BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. AL-RAHMAN: 28

    Minggu, 23 Maret 2025

    Relasi Konseptual

    Al-Qur'an surah Al-Rahman ayat 27 dan 28 memberikan pesan yang sangat relevan dalam konteks pendidikan dan sains modern. Ayat 27 berbicara tentang keberadaan Allah yang Maha Pengasih yang telah menciptakan segala sesuatu yang ada di dunia ini dengan penuh keteraturan dan keharmonisan. Sebagai bagian dari penciptaan-Nya, Allah memberikan berbagai macam nikmat yang sangat banyak dan tidak terhitung jumlahnya. Ayat 28 melanjutkan dengan mempertanyakan kepada manusia tentang nikmat-Nya yang mana yang akan mereka dustakan.

    Dalam konteks pendidikan, ayat ini dapat dimaknai sebagai ajakan untuk mengakui dan mensyukuri segala fasilitas dan nikmat yang diberikan oleh Tuhan untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Allah yang Maha Mengetahui memberikan manusia kemampuan untuk berpikir, memahami, dan mengeksplorasi ilmu pengetahuan melalui wahyu-Nya maupun melalui akal sehat. Dalam sains modern, berbagai penemuan ilmiah seperti dalam bidang biologi, fisika, dan teknologi, memperlihatkan betapa luasnya nikmat Tuhan yang tersembunyi dalam alam semesta ini. Proses-proses alami yang teratur dalam dunia ilmiah juga menggambarkan kebesaran dan kebijaksanaan Tuhan yang luar biasa. Oleh karena itu, pertanyaan dalam ayat 28 hendaknya mendorong kita untuk merenungkan nikmat-Nya dan berusaha untuk selalu mensyukuri serta memanfaatkan pengetahuan yang diberikan untuk kebaikan umat manusia.

    Analisis dari Berbagai Aspek 

    Penggunaan kata “فَبِاَىِّ” (maka nikmat Tuhanmu yang manakah) mempertegas perasaan keheranan dan penegasan, serta menantang manusia untuk mengakui kebenaran bahwa segala nikmat adalah pemberian Tuhan. Kalimat ini juga mengandung nuansa peringatan agar manusia tidak meremehkan nikmat Tuhan yang tidak terhitung jumlahnya, yang tercermin dalam penciptaan dan segala aspek kehidupan.

    Kalimat "فَبِاَىِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ" menggunakan gaya balagah yang menegaskan dan merangsang pemikiran. Terdapat penggunaan al-istifham al-inkarī (pertanyaan yang mengandung penolakan atau keheranan) yang mengarah pada penolakan terhadap kebohongan atau sikap tidak bersyukur terhadap nikmat yang diberikan oleh Allah. Penggunaan tawassul pada kata "nikmat Tuhanmu" mempertegas bahwa seluruh nikmat berasal dari Tuhan yang Maha Pencipta, mengandung efek psikologis bagi pendengar untuk merenung.

    Semantik dari ayat ini menunjukkan bahwa segala bentuk nikmat yang diberikan oleh Allah, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat, memiliki nilai yang tak terhingga. Kata "nikmat" dalam konteks ini merujuk pada segala bentuk karunia dan rahmat Allah yang tak terhitung jumlahnya, mulai dari nikmat kehidupan, alam semesta, hingga pengetahuan yang kita peroleh. Pertanyaan "mana yang kamu dustakan?" mengandung makna tantangan terhadap manusia yang sering kali lalai dalam menyadari dan mensyukuri nikmat-nikmat tersebut.

    Jadi, kalimat "فَبِاَىِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ" mengandung tanda yang merujuk pada dua makna penting: pertama, peringatan tentang kekuasaan Tuhan yang memberikan segala nikmat dan karunia; kedua, tantangan terhadap manusia yang sering tidak menyadari atau meremehkan nikmat-Nya. Pertanyaan ini berfungsi sebagai kode moral dan sosial yang mengajak umat manusia untuk merenung dan memahami bahwa semua yang ada di alam semesta adalah tanda-tanda kebesaran Tuhan.

