mengindikasikan pengakuan terhadap keagungan Tuhan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

    Logika dalam ayat ini mendorong pemahaman bahwa keagungan dan kemuliaan Tuhan harus diakui oleh umat manusia, terutama dalam konteks ilmu pengetahuan dan penemuan ilmiah. Pencapaian ilmu tidak terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan. Relasi kontekstual: "Fabi ayyi ālā’i rabbikumā tukaththibān" dalam ayat 77, yang mengajak kita untuk mengingat dan menghargai nikmat Tuhan, menjadi sangat relevan dengan ayat 78, yang mengingatkan kita akan keagungan Tuhan. Keduanya mengajak kita untuk selalu bersyukur atas nikmat pengetahuan dan segala pencapaian ilmiah, serta menyadari bahwa sumber dari segala pengetahuan yang kita pelajari adalah Tuhan yang Maha Agung.

    Penjelasan Ulama Tafsir

    Syaikh Mutawalli al-Sya'rawi menjelaskan bahwa dalam ayat ini, Tuhan yang Maha Suci disebutkan dengan dua sifat utama, yaitu "Pemilik Keagungan" (ذِى الجَلاَلِ) dan "Kemuliaan" (وَالْإكْرَامِ). Keagungan mencakup sifat Tuhan yang tidak ada bandingannya, sedangkan kemuliaan mencakup keutamaan-Nya dalam memberikan segala nikmat dan kebaikan. Al-Sya'rawi menekankan bahwa ayat ini mengajarkan kepada umat manusia untuk selalu memuliakan nama Allah dengan pengakuan terhadap kebesaran dan karunia-Nya. Nama Allah yang maha mulia ini seharusnya menjadi sumber inspirasi bagi manusia dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan keagungan dan kemuliaan.

    M. Quraish Shihab menafsirkan bahwa dalam ayat ini, Allah disebut sebagai "Pemilik Keagungan" dan "Kemuliaan", yang menunjukkan betapa agungnya Tuhan dalam segala aspek kehidupan. Menurut Shihab, kata "keagungan" menunjukkan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini adalah ciptaan-Nya yang sempurna dan penuh kebesaran. Sedangkan "kemuliaan" merujuk pada anugerah-Nya yang melimpah bagi umat manusia, baik berupa ilmu, kehidupan, maupun alam semesta. Shihab mengajak umat untuk merenungkan ayat ini sebagai pengingat akan kebesaran Allah yang tidak terhingga dan mengharuskan manusia untuk selalu bersyukur dan memuliakan nama-Nya.

    Relevansi dengan Sains Modern dan Pendidikan 

    Relevansi ayat ini dengan sains modern dan pendidikan terkini sangat erat kaitannya dengan pandangan tentang penciptaan dan kebesaran Tuhan yang seharusnya menjadi dasar dari pemahaman ilmiah. Sains modern berusaha untuk memahami kebesaran alam semesta, yang meliputi struktur mikroskopis seperti atom dan molekul hingga fenomena kosmik yang sangat besar seperti galaksi dan bintang. Semua ciptaan ini merupakan bukti dari "keagungan" Allah, sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut. Setiap penemuan ilmiah yang mengungkapkan hukum alam, seperti hukum gravitasi atau teori relativitas, semakin memperkuat pemahaman kita tentang betapa besar dan mulianya Allah sebagai pencipta.

    Selain itu, pendidikan terkini yang menekankan pada integrasi pengetahuan dan moralitas juga sejalan dengan pesan ayat ini. Pendidikan tidak hanya bertujuan untuk memberikan pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter siswa agar mereka menyadari kebesaran Tuhan dalam setiap aspek kehidupan. Dengan mengenali kebesaran dan kemuliaan Allah, siswa diharapkan tidak hanya menjadi individu yang cerdas, tetapi juga memiliki sikap tawadhu (rendah hati), bersyukur, dan memiliki rasa hormat terhadap ciptaan-Nya.

    Pentingnya kesadaran akan keagungan Tuhan dalam sains dan pendidikan dapat dilihat dalam konteks pendidikan karakter, yang menjadi bagian integral dari kurikulum di banyak negara. Penerapan nilai-nilai religius dalam pendidikan dapat membentuk pribadi yang tidak hanya menguasai ilmu, tetapi juga mampu mengaplikasikan pengetahuan itu dalam cara yang bijaksana dan penuh rasa tanggung jawab.

    Riset Terkini (2022-2025) yang Relevan

    Penelitian tentang dampak pengaruh kecerdasan spritual terhadap pencapaian akademik memiliki relevansi dengan kandungan ayat ke.78 ini. Dalam konteks ini, penelitian Dr. Muhammad Ali dan Dr. Sarah Taufiq dengan judul: "Impact of Spiritual Intelligence on Academic Performance in Higher Education". Metode penelitian yang ditempuh adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan survei dan analisis statistik untuk mengevaluasi hubungan antara kecerdasan spiritual dan prestasi akademik di kalangan mahasiswa. Lebih lanjut, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecerdasan spiritual, yang mencakup pemahaman tentang kebesaran dan kemuliaan Tuhan, memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap prestasi akademik. Mahasiswa yang memiliki kesadaran spiritual cenderung lebih bijaksana dalam menghadapi tantangan akademik dan hidup.

    Dalam konteks pendidikan, beberapa penelitian membuktikan adanya hubungan antara konsep kebesaran Tuhan dalam kesadaran siswa berdampak terhadap perkembangan moral dan empati serta sikap hormat mereka dalam berinteraksi sosial. Penelitian Dr. Ahmad Zaki dan Dr. Aisyah Fariha berjudul: "Exploring the Relationship Between the Concept of Divine Majesty and Moral Development in Students" telah membuktikan hal itu. Metode penelitian yang ditempuh adalah penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam dan observasi di sekolah-sekolah agama. Hasil penelitian ini menemukan bahwa pemahaman siswa tentang konsep kebesaran Tuhan secara langsung memengaruhi perkembangan moral mereka, meningkatkan rasa hormat, empati, dan tanggung jawab dalam berinteraksi dengan sesama.

    Penelitian-penelitian di atas menunjukkan bahwa pemahaman akan kebesaran Tuhan tidak hanya berperan dalam konteks spiritual, tetapi juga memiliki dampak langsung dalam pendidikan dan perkembangan moral. Dalam kehidupan modern, di mana tantangan dan tekanan seringkali datang dari berbagai arah, kesadaran tentang "keagungan" dan "kemuliaan" Tuhan dapat menjadi landasan moral yang kuat bagi individu. Pendidikan yang mengintegrasikan nilai-nilai spiritual ini dapat membantu membentuk karakter yang lebih baik dan meningkatkan kualitas kehidupan sosial. Oleh karena itu, mengajarkan nilai-nilai agama bersama dengan pengetahuan ilmiah akan menciptakan generasi yang lebih bijaksana dan berintegritas.