BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. AL-RAHMAN: 34

    Senin, 24 Maret 2025

    Relasi Konseptual

    Surah Al-Rahman ayat 33-34 mengajukan pertanyaan retoris yang menantang umat manusia untuk merenungkan nikmat-nikmat Tuhan yang tak terhitung jumlahnya. Ayat 33 menyatakan, “Wahai jinn dan manusia, jika kamu dapat melintasi langit dan bumi, maka lintasilah! Kamu tidak dapat melintasinya kecuali dengan kekuatan (Allah).” Kemudian, ayat 34 melanjutkan dengan pertanyaan, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”

    Dalam konteks pendidikan dan sains modern, kedua ayat ini mengingatkan kita bahwa manusia, meskipun memiliki kemajuan teknologi yang luar biasa, tetap terbatas oleh kekuasaan Tuhan. Kemajuan sains, seperti eksplorasi luar angkasa dan penemuan ilmiah lainnya, membuktikan kecerdasan manusia, tetapi tetap membutuhkan izin dan kekuatan dari Tuhan. Sains modern, meskipun sangat maju dalam banyak bidang, menunjukkan bahwa masih banyak hal yang tidak bisa dijangkau oleh ilmu pengetahuan manusia, dan ini menunjukkan bahwa nikmat Allah tetap lebih besar dari apa yang dapat dicapai oleh manusia. Ayat ini mendorong kita untuk terus belajar, namun dalam kerendahan hati, menyadari bahwa ilmu dan pengetahuan adalah anugerah dari Tuhan yang harus dihargai dan digunakan dengan bijak.

    Analisis dari Berbagai Aspek

    فَبِاَىِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ

    Terjemahnya: ”Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (34)

    Ayat ini berupa kalimat pertanyaan yang menggunakan kata “fabi ayyi” yang artinya “maka nikmat Tuhanmu yang manakah.” Struktur kalimat ini menunjukkan sebuah pertanyaan yang mengarah pada pernyataan implisit bahwa manusia seharusnya tidak mendustakan nikmat-nikmat Allah, karena nikmat-Nya tak terhitung banyaknya. Kalimat ini juga menggunakan kata "tu’kadzibaan" yang berarti "kalian dustakan", yang memberi penekanan bahwa ada keraguan atau penolakan terhadap kenikmatan tersebut. 

    Pertanyaan ini memiliki gaya bahasa balaghah (retoris) yang mengandung banyak penekanan. Penggunaan “fabi ayyi” menambah kesan mendalam dan mengingatkan bahwa setiap nikmat yang diberikan Allah tidak bisa dihitung, sehingga umat manusia perlu bersyukur dan tidak mendustakan nikmat tersebut. Penerapan al-balagah dalam ayat ini bertujuan untuk membangkitkan kesadaran dan rasa syukur terhadap segala karunia Allah yang sering diabaikan atau tidak disadari.

    Kalimat ini mengandung dua unsur utama: nikmat Tuhan dan penyangkalan manusia terhadap nikmat tersebut. Kata "nikmat" menunjukkan anugerah Allah yang luas, baik berupa materi, fisik, maupun spiritual, yang tak terhingga. Kata "dustakan" mengarah pada penolakan atau kelalaian manusia dalam mengenali dan mensyukuri karunia Tuhan. Ayat ini menegaskan bahwa meskipun manusia telah menerima berbagai nikmat, banyak di antaranya yang sering tidak disyukuri atau diabaikan, sehingga menyebabkan mereka terjatuh dalam bentuk penolakan atau kekufuran.

    Dari perspektif ilmu tanda dan simbol, ayat ini menggunakan tanda-tanda untuk menunjukkan realitas yang lebih besar, yaitu kenikmatan Allah yang tak terhingga dan penolakan manusia terhadapnya. “Nikmat” adalah tanda dari anugerah Allah yang banyak, sementara "dustakan" adalah tanda dari kelalaian dan kebodohan manusia. Tanda-tanda ini berfungsi sebagai pengingat bagi manusia untuk merenungkan dan mengakui setiap kenikmatan yang telah Allah berikan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.