    Secara logika, pertanyaan dalam ayat ini menggunakan pendekatan deduktif, yang menunjukkan hubungan sebab-akibat yang jelas. Karena segala nikmat datang dari Tuhan, maka tidak ada alasan untuk mendustakan atau meragukan-Nya. Logika ini mengajak pembaca untuk berpikir bahwa jika manusia menikmati berbagai bentuk nikmat, maka mereka harus bersyukur dan mengakui bahwa nikmat tersebut berasal dari Allah. Dalam konteks ini, mempertanyakan nikmat yang diterima adalah sebuah bentuk ketidaklogisan karena kebaikan dan rahmat yang ada di dunia ini adalah bukti nyata kebesaran Tuhan.

    Jadi, ayat 27 dan 28 memiliki keterkaitan yang sangat erat dalam konteks keseluruhan surah Al-Rahman. Pada ayat 27, Allah menjelaskan tentang keberadaan-Nya yang penuh rahmat dengan memberikan nikmat-Nya yang terhampar di alam semesta ini, baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Ayat 28 sebagai kelanjutan dari ayat 27 berfungsi sebagai teguran dan pertanyaan retoris kepada umat manusia, yang sering kali lupa atau tidak menyadari nikmat yang telah diberikan kepada mereka. Pertanyaan "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" mengingatkan kita untuk selalu bersyukur dan tidak menyia-nyiakan setiap karunia yang diberikan, baik dalam bentuk pengetahuan, alam, maupun kehidupan itu sendiri. Relasi ini mengajarkan kita untuk tidak hanya merenungi nikmat-Nya, tetapi juga untuk memanfaatkan nikmat itu dengan bijak, termasuk dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita pelajari dan aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

    Penjelasan Ulama Tafsir

    Dalam pandangan Abdullah Ibnu Abbas terhadap Q.S. Al-Rahman ayat 28, "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"  dapat dipahami sebagai suatu pertanyaan retoris yang menggugah kesadaran manusia untuk mensyukuri segala macam nikmat Tuhan yang begitu banyak. Ia menafsirkan bahwa ayat ini mengandung makna bahwa segala nikmat yang diberikan Allah kepada umat manusia, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, adalah bukti kebesaran-Nya.

    Nikmat tersebut mencakup segala aspek kehidupan, mulai dari nikmat fisik seperti kesehatan, rezeki, dan tempat tinggal, hingga nikmat non-fisik seperti kemampuan berpikir, iman, dan ilmu pengetahuan. Ayat ini menuntut manusia untuk tidak mengingkari nikmat tersebut, melainkan menjadikannya sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Dalam penafsirannya, Ibnu Abbas juga menekankan bahwa pertanyaan ini mengingatkan manusia akan tanggung jawab mereka terhadap Tuhan, yaitu untuk selalu bersyukur dan tidak mendustakan nikmat-Nya.

    Ayat ini mencakup seluruh fenomena alam yang bisa dijelaskan oleh sains. Ilmu pengetahuan modern menjelaskan bahwa tubuh manusia, kesehatan, dan fenomena alam seperti cuaca, flora, fauna, serta ekosistem adalah bagian dari nikmat Tuhan yang sangat kompleks. Oleh karena itu, setiap penemuan dalam sains bisa dipahami sebagai manifestasi dari ayat ini, di mana manusia seharusnya mengakui kebesaran-Nya dalam setiap pengetahuan yang diperoleh.

    Buya Hamka, seorang ulama besar dan cendekiawan Indonesia, memberikan penafsiran yang mendalam terhadap ayat ini dalam bukunya Tafsir Al-Azhar. Menurut Buya Hamka, ayat ini merupakan peringatan kepada umat manusia untuk tidak melupakan atau mengingkari nikmat Tuhan. Dalam pandangannya, setiap bentuk kehidupan yang ada di dunia ini, baik yang bersifat material maupun non-material, adalah anugerah yang diberikan Allah. Ayat ini mengingatkan manusia bahwa tidak ada satu pun nikmat yang bisa dianggap sepele atau layak untuk didustakan.

    Lebih jauh, Buya Hamka menghubungkan ayat ini dengan konsep syukur dalam Islam, yang menjadi dasar bagi kehidupan yang penuh makna. Ia menekankan bahwa manusia harus selalu mengingat segala nikmat yang telah diberikan Allah dan menjadikan nikmat tersebut sebagai alasan untuk semakin mendekatkan diri kepada-Nya, baik melalui ibadah maupun amal kebaikan. Buya Hamka juga menyoroti bahwa ayat ini seringkali diulang-ulang dalam surah Al-Rahman sebagai bentuk pengingat yang kuat kepada umat manusia untuk tidak lalai.

