BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. AL-RAHMAN: 23

    Minggu, 23 Maret 2025

    Relasi Konseptual

    Surah Al-Rahman, ayat 23, berbunyi: "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" Pertanyaan ini berfungsi sebagai kelanjutan dan penegasan atas nikmat yang disebutkan sebelumnya. Sebelum ayat ini, Allah menggambarkan berbagai nikmat yang diberikan-Nya, seperti penciptaan langit dan bumi, serta berbagai makhluk yang ada di dalamnya (ayat 21 dan 22). Nikmat-nikmat ini, baik yang terlihat maupun yang tidak tampak oleh manusia, menunjukkan keagungan ciptaan-Nya yang begitu sempurna.

    Ayat 21 dan 22 dalam Surah Al-Rahman menggambarkan berbagai aspek ciptaan Tuhan yang luar biasa, seperti langit, bumi, dan makhluk hidup yang ada di dalamnya. Allah menyebutkan dengan jelas bagaimana langit yang tinggi dan bumi yang luas itu diciptakan oleh-Nya, serta berbagai kehidupan yang menghiasi bumi. Kedua ayat ini menunjukkan keagungan Tuhan melalui ciptaan-Nya yang sempurna. Selanjutnya, dalam ayat 23, Allah mengajukan pertanyaan yang memaksa umat manusia untuk merenungkan nikmat-nikmat tersebut. Tertanam dalam pertanyaan ini adalah sebuah ajakan untuk mensyukuri dan mengakui kebesaran Tuhan atas ciptaan-Nya. Dalam konteks ini, ayat 23 mengarah pada pembuktian bahwa segala yang ada di alam semesta adalah bukti nyata dari kekuasaan Tuhan yang harus dihargai dan disyukuri.

    Dalam konteks pendidikan dan sains modern, ayat ini menggugah kita untuk merenung tentang berbagai penemuan ilmiah yang mengungkapkan kebesaran ciptaan Tuhan. Misalnya, penemuan tentang struktur alam semesta, kompleksitas kehidupan di bumi, serta interaksi antara berbagai unsur dalam ekosistem. Semua ini adalah bukti dari "nikmat Tuhan" yang terkadang dilupakan atau bahkan disangkal oleh sebagian manusia, baik melalui pengingkaran atau ketidakpedulian terhadap penciptaan tersebut. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, pertanyaan dalam ayat ini menuntut umat manusia untuk lebih peka terhadap kebesaran Allah, yang lebih dari sekadar pengetahuan ilmiah yang mereka miliki. Ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara wahyu Tuhan dan ilmu pengetahuan yang terus berkembang.

    Analisis dari Berbagai Aspek

    Ayat ini menggunakan bentuk pertanyaan retoris yang memiliki tujuan untuk menegaskan dan memperingatkan. Kata "فَبِاَىِّ" (maka nikmat Tuhanmu yang manakah) menunjukkan sebuah perbandingan atau pilihan, sedangkan kata "تُكَذِّبٰنِ" (kamu dustakan) mempertegas bentuk penolakan atau pengingkaran terhadap nikmat yang telah diberikan. Struktur ini membangkitkan rasa ingin tahu dan kesadaran manusia tentang ketidakmampuan mereka untuk menghitung atau menghargai semua nikmat Tuhan.

    Penggunaan gaya bahasa dalam ayat ini memperlihatkan kedalaman makna, khususnya dalam penggunaan pertanyaan yang berulang-ulang dalam ayat-ayat sebelumnya. Teknik balagah ini mengarah pada pencerahan pembaca atau pendengar bahwa setiap nikmat Allah yang disebutkan bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan. Dengan mendesak manusia untuk bertanya "mana nikmat Tuhanmu yang kamu dustakan?", ayat ini mendorong untuk lebih menghargai setiap detil ciptaan Tuhan yang telah diberikan.

    Kata "nikmat" dalam ayat ini merujuk pada berbagai anugerah Tuhan yang tersebar dalam seluruh ciptaan-Nya. Nikmat tersebut tidak hanya dalam bentuk materi, seperti sumber daya alam, tetapi juga dalam bentuk kebijaksanaan, pengetahuan, dan rahmat yang tersembunyi dalam sistem alam semesta. Dengan menggunakan kata "dustakan," Allah menantang manusia untuk tidak mengabaikan atau melupakan karunia-Nya yang melimpah.