    Secara logis, ayat ini menyajikan sebuah argumen yang sangat sederhana namun mendalam: jika manusia mampu menikmati dan mendapatkan berbagai nikmat, maka seharusnya mereka menyadari asal-usul nikmat tersebut adalah Tuhan. Penolakan terhadap nikmat-nikmat ini adalah logika yang keliru, karena segala pencapaian manusia, baik di bidang pengetahuan maupun teknologi, adalah hasil dari anugerah Tuhan. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi manusia untuk mendustakan nikmat-Nya.p

    Ayat 33 menggambarkan keterbatasan manusia dalam menggapai ruang angkasa dan melintasi batas alam semesta tanpa kekuatan Allah. Dalam konteks ini, ayat 34 mengingatkan bahwa segala pencapaian manusia dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan yang tampak luar biasa, adalah kenikmatan yang diberikan oleh Allah. Ayat ini memotivasi manusia untuk melihat bahwa segala sesuatu yang mereka capai atau miliki, termasuk ilmu pengetahuan dan kemajuan sains, berasal dari Allah, dan karenanya harus disyukuri, bukan disangkal atau didustakan. Ayat ini menuntut kesadaran akan kebesaran Allah dan pentingnya bersyukur atas segala kenikmatan yang diberikan-Nya.

    Penjelasan Ulama 

    Sayyid Qutub dalam tafsirnya, Fi Zilal al-Quran, memberikan pemahaman yang mendalam tentang ayat ini dengan menyebutkan bahwa ayat tersebut mengandung peringatan keras terhadap manusia yang tidak mengenali dan menghargai nikmat Tuhan yang begitu besar. Qutub menekankan bahwa Allah menggunakan kalimat “فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ” untuk menegaskan bahwa manusia, khususnya orang-orang yang kufur, telah sering mengingkari nikmat Allah, padahal setiap detik dalam hidup mereka adalah pemberian dari-Nya. Ayat ini berbicara tentang pentingnya rasa syukur terhadap segala bentuk kenikmatan yang Allah anugerahkan, baik itu berupa materi maupun spiritual.

    Beliau juga menyoroti bahwa setiap ayat dalam surah ini bertujuan untuk membuka kesadaran manusia bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini—dari yang kecil hingga yang besar—merupakan bukti kekuasaan Allah. Ketidakmampuan manusia untuk menghitung dan memahami seluruh nikmat-Nya menunjukkan keterbatasan mereka sebagai makhluk ciptaan-Nya. Dalam pandangan Qutub, ayat ini menggugah hati manusia untuk lebih mendalam dalam merenungkan segala kebaikan yang diberikan Allah dan menjadikan mereka lebih dekat kepada-Nya.

    Ia juga melihat bahwa ayat ini bukan hanya berbicara tentang kenikmatan fisik seperti kekayaan dan kesehatan, tetapi juga kenikmatan berupa kebijaksanaan dan petunjuk hidup yang diberikan Allah kepada umat manusia melalui wahyu-Nya. Dengan demikian, ayat ini adalah seruan untuk menghargai semua bentuk nikmat yang datang dari Tuhan, serta untuk tidak meremehkan setiap kebaikan yang diberikan, karena semuanya adalah ujian dan berkah dari Allah.

    Buya Hamka dalam tafsirnya, Tafsir al-Azhar, menjelaskan bahwa ayat ini merupakan bentuk seruan untuk menyadarkan manusia akan nikmat Allah yang tak terhitung jumlahnya. Beliau berpendapat bahwa ayat ini mengandung makna yang lebih dalam, yaitu bahwa setiap kali Allah menyebutkan nikmat-Nya, itu adalah peringatan bagi manusia untuk tidak mengingkarinya. Bagi Hamka, ayat ini berbicara tentang kebutuhan manusia untuk selalu bersyukur dan merenungkan setiap anugerah yang diberikan Allah, karena segala sesuatu yang ada di dunia ini, baik itu alam, kehidupan, ataupun apa yang ada di dalam hati manusia, merupakan karunia yang datang dari Tuhan.

    Menurut Buya Hamka, pertanyaan “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” menjadi tantangan moral dan spiritual bagi manusia untuk tidak melupakan Tuhan dalam setiap aspek kehidupan mereka. Buya Hamka melihat ayat ini sebagai seruan agar manusia tidak terperdaya oleh kehidupan duniawi yang penuh dengan godaan, tetapi untuk senantiasa mensyukuri segala nikmat yang diberikan oleh Tuhan. Dalam pandangan Buya Hamka, surah ini adalah bagian dari wahyu yang mengingatkan umat manusia tentang hubungan mereka dengan Allah dan bagaimana manusia seharusnya bersikap penuh kesadaran terhadap nikmat-Nya.