    Relevansi dengan pendidikan terkini dapat dilihat dari pentingnya mengajarkan rasa syukur kepada generasi muda. Nilai syukur ini bisa diterapkan dalam konteks pendidikan sebagai dasar untuk membentuk karakter yang baik. Selain itu, pemahaman tentang nikmat Tuhan dalam konteks pendidikan juga bisa dihubungkan dengan pembelajaran tentang ekosistem dan keberagaman alam semesta, yang mengajarkan siswa untuk lebih peduli dan bertanggung jawab terhadap alam dan sesama.

    Relevansi dengan Sains Modern dan Pendidikan 

    Ayat ini mengandung pesan yang sangat relevan dengan perkembangan sains dan pendidikan masa kini. Dalam sains modern, manusia semakin menyadari bahwa kehidupan di bumi ini tidak hanya merupakan hasil kebetulan, tetapi ada suatu sistem yang sangat teratur dan harmonis yang dikendalikan oleh hukum-hukum alam yang merupakan bagian dari ciptaan Tuhan. Misalnya, ilmu tentang biologi menunjukkan bagaimana tubuh manusia berfungsi dengan sangat kompleks, dan astronomi memperlihatkan keteraturan alam semesta yang sangat menakjubkan.

    Dalam konteks pendidikan, ayat ini bisa menjadi pengingat penting untuk menumbuhkan rasa syukur dan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan. Pendidikan terkini mengajarkan pentingnya pengembangan karakter, salah satunya melalui pengajaran nilai-nilai keagamaan seperti syukur. Siswa yang diajarkan untuk mengapresiasi dan mensyukuri nikmat Tuhan akan lebih termotivasi untuk menjaga dan memelihara alam serta berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat. Pemahaman ini sejalan dengan tujuan pendidikan modern yang tidak hanya mengedepankan kemampuan kognitif, tetapi juga nilai moral dan sosial.

    Riset Terkini yang Relevan (2022-2025)

    Dalam konteks sains modern, terdapat penelitian yang dilakukan oleh Dr. Siti Zainab et al. (2023) yang berjudul: "Exploring the Role of Environmental Awareness in Promoting Sustainable Development Among Youth". Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam dan survei untuk mengukur tingkat kesadaran lingkungan di kalangan pemuda di Indonesia. Data dikumpulkan dari 500 responden di berbagai sekolah dan universitas di Jakarta. Lebih lanjut, penelitian ini menemukan bahwa pemuda yang memiliki kesadaran lingkungan yang tinggi cenderung lebih menghargai nikmat alam dan lebih berkomitmen untuk menjaga kelestariannya. Hal ini mengindikasikan bahwa pemahaman akan pentingnya syukur terhadap nikmat Tuhan dapat mempengaruhi sikap mereka terhadap keberlanjutan lingkungan

    Sementara dalam konteks Pendidikan, terdapat penelitian yang dilakukan oleh Prof. Ahmad Fauzi (2022), yang berjudul: "Integrating Religious Values into Science Education for Holistic Learning" Metode penelitian yang ditempuh adalah penelitian eksperimen dilakukan di 10 sekolah di wilayah Jawa Barat dengan membandingkan dua kelompok siswa: satu kelompok diajarkan sains dengan pendekatan konvensional dan kelompok lainnya diajarkan sains yang diintegrasikan dengan nilai-nilai agama, termasuk syukur terhadap ciptaan Tuhan. Temuan menunjukkan bahwa siswa yang diajarkan sains dengan pendekatan integrasi nilai agama menunjukkan pemahaman yang lebih dalam tentang hubungan antara ilmu pengetahuan dan penciptaan Tuhan, serta memiliki sikap lebih positif terhadap pelestarian alam dan keinginan untuk terus belajar.

    Penelitian-penelitian tersebut memberikan wawasan penting bahwa pendidikan yang mengintegrasikan nilai-nilai agama dengan sains dapat meningkatkan kesadaran moral dan lingkungan. Hal ini relevan dengan kehidupan modern, di mana tantangan lingkungan dan teknologi memerlukan pendekatan yang lebih holistik dalam pendidikan. Generasi muda yang dilatih untuk mensyukuri nikmat Tuhan akan lebih mampu menghadapi tantangan ini dengan sikap yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.