Relasi Konseptual
Surah Al-Rahman ayat 15 dan 16 menyatakan satu pertanyaan berulang yang mengandung makna mendalam: "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" Kedua ayat ini menekankan kekuasaan dan kebesaran Allah yang dapat dilihat dari berbagai nikmat-Nya yang melimpah. Dalam konteks pendidikan dan sains modern, kedua ayat ini mengingatkan umat manusia untuk tidak meremehkan atau mengingkari nikmat Tuhan yang hadir dalam bentuk ilmu pengetahuan yang berkembang pesat. Sebagai contoh, penemuan dalam ilmu fisika, biologi, atau teknologi adalah bagian dari nikmat Allah yang harus disyukuri, bukan dipandang sebagai hal yang terpisah dari-Nya. Nikmat tersebut dapat menjadi sarana untuk memahami lebih dalam tentang ciptaan-Nya dan meningkatkan kualitas hidup manusia.
Dalam konteks ini, konsep ilmu pengetahuan modern adalah sebuah bukti nyata dari ayat ini. Kemajuan dalam teknologi, pengobatan, dan berbagai aspek kehidupan manusia adalah bagian dari nikmat Allah yang harus disyukuri dan dimanfaatkan dengan baik. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan seharusnya tidak hanya dilihat sebagai alat untuk mencapai kemajuan duniawi, tetapi juga sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memahami kebesaran-Nya.
Analisis dari Aspek Kebahasaan
فَبِاَىِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ
Terjemahnya: "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan". (16)
Secara struktur, ayat 16 dari surah Al-Rahman menggunakan bentuk kalimat pertanyaan retoris yang bertujuan menekankan ketidakmampuan manusia untuk menghitung segala nikmat Allah. Pengulangan kalimat ini memperkuat pesan agar manusia menyadari bahwa setiap aspek kehidupan, baik yang besar maupun kecil, adalah anugerah Tuhan yang tidak dapat dihitung. Struktur ini memberi kesan bahwa seluruh alam semesta dan isinya adalah wujud dari rahmat Tuhan yang tiada bandingannya.
Ayat ini menggunakan gaya bahasa ironi yang kuat. Pertanyaan "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" bukanlah untuk meminta jawaban langsung, melainkan untuk menggugah kesadaran manusia tentang kedzaliman mereka dalam mengingkari nikmat Tuhan. Penggunaan kata "dustakan" secara halus mengkritik sikap manusia yang sering kali tidak mensyukuri nikmat Allah, meski nikmat itu sangat jelas dan melimpah dalam kehidupan mereka.
Nikmat yang dimaksud tidak hanya terbatas pada hal-hal materi, tetapi mencakup semua karunia dan rahmat yang diberikan oleh Allah kepada umat manusia, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Ayat ini juga memperingatkan manusia agar tidak menganggap remeh atau mengabaikan segala bentuk karunia Allah, karena setiap nikmat, sekecil apapun, adalah bukti kasih sayang-Nya.
Simbol dari ayat ini adalah gambaran nikmat Allah yang tersebar di seluruh alam semesta. Tanda-tanda atau “signs” yang dimaksud dalam ayat ini adalah segala bentuk ciptaan Allah yang terlihat dan yang tersembunyi, seperti alam semesta, ilmu pengetahuan, serta kehidupan itu sendiri. Pertanyaan "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" menjadi tanda untuk manusia agar merenungkan setiap fenomena yang ada sebagai manifestasi dari kebesaran dan kebenaran Tuhan yang harus diakui dan disyukuri.
Penjelasan Ulama Tafsir
At-Tabari dalam tafsirnya, Jami' al-Bayan, menjelaskan bahwa ayat ini mengandung makna pertanyaan retoris yang mengajak umat manusia untuk merenung mengenai nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh Allah. Ayat ini berbicara tentang berbagai nikmat yang dilimpahkan oleh Tuhan kepada umat manusia, baik yang bersifat materiil (seperti bumi, air, udara, dan segala yang ada di alam semesta) maupun yang bersifat non-materiil (seperti akal, ilmu, dan bimbingan-Nya). Setiap nikmat ini merupakan bukti dari kebesaran Tuhan yang patut disyukuri, dan dengan demikian umat manusia tidak seharusnya mendustakan atau meremehkan anugerah tersebut.
At-Tabari menekankan bahwa ayat ini adalah seruan untuk mengakui dan menghargai nikmat-nikmat Tuhan, dan bukan sekadar menilai atau mengabaikan berkah yang telah diberikan-Nya. Ayat ini juga menjadi peringatan agar manusia tidak terjebak dalam sikap kufur atau mengingkari segala karunia yang diberikan oleh Allah, melainkan menjadikannya sebagai sarana untuk memperbaiki hubungan dengan-Nya.