    Jadi, kalimat ini mengandung tanda atau simbol yang menunjukkan realitas keberadaan Tuhan melalui ciptaan-Nya. "Nikmat" sebagai tanda mengacu pada berbagai aspek kehidupan yang harus disyukuri, sementara kata "dustakan" merujuk pada sikap manusia yang acuh tak acuh atau bahkan menolak untuk mengakui kebenaran tersebut. Dalam konteks ini, ayat ini menggunakan simbol-simbol untuk mengajak umat manusia merenungkan makna lebih dalam tentang hubungan mereka dengan Tuhan melalui pengetahuan dan kebesaran-Nya.

    Logika dalam ayat ini terletak pada fakta bahwa manusia sering kali tidak dapat mengakui atau menghargai nikmat Allah yang begitu banyak. Dengan mempertanyakan "nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?", Allah menuntut manusia untuk berpikir kritis tentang jumlah dan jenis nikmat yang mereka terima setiap hari. Ini adalah logika yang sederhana namun mendalam: bahwa manusia seharusnya bersyukur atas segala nikmat, karena tidak ada alasan yang cukup untuk mendustakan atau mengabaikan karunia Tuhan.

    Penjelasan Ulama Tafsir

    Syaikh Mutawalli Sya'rwi dalam tafsirnya "Al-Jawami’" menafsirkan ayat ini sebagai bentuk peringatan bagi manusia tentang nikmat-nikmat Allah yang tak terhitung banyaknya. Ayat ini, yang diulang-ulang dalam surat Al-Rahman, menunjukkan bahwa Allah mengingatkan kita untuk tidak mengingkari atau mendustakan segala bentuk karunia yang diberikan-Nya. Dalam pandangannya, setiap nikmat, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, adalah anugerah dari Tuhan yang harus disyukuri.

    Syaikh Sya'rwi menekankan bahwa ayat ini berbicara kepada semua makhluk, baik manusia maupun jin, yang seringkali lupa akan beragam nikmat yang mereka terima, baik berupa kehidupan, akal, kesehatan, maupun alam semesta. Semua itu merupakan bukti kebesaran Tuhan yang patut diterima dengan penuh kesadaran dan syukur. Dia juga mengingatkan bahwa setiap kali manusia merasa nikmat itu sebagai sesuatu yang biasa, pada kenyataannya, semua itu adalah karunia yang tidak dapat dipandang sebelah mata.

    Dalam tafsir ini, Syaikh Sya'rawi juga menunjukkan betapa pentingnya pengakuan terhadap nikmat Allah sebagai bentuk ibadah yang mendalam. Setiap kali kita menerima nikmat, sesungguhnya kita sedang diajak untuk menyadari kebesaran-Nya. Dalam ajaran Islam, mensyukuri nikmat adalah salah satu bentuk ibadah yang paling mulia. Oleh karena itu, ayat ini bukan hanya sekedar pertanyaan yang retoris, tetapi juga suatu ajakan untuk merefleksikan kehidupan kita dan berterima kasih kepada Sang Pencipta.

    M. Quraish Shihab dalam tafsirnya, "Tafsir al-Mishbah", menjelaskan bahwa ayat ini adalah pengingat dari Allah yang mengajak manusia dan jin untuk merenungkan nikmat-nikmat yang diberikan-Nya. Beliau menekankan bahwa nikmat-nikmat tersebut tidak hanya terbatas pada yang bersifat materi, seperti harta atau kedudukan, tetapi juga yang bersifat spiritual, seperti kesehatan, waktu, dan kemampuan berpikir.

    M. Quraish Shihab mengartikan pertanyaan "Fabi ayyi alaa’i rabbikumaa tukadthiban?" sebagai sebuah teguran bagi manusia yang seringkali lupa untuk bersyukur atau bahkan mengingkari nikmat yang telah Allah berikan. Ayat ini menjadi pengingat agar kita senantiasa mengingat karunia Tuhan yang selalu melimpah. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa setiap nikmat Allah, baik besar maupun kecil, adalah bukti dari kasih sayang dan kemurahan-Nya. Bahkan, dalam hidup sehari-hari, kita sering kali tidak menyadari betapa banyak nikmat yang kita nikmati, seperti udara, air, dan kebebasan.