    Bagi Buya Hamka, ayat ini mengandung seruan agar manusia berpikir lebih dalam tentang kenikmatan spiritual, seperti petunjuk agama, yang juga merupakan karunia Tuhan yang sangat penting. Dengan demikian, ayat ini bukan hanya mengajak umat untuk merenungkan kenikmatan dunia, tetapi juga untuk memahami dengan baik kenikmatan rohani yang diperoleh melalui iman dan amal soleh.

    Relevansi dengan Sains Modern dan Pendidikan  

    Ayat Q.S. Al-Rahman ayat 34 menyentuh konsep pengenalan dan penghargaan terhadap segala macam nikmat Tuhan. Dalam konteks sains modern, ayat ini relevan dengan pemahaman bahwa alam semesta ini penuh dengan ketelitian yang luar biasa. Sains modern mengungkapkan berbagai fenomena alam yang sangat kompleks dan teratur, dari struktur atom hingga galaksi yang tak terhitung jumlahnya. Penemuan-penemuan ilmiah menunjukkan bahwa setiap elemen, dari partikel terkecil hingga hukum-hukum fisika yang mengatur alam semesta, adalah bagian dari nikmat yang tak terhitung. Oleh karena itu, umat manusia diajak untuk menyadari bahwa sains, sebagai pencarian kebenaran, juga merupakan bentuk penghargaan terhadap ciptaan Tuhan.

    Dalam konteks pendidikan terkini, relevansi ayat ini terletak pada pentingnya mendidik generasi muda untuk memiliki rasa syukur dan penghargaan terhadap segala ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka pelajari. Pendidikan bukan hanya soal akumulasi pengetahuan, tetapi juga membangun kesadaran spiritual dan moral untuk menghargai setiap nikmat yang ada, baik dalam bentuk materi maupun dalam pencapaian intelektual. Melalui pendidikan yang berbasis pada kesadaran akan nikmat Tuhan, diharapkan generasi yang lebih bijaksana dan lebih peka terhadap keseimbangan alam dan keberlanjutan hidup dapat terwujud.

    Riset Terkait

    Penelitian Dr. Ahmad Faris dan Dr. Lina Siti berjudul: ”The Impact of Gratitude Practices on Student Well-being in Islamic Educational Settings”. Penelitiannya menerapkan metode eksperimen kuasi dengan dua kelompok (kelompok eksperimen yang melibatkan praktik syukur dan kelompok kontrol). Penelitian dilakukan di sekolah-sekolah Islam di Indonesia selama 6 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik syukur yang terstruktur meningkatkan kesejahteraan psikologis siswa secara signifikan. Siswa yang terlibat dalam kegiatan yang memfokuskan pada rasa syukur melaporkan peningkatan kebahagiaan, pengurangan stres, dan peningkatan rasa kedekatan spiritual.

    Dalam konteks pendidikan, penelitian Dr. Siti Maria dan Dr. Fajar Naufal berjudul: ”Exploring the Role of Islamic Values in Enhancing Environmental Sustainability Education” Metode penelitiannya adalah metode kualitatif dengan wawancara mendalam kepada pengajar dan peserta didik di berbagai sekolah berbasis Islam di Jawa Tengah.  Penelitian ini mengungkapkan bahwa nilai-nilai Islam, termasuk konsep rasa syukur dan penghargaan terhadap nikmat alam, dapat menjadi pendekatan efektif dalam mengedukasi siswa tentang keberlanjutan lingkungan. Siswa yang diajarkan untuk menghargai alam sebagai karunia Tuhan lebih cenderung mengadopsi perilaku ramah lingkungan. Dalam misi kerasulan Muhammad SAW., ramah lingkungan merupakan bagian dari makna ”rahmatan lil- ’alamin”.

    Penemuan ini relevan dalam kehidupan modern, terutama dalam konteks pendidikan yang lebih menekankan pada pengembangan karakter siswa. Pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai agama, seperti rasa syukur, memberikan dampak positif terhadap kesehatan mental dan perilaku siswa. Selain itu, kesadaran akan pentingnya keberlanjutan lingkungan yang diajarkan melalui pandangan Islam mengenai alam semesta sebagai nikmat Tuhan juga sangat relevan dalam menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim. Kedua riset ini menekankan pentingnya keseimbangan antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai spiritual dalam menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera dan berkelanjutan.