At-Tabarsi, dalam tafsirnya Al-Mizan, memberikan penekanan pada perspektif bahwa ayat ini menggambarkan keadaan di mana manusia tidak dapat menghitung atau mengingkari nikmat Tuhan yang tiada henti. Menurut At-Tabarsi, kalimat "Fabi ayyi alaa’i rabbikumaa tukadzdzibaan" mengajak manusia untuk merenung tentang berbagai nikmat yang telah Allah anugerahkan, baik yang tampak jelas di depan mata maupun yang tersembunyi. Ayat ini seakan menjadi peringatan yang berkelanjutan bahwa meskipun manusia terkadang menganggap nikmat-nikmat tersebut sebagai hal yang biasa, pada kenyataannya, segala yang ada adalah pemberian Tuhan yang sangat besar.
At-Tabarsi juga menunjukkan bahwa ayat ini tidak hanya berlaku pada umat manusia secara umum, tetapi juga berlaku bagi kaum jin, sebagaimana dalam konteks ayat yang lebih luas dalam surah Ar-Rahman yang berbicara tentang keberadaan jin dan manusia. Oleh karena itu, keduanya, jin dan manusia, diingatkan untuk tidak mendustakan nikmat-Nya, karena setiap nikmat yang ada menunjukkan kekuasaan dan rahmat Tuhan yang harus disyukuri.
Relevansi dengan Sains Modern dan Pendidikan
Relevansi ayat ini dengan sains modern dapat ditemukan dalam pemahaman bahwa alam semesta dan semua yang ada di dalamnya merupakan bukti kebesaran Sang Pencipta. Dalam sains, kita menemukan fenomena alam yang sangat kompleks, seperti hukum fisika yang mengatur gerakan planet-planet, ekosistem yang seimbang, serta tubuh manusia yang memiliki sistem yang luar biasa untuk menjaga kehidupan. Semua ini dapat dianggap sebagai nikmat yang patut disyukuri, yang mencerminkan kebesaran Tuhan. Ilmu pengetahuan itu sendiri adalah cara untuk lebih memahami bagaimana ciptaan Tuhan bekerja, sehingga memberikan rasa syukur dan penghargaan terhadap-Nya.
Dalam konteks pendidikan terkini, ayat ini mengajarkan pentingnya sikap penghargaan terhadap segala hal yang kita pelajari. Setiap pengetahuan baru adalah anugerah yang membuka wawasan, dan dengan memanfaatkannya secara bijaksana, kita dapat memberi manfaat bagi umat manusia. Pendidikan yang mengajarkan rasa syukur dan menghargai pengetahuan, serta mengaitkannya dengan nilai-nilai spiritual, menjadi sangat relevan dalam dunia yang semakin berkembang pesat dengan kemajuan teknologi dan informasi.
3. Riset Terkini (2022-2025) yang Relevan
Terdapat beberapa riset yang memiliki relevansi dengan kajian ini. Diantaranya penelitian Dr. Muhammad Fadly dan Dr. Ayesha Khan, "Exploring the Role of Environmental Awareness in Science Education: A Case Study in Islamic Education Systems". Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus di beberapa sekolah yang mengintegrasikan pendidikan lingkungan dengan kurikulum pendidikan agama. Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi kelas, dan analisis dokumen. Lebih lanjut, penelitian ini menemukan bahwa integrasi antara sains dan nilai-nilai agama dalam pendidikan menghasilkan pemahaman yang lebih holistik tentang alam semesta. Para siswa menjadi lebih sadar akan pentingnya menjaga lingkungan dan merasakan kedekatan dengan Sang Pencipta melalui pemahaman ilmiah yang diajarkan.
Dalam konteks Pendidikan, penelitian Dr. Siti Nur Aisyah dan Prof. Ismail Rahman berjudul: "The Role of Gratitude in the Development of Scientific Thinking in Students", sebuah penelitian eksperimental yang dilakukan di dua universitas di Indonesia, dengan menggunakan pre-test dan post-test untuk mengukur tingkat keterlibatan siswa dalam proses belajar sains setelah diajarkan tentang konsep rasa syukur berdasarkan ajaran agama. Penelitian ini menunjukkan bahwa siswa yang diajarkan nilai syukur, khususnya dalam konteks nikmat Tuhan yang diberikan melalui pengetahuan ilmiah, menunjukkan peningkatan dalam pemikiran kritis dan kreativitas. Mereka lebih mampu melihat hubungan antara sains dan spiritualitas.
Kedua penelitian tersebut menunjukkan relevansi yang sangat besar terhadap kehidupan modern. Di dunia yang semakin terhubung dengan teknologi dan ilmu pengetahuan, pendidikan yang menggabungkan nilai-nilai agama dan sains dapat membentuk individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga memiliki kesadaran spiritual. Dengan mengajarkan rasa syukur terhadap ilmu pengetahuan, kita mengajarkan siswa untuk tidak hanya mengejar pengetahuan untuk keuntungan pribadi, tetapi untuk melayani umat manusia dan memelihara ciptaan Tuhan. Pendidikan yang berbasis pada penghargaan terhadap nikmat Tuhan seperti yang terkandung dalam Surah Ar-Rahman dapat membentuk masyarakat yang lebih bijaksana, menghargai alam, dan bekerja bersama untuk kesejahteraan umat manusia.
0 komentar