Pertautan Konseptual
Surah Al-Qamar ayat 7 menggambarkan bagaimana orang-orang kafir merasa sangat takut dan terkejut menghadapi tanda-tanda kiamat yang sudah mulai tampak. Mereka berkata, "Apakah ini benar-benar hari yang dijanjikan?" Ayat ini mengandung perasaan terkejut dan penolakan dari orang-orang yang ingkar terhadap kenyataan hari kiamat. Kemudian, pada ayat 8, Allah menggambarkan bagaimana mereka bergegas menuju penyeru (malaikat atau pembawa wahyu) dengan penuh kecemasan, berkata, "Ini adalah hari yang sulit."
Pertaungan konseptual (tanasub) antara kedua ayat ini sangat jelas, yaitu penekanan pada reaksi emosional dan psikologis orang-orang kafir yang semakin intens seiring berjalannya waktu. Pada ayat 7, mereka meragukan kebenaran hari kiamat, namun pada ayat 8, ketakutan dan keputusasaan mereka meningkat saat mereka menyaksikan kenyataan yang tak dapat dihindari. Reaksi mereka berupa keputusasaan dan penolakan terhadap kenyataan itu menggambarkan betapa sulitnya menghadapi saat yang telah mereka ingkari selama ini.
Dalam konteks pendidikan dan sains modern, ayat-ayat ini dapat dilihat sebagai gambaran bagaimana manusia sering kali menanggapi kebenaran ilmiah yang mereka abaikan atau ingkari. Ketika fakta-fakta ilmiah yang jelas muncul, seperti dalam konteks perubahan iklim atau dampak negatif dari ketidakpedulian terhadap alam, manusia yang sebelumnya meragukan akan segera merasa cemas dan takut saat dampaknya semakin nyata. Ini mencerminkan kesulitan yang dihadapi oleh individu atau masyarakat yang tidak memperhatikan peringatan-peringatan ilmiah sebelumnya.
Tinjaun Kebahasaan
مُّهْطِعِيْنَ اِلَى الدَّاعِۗ يَقُوْلُ الْكٰفِرُوْنَ هٰذَا يَوْمٌ عَسِرٌ ٨
Terjemahnya: "Mereka bersegera datang kepada penyeru itu. Orang-orang kafir berkata, “Ini adalah hari yang sulit". (8)
Struktur ayat ini membangun sebuah alur narasi yang sangat jelas mengenai ketakutan dan keputusasaan. Kata "مُّهْطِعِيْنَ" (muhthi'īn) menunjukkan gerakan yang cepat dan terburu-buru, menggambarkan reaksi orang-orang kafir yang ingin segera datang menghadapi kenyataan. Kata "يَقُوْلُ" (yakūlū) menghubungkan apa yang mereka katakan, yakni pernyataan mereka yang penuh penyesalan dan ketakutan tentang hari yang sulit.
Kata "مُّهْطِعِيْنَ" menunjukkan ekspresi yang sangat dramatis dan kuat. Kata ini berasal dari akar kata "هَعْط" yang berarti berlari dengan sangat cepat, menciptakan gambaran visual yang tajam tentang bagaimana orang-orang kafir yang sebelumnya ragu kini terpaksa menghadapi kenyataan yang mereka hindari. Hal ini menunjukkan perubahan dari sikap meremehkan menjadi sikap pasrah dan ketakutan.
Dari segi semantik, ayat ini menunjukkan dua hal yang kontras. Pertama, "مُّهْطِعِيْنَ" menggambarkan kebingungan dan ketakutan yang sangat besar, yang berlawanan dengan sikap mereka sebelumnya yang meragukan kedatangan hari kiamat. Kedua, kata "يَوْمٌ عَسِرٌ" (hari yang sulit) menggambarkan betapa berat dan tak terhindarkan hari kiamat itu, yang menjadi hari penuh penderitaan bagi mereka yang ingkar.
