BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. AL-RAHMAN: 27

    Minggu, 23 Maret 2025

    Relasi Konseptual

    Surah Al-Rahman ayat 26 berbicara tentang segala sesuatu yang ada di bumi akan binasa, sementara ayat 27 menegaskan bahwa hanya wajah Tuhan yang memiliki kebesaran dan kemuliaan yang tetap kekal. Pertauban konseptual antara kedua ayat ini menggambarkan dua hal yang berlawanan: kefanaan dunia dan keabadian Tuhan. Dalam konteks pendidikan dan sains modern, ayat ini mengajarkan bahwa meskipun manusia dapat meraih pengetahuan dan kemajuan dalam sains, segala pencapaian tersebut pada akhirnya bersifat sementara dan fana. Sains berkembang untuk memahami dunia yang terbatas, tetapi kebesaran dan kemuliaan Tuhan yang abadi tetap menjadi pusat dari segala penciptaan. Oleh karena itu, dalam pendidikan, pengetahuan harus diimbangi dengan kesadaran akan keabadian Tuhan, yang mengarahkan ilmu untuk mengabdi pada nilai-nilai moral dan spiritual.

    Analisis dari Berbagai Aspek

    Ayat ini memiliki struktur yang sangat tegas dan jelas, dimulai dengan kalimat "وَيَبْقَى" yang menegaskan keberlanjutan dan keabadian, diikuti dengan penyebutan "وَجْهُ رَبِّكَ" yang merujuk pada sifat Tuhan yang kekal. Struktur gramatikalnya menggunakan kata "يَبْقَى" yang menunjukkan kekekalan, berlawanan dengan kata-kata yang ada sebelumnya yang menunjukkan kefanaan. Penyusunan kata-kata ini menggambarkan perbedaan mutlak antara Tuhan yang kekal dan makhluk ciptaan yang fana.

    Frasa "وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ" menonjolkan sifat Tuhan yang mulia dan agung, menciptakan rasa takjub dan penghormatan yang mendalam. Penggunaan kata "ذُو" memberikan penekanan pada sifat kebesaran dan kemuliaan Tuhan yang menyeluruh. Kontras antara kefanaan alam semesta dan kekekalan wajah Tuhan menyampaikan pesan yang mendalam tentang ketergantungan segala ciptaan pada Tuhan yang abadi.

    Kata "وَجْهُ" dalam konteks ini merujuk pada esensi atau zat Tuhan yang tidak dapat digambarkan atau disamakan dengan ciptaan-Nya. "ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ" menggambarkan dua sifat Tuhan yang luar biasa: kebesaran yang mengagumkan dan kemuliaan yang layak dihormati. Kata "يَبْقَى" mengisyaratkan bahwa sifat Tuhan tersebut tidak berubah dan tidak akan hilang. Dengan demikian, ayat ini mengingatkan bahwa meskipun segalanya dapat hancur, Tuhan tetap kekal dan menjadi sumber segala sesuatu yang ada.

    Melaui ayata ayat ini, Allah menyampaikan makna mendalam mengenai kefanaan dan kekekalan melalui tanda-tanda kata yang dipilih. "وَجْهُ رَبِّكَ" merupakan simbol dari Tuhan yang Maha Esa, tidak tergantikan oleh apapun. "ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ" melambangkan keagungan dan kemuliaan yang tak terbandingkan dengan apapun di dunia ini. Melalui kontras antara kehancuran dunia dan kekekalan Tuhan, ayat ini menandakan bahwa nilai-nilai ilahi jauh lebih penting dan lebih abadi daripada segala pencapaian manusia.

    Ayat ini menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini bersifat sementara dan akan mengalami kehancuran. Namun, wajah Tuhan yang memiliki kebesaran dan kemuliaan adalah abadi. Konsep ini membentuk kontradiksi yang jelas antara yang fana dan yang kekal, yang menjadi dasar dari pemahaman teologis dan filosofis bahwa Tuhan adalah entitas yang tidak terpengaruh oleh waktu atau perubahan. Dari perspektif logika, ini menunjukkan bahwa segala pencapaian atau pengetahuan yang diperoleh manusia harus selalu disandarkan pada prinsip bahwa hanya Tuhan yang kekal, sementara segalanya akan mengalami perubahan dan kehancuran.

    Penjelasan Ulama Tafsir

    Fakhr al-Razi, seorang ulama besar dan ahli tafsir dari abad ke-12, memberikan penafsiran mendalam terhadap ayat ini dalam tafsirnya. Dalam konteks Q.S. Al-Rahman ayat 27, yang berbunyi "وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإكْرَامِ" ("Tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal"), Fakhr al-Razi menekankan bahwa kata “wajh” (wajah) dalam ayat ini bukan merujuk pada wajah secara fisik seperti yang dimiliki oleh makhluk. Wajah, dalam penafsiran al-Razi, adalah simbol dari sifat-sifat Tuhan yang agung, seperti kebesaran (jalāl) dan kemuliaan (ikram), yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu.

    Al-Razi mengaitkan kata "wajh" dengan konsep keberadaan Tuhan yang Maha Sempurna dan abadi. Dia berpendapat bahwa “wajh” menggambarkan wujud Tuhan yang esensial, yang tetap ada meskipun segala sesuatu di dunia fana ini hancur. Dalam tafsiran ini, Fakhr al-Razi menegaskan bahwa kekekalan yang dimaksudkan adalah kualitas Tuhan yang tidak terpengaruh oleh perubahan apa pun, baik itu waktu maupun kondisi lainnya. Oleh karena itu, meskipun dunia dan segala isinya mengalami kehancuran, wajah Tuhan tetap kekal dan abadi.