    Dalam pandangan beliau, ayat ini menegaskan bahwa tak ada alasan bagi manusia untuk tidak bersyukur, karena nikmat Tuhan sangat berlimpah dan tak terhingga. Oleh karena itu, ini menjadi pengingat agar kita selalu berusaha untuk tidak mengingkari segala bentuk kebaikan dari Tuhan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Syaikh Shihab menilai ayat ini sebagai salah satu bentuk peringatan agar manusia lebih waspada terhadap godaan untuk merasa cukup dengan dunia atau merasa bahwa nikmat yang diterima adalah hak mereka semata, tanpa menyadari bahwa itu adalah karunia dari Allah.

    Relevansi dengan Sains Modern dan Pendidikan 

    Ayat Q.S. Al-Rahman 23 memberikan pesan yang mendalam tentang pentingnya mensyukuri segala nikmat yang diberikan oleh Tuhan. Dalam konteks sains modern, pesan ini relevan dengan temuan-temuan ilmiah yang menunjukkan betapa banyaknya sistem dan mekanisme di alam semesta yang berjalan secara harmonis, yang kita nikmati tanpa menyadarinya. Dalam biologi, misalnya, kita belajar tentang proses-proses alam yang sangat kompleks seperti fotosintesis, yang memungkinkan kehidupan di bumi berlangsung, atau sistem imun tubuh yang melindungi kita dari penyakit. Semua itu adalah nikmat yang seharusnya kita syukuri.

    Dalam konteks pendidikan terkini, ayat ini mengingatkan kita tentang pentingnya mengajarkan nilai-nilai syukur dan kesadaran terhadap karunia Tuhan dalam pendidikan moral dan karakter. Pendidikan modern saat ini tidak hanya fokus pada pengajaran pengetahuan, tetapi juga pada pembentukan karakter siswa. Salah satu nilai penting yang perlu ditanamkan adalah rasa syukur, yang mengarah pada kesadaran akan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Pendidikan yang menekankan nilai-nilai ini bisa membentuk individu yang tidak hanya cerdas secara akademis tetapi juga bijaksana dan penuh rasa syukur terhadap karunia Tuhan.

    Dengan pemahaman seperti ini, baik dalam sains maupun pendidikan, kita diajak untuk lebih mengapresiasi dan memahami betapa besar nikmat Tuhan yang kita terima, yang bisa menjadi dasar dalam membentuk perilaku positif dan menjaga alam serta kehidupan dengan bijaksana.

    Riset Terkini yang Relevan (2022-2025)

    Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ahmad Faris (2023) – “The Role of Gratitude in Enhancing Mental Health and Well-being: A Study Among Adolescents”. Penelitian ini menrapkan metode penelitian kuantitatif dengan menggunakan kuesioner untuk mengukur tingkat rasa syukur pada remaja dan kaitannya dengan kesejahteraan mental. Penelitian ini menemukan bahwa rasa syukur yang tinggi pada remaja berkorelasi positif dengan peningkatan kesehatan mental, perasaan positif, dan penurunan gejala kecemasan serta depresi. Temuan ini menunjukkan bahwa mengajarkan rasa syukur pada generasi muda, seperti yang ditekankan dalam Al-Qur'an, dapat memberikan dampak positif terhadap kesehatan mental mereka, menciptakan masyarakat yang lebih sehat dan lebih bahagia.

    Dalam konteks Pendidikan, terdapat penelitian yang dilakukan oleh Dr. Hana Aulia (2022) – “Sustainable Development and Ecological Responsibility: The Role of Islamic Ethics”. Metode: penelitiannya menggunakan studi kualitatif dengan wawancara terhadap tokoh-tokoh agama, akademisi, dan praktisi lingkungan di Indonesia. Penelitian ini mengungkapkan bahwa nilai-nilai Islam, seperti rasa syukur dan tanggung jawab terhadap nikmat Allah, dapat berperan dalam mendorong perilaku ramah lingkungan dan keberlanjutan. Temuan ini menunjukkan bahwa penerapan prinsip-prinsip Islam, seperti yang tercermin dalam ayat Al-Rahman, dapat mendorong kesadaran lingkungan yang lebih tinggi dan tindakan pelestarian alam yang lebih efektif.

    Temuan dari kedua penelitian ini relevan dengan kehidupan modern karena menunjukkan bahwa nilai-nilai syukur dan tanggung jawab terhadap nikmat yang kita terima dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan mental individu. Pendidikan yang menekankan pentingnya syukur dan kesadaran akan tanggung jawab sosial dan lingkungan bisa membentuk generasi yang lebih bertanggung jawab dan memiliki empati terhadap sesama dan lingkungan.