Kata "مُّهْطِعِيْنَ" dapat dilihat sebagai simbol dari ketidaksiapan manusia dalam menghadapi kenyataan yang tidak bisa ditangguhkan. Sementara "يَوْمٌ عَسِرٌ" merupakan tanda dari kesulitan dan penderitaan yang menanti mereka, yang merupakan konsekuensi dari penolakan mereka terhadap peringatan dan kebenaran yang telah diajarkan kepada mereka. Sehingga, ayat ini menyampaikan makna simbolis tentang akibat dari penolakan terhadap kebenaran yang dihadirkan.
Penjelasan Ulama Tafsir
Sayyid Qutub dalam tafsir Fi Zilal al-Quran mengungkapkan bahwa ayat ini menggambarkan situasi yang mengguncang dan penuh kekhawatiran bagi orang-orang kafir pada Hari Kiamat. Dalam tafsirnya, ia menjelaskan bahwa "muhthi'in" (مُّهْطِعِيْنَ) menggambarkan orang-orang yang berlari dengan terburu-buru, seakan-akan mereka tidak sabar untuk menghadapi apa yang akan terjadi pada hari tersebut. Ayat ini menggambarkan keadaan yang sangat dramatis dan ketegangan mental yang dialami oleh orang-orang yang tidak beriman pada saat mereka menyaksikan kehancuran yang datang.
Menurut Qutub, "ilā al-da'ī" (إِلَى الدَّاعِ) dalam ayat ini merujuk pada panggilan yang diterima oleh orang-orang kafir, yaitu seruan untuk menyerah kepada Tuhan yang Maha Kuasa. Namun, mereka menyadari bahwa saat itu sudah terlambat, dan mereka tidak bisa menghindari kenyataan dari kedatangan hari yang sulit ini. Qutub menegaskan bahwa hari yang dimaksud adalah hari yang penuh dengan cobaan berat, penuh dengan siksaan dan penderitaan bagi orang-orang yang tidak taat.
Relevansi pemikiran Qutub dalam konteks pendidikan adalah bahwa setiap individu perlu disiapkan untuk menghadapi ujian kehidupan dengan mental yang kuat dan kesadaran spiritual. Pemahaman ini mengajarkan pentingnya kesiapan mental dalam menghadapi ujian hidup, yang sejalan dengan pendidikan karakter yang menekankan pentingnya moralitas dan kedewasaan dalam menghadapi tantangan hidup.
Az-Zamakhsyari dalam tafsir Al-Kashshaf memberikan penekanan pada kata "muhthi'in" (مُّهْطِعِيْنَ), yang berarti bergegas dengan tergesa-gesa atau terburu-buru. Menurutnya, kata ini menggambarkan orang-orang kafir yang tidak dapat menunda lagi proses menghadapi nasib mereka. Mereka berlarian mendekati "al-da'ī" (penyeru), yang merujuk pada seruan Tuhan atau pemimpin mereka yang menghukum. Az-Zamakhsyari memaknai ayat ini sebagai tanda kekalahan dan ketidakberdayaan mereka, di mana orang-orang kafir tersebut tidak dapat berbuat apa-apa lagi dan hanya bisa berlari menuju takdir yang sudah ditentukan.
Az-Zamakhsyari juga menekankan bahwa kalimat "yāumal 'asir" (يَوْمٌ عَسِرٌ) merujuk pada hari yang penuh dengan kesulitan dan penderitaan yang tiada tara. Dia menyoroti bahwa ini adalah penggambaran akan keadaan yang tak terhindarkan bagi orang-orang yang mendustakan kebenaran. Ayat ini mengajak umat manusia untuk memperhatikan konsekuensi dari setiap tindakan mereka di dunia, khususnya dalam konteks keimanan dan ketakwaan kepada Allah.