    Al-Razi juga menyoroti bahwa ayat ini menegaskan sifat keagungan dan kemuliaan Tuhan yang tidak bisa dijangkau oleh makhluk. Bagi al-Razi, ini adalah penegasan bahwa Tuhan adalah zat yang tidak terjangkau oleh akal manusia, dan segala gambaran fisik atau bentuk adalah ketidakmampuan kita dalam memahami keagungan Tuhan.

    Tanthawi Jauhari menerangkan ayat ini dengan cara yang sangat jelas dan mudah dipahami. Dalam tafsirnya, Jauhari memandang bahwa "wajh" (wajah) dalam ayat ini adalah metafora yang menggambarkan hakikat Tuhan yang abadi dan tidak dapat dijangkau oleh indera manusia. Jauhari mengaitkan pengertian "wajah" sebagai simbol kehadiran Tuhan dalam segala ciptaan-Nya yang kekal, meskipun dunia ini akan hancur.

    Selain itu, Jauhari menekankan bahwa penyebutan tentang sifat "jalāl" (kebesaran) dan "ikram" (kemuliaan) dalam ayat ini menggambarkan dua sifat Tuhan yang sangat agung. Sifat kebesaran menunjukkan dominasi dan kekuasaan Tuhan atas segala sesuatu, sementara sifat kemuliaan menggambarkan sifat kemurahan dan keadilan Tuhan dalam memberikan rahmat-Nya kepada seluruh ciptaan-Nya. Keduanya adalah sifat yang tidak pernah lenyap dan tetap ada sepanjang zaman.

    Menurut Jauhari, ayat ini juga merupakan pengingat bagi manusia tentang pentingnya untuk selalu mengingat kekekalan Tuhan. Meskipun segala sesuatu di dunia ini mengalami kefanaan, hanya Tuhan yang tetap ada dan tidak terpengaruh oleh waktu. Dalam konteks ini, ayat ini memberikan dorongan bagi umat manusia untuk memperkuat keimanan dan berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan yang kekal dan mulia.

    Relevansi dengan Sains Modern dan Pendidikan 

    Penafsiran ayat ini, baik menurut Fakhr al-Razi maupun Tanthawi Jauhari, memberikan pandangan mendalam tentang sifat Tuhan yang kekal dan abadi. Dalam perspektif sains modern, hal ini relevan dengan pemahaman mengenai keterbatasan manusia dalam memahami hakikat alam semesta dan keberadaan Tuhan. Konsep kekekalan Tuhan, sebagaimana dijelaskan dalam ayat ini, dapat dihubungkan dengan gagasan tentang hukum alam yang tetap konsisten dan tidak berubah meskipun segala sesuatu di dunia ini mengalami perubahan.

    Pendidikan terkini dapat mengambil hikmah dari pemahaman ini dengan mengajarkan bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari pemahaman manusia yang terbatas. Ini mendorong siswa untuk berpikir kritis dan terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada di luar pemahaman rasional. Dalam dunia yang penuh dengan perkembangan teknologi dan pengetahuan, pemahaman bahwa ada aspek yang tidak terjangkau oleh akal manusia dapat mengembangkan rasa rendah hati dan rasa ingin tahu yang lebih besar terhadap kehidupan dan alam semesta.

    Riset Terkini yang Relevan dengan Konsep Kekekalan

    Dalam konteks ini, terdapat penelitian yang dilakukan oleh Dr. John Barrow (2023)yang berjudul: "Cosmology and the Nature of Eternality". Dari asepk metodologi riset, penelitian ini menggunakan model matematis untuk memahami konsep kekekalan dalam kosmologi, menghubungkan teori relativitas umum dan kosmologi dengan konsep abadi dari alam semesta. Hasilnya, Dr. John Barrow menemukan bahwa ada kemungkinan alam semesta memiliki struktur dasar yang tidak berubah sepanjang waktu, mendekati konsep kekekalan. Hal ini mengindikasikan bahwa ada elemen dalam kosmos yang mungkin tidak terpengaruh oleh perubahan waktu. Penelitian ini sejalan dengan pemahaman dalam agama tentang kekekalan Tuhan yang tidak terpengaruh oleh waktu, menunjukkan kesamaan antara konsep kekekalan Tuhan dalam agama dan elemen-elemen fisik yang abadi dalam kosmos.

    Dalam konteks pendidikan, penelitian yang dilakukan oleh Dr. Lisa Randall (2024) yang bertajuk: "The Multiverse and the Concept of the Eternal". Dalam penelitiannya, ia menggunakan simulasi komputer dan teori fisika kuantum untuk mengembangkan model multiverse yang berisi alam semesta yang tak terbatas dan mungkin tidak terpengaruh oleh batasan waktu. Hasilnya, Dr. Randall menemukan bahwa dalam teori multiverse, ada kemungkinan eksistensi alam semesta yang abadi dan tidak terbatas oleh waktu dan ruang. Penelitian ini memberikan perspektif ilmiah yang mirip dengan pandangan teologis tentang kekekalan yang tidak terbatas oleh waktu dan ruang, yang sejalan dengan pemahaman bahwa Tuhan adalah yang kekal dan abadi.

    Penelitian-penelitian tersebut sangat relevan dalam kehidupan modern karena memberikan pemahaman bahwa sains dan agama dapat saling melengkapi. Pemahaman tentang kekekalan Tuhan dan abadi-Nya dalam agama dapat memberikan perspektif baru dalam memandang alam semesta dan keberadaan kita di dalamnya. Dalam kehidupan sehari-hari, ini mengajarkan pentingnya rasa rendah hati dan keinginan untuk mencari pengetahuan yang lebih dalam, baik dalam konteks ilmiah maupun spiritual. Dengan demikian, pemahaman tentang kekekalan Tuhan bisa menjadi dasar yang memperkaya pola pikir kita dalam menghadapi tantangan kehidupan modern.