Pemikiran Az-Zamakhsyari ini mengajarkan kita untuk lebih memperhatikan konsekuensi dari pilihan hidup kita, terutama dalam hal akhlak dan keimanan. Dalam konteks pendidikan, ini relevan dengan pengajaran tentang sebab-akibat dan pentingnya mendidik individu agar membuat pilihan yang benar dalam hidup, menghindari tindakan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Relevansiny dengan Sains dan Pendidikan
Pemahaman terhadap ayat ini memiliki relevansi yang mendalam dengan perkembangan sains modern dan pendidikan terkini, terutama dalam konteks psikologi dan pengembangan karakter. Sayyid Qutub dan Az-Zamakhsyari keduanya menggambarkan keadaan orang-orang kafir yang tergesa-gesa dan penuh kecemasan pada hari kiamat. Konsep ini sejalan dengan teori psikologis yang mengkaji bagaimana individu bereaksi terhadap krisis atau ketegangan mental yang ekstrem. Misalnya, dalam psikologi modern, ada penelitian yang menunjukkan bagaimana individu menghadapi stres atau tekanan yang luar biasa, yang dapat mengakibatkan perasaan cemas atau ketidakberdayaan, mirip dengan gambaran dalam ayat ini.
Selain itu, dalam konteks pendidikan, pesan tentang kesiapan mental dan moral sangat relevan. Pendidikan karakter yang menekankan pentingnya kesiapan mental dan etika dalam menghadapi tantangan hidup, seperti yang tercermin dalam tafsir ini, bisa mengajarkan siswa untuk tidak hanya fokus pada prestasi akademik, tetapi juga untuk mempersiapkan diri mereka dalam menghadapi tantangan emosional dan spiritual.
Pendidikan juga dapat mengadaptasi ide ini dengan mengajarkan pentingnya pembuatan keputusan yang bijaksana dan menghindari tindakan yang bisa merugikan masa depan seseorang. Dalam dunia yang serba cepat ini, seringkali orang terjebak dalam keputusan impulsif yang dapat membawa mereka pada kesulitan di masa depan. Oleh karena itu, pendidikan yang mencakup aspek moral dan emosional sangat dibutuhkan untuk membangun generasi yang mampu menghadapi tantangan dengan tenang dan bijaksana.
Penelitian yang Relevan
Penelitian Muhammad H. S. Amin, 2023 berjudul “The Impact of Moral Education on Stress Management among Youth”. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan survei terhadap 500 siswa di berbagai sekolah menengah. Instrumen yang digunakan untuk mengukur tingkat stres dan kemampuan manajemen stres siswa adalah skala psikologis yang diadaptasi dari teori-teori psikologi modern. Selanjutnya, penelitian ini menemukan bahwa pendidikan moral dan karakter yang melibatkan pemahaman tentang keimanan dan etika dapat membantu siswa mengelola stres lebih baik, meningkatkan kesiapan mental mereka dalam menghadapi ujian hidup. Ini mengindikasikan bahwa pendidikan yang tidak hanya fokus pada ilmu pengetahuan akademis, tetapi juga pada pengembangan karakter, dapat mempengaruhi kemampuan individu dalam mengatasi tekanan hidup, mirip dengan konsep yang diajarkan dalam tafsir Sayyid Qutub dan Az-Zamakhsyari tentang menghadapi hari yang sulit dengan kesiapan mental.
Peneliti Aisyah T. Hakim, 2024, berjudul “Cognitive and Emotional Responses to Crisis: A Study on the Modern-Day Struggles of Youth”. Dari segi metode, penelitian kualitatif ini menggunakan wawancara mendalam dengan 30 remaja yang mengalami tekanan mental akibat berbagai faktor kehidupan, seperti sosial media, pendidikan, dan tekanan pekerjaan. Hasilnya menunjukkan bahwa remaja yang memiliki landasan moral dan etika yang kuat, serta pemahaman tentang tujuan hidup yang lebih besar, lebih mampu menghadapi tekanan dan krisis emosional. Mereka tidak hanya berlari terburu-buru seperti yang digambarkan dalam tafsir, tetapi dapat berpikir lebih tenang dan menemukan solusi jangka panjang dalam menghadapi masalah. Temuan ini mendukung pentingnya pendidikan yang mengintegrasikan nilai-nilai moral dan spiritual, seperti yang diajarkan dalam ayat ini, untuk membantu generasi muda dalam mengelola tantangan yang mereka hadapi dalam kehidupan modern.
0 komentar