BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. AL-QAMAR: 29

    Rabu, 19 Maret 2025

    Pertautan Konseptual

    Surah Al-Qamar ayat 28 dan 29 menggambarkan peristiwa yang terjadi pada kaum Tsamud, di mana mereka meminta kepada seorang yang disebut "kawannya" untuk menyembelih unta yang telah menjadi mukjizat. Ayat 28 menggambarkan mukjizat tersebut sebagai bukti dari kekuasaan Allah yang menurunkan unta sebagai ujian bagi kaum Tsamud. Ayat 29 melanjutkan dengan menjelaskan tindakan mereka, di mana kaum Tsamud menyakiti dan menyembelih unta itu.

    Dalam konteks pendidikan dan sains modern, ayat-ayat ini dapat dihubungkan dengan proses pembelajaran berbasis ujian dan konsekuensi. Mukjizat unta yang diberikan Allah kepada kaum Tsamud merupakan bentuk pengetahuan dan fenomena alam yang seharusnya dipahami dan dihargai. Namun, tindakan mereka yang menyembelih unta tersebut menggambarkan ketidakhargaan terhadap ilmu dan pengetahuan yang telah diberikan. Dalam pendidikan modern, ini dapat dilihat sebagai gambaran dari sikap yang tidak menghargai ilmu dan pemahaman yang seharusnya dimiliki oleh generasi penerus.

    Selain itu, dalam sains, alam dan fenomena yang terjadi di sekitar kita sering kali merupakan bukti dari kekuasaan Tuhan yang memerlukan pemahaman dan penghormatan. Sebagai manusia yang diberi kemampuan untuk berpikir, kita dituntut untuk tidak hanya mempelajari, tetapi juga menghargai setiap pengetahuan dan fenomena ilmiah yang ada, sebagaimana kita diingatkan untuk tidak menyalahgunakan pengetahuan tersebut, seperti yang dilakukan oleh kaum Tsamud.

    Analisis dari Aspek Kebahasaan

    فَنَادَوْا صَاحِبَهُمْ فَتَعَاطٰى فَعَقَرَ ۝٢٩

    Terjemahnya: "Mereka memanggil kawannya, lalu dia menangkap (unta itu) dan menyembelihnya"'.(29).

    Ayat ke-29 ini dimulai dengan kalimat imperatif "فَنَادَوْا" (mereka memanggil), yang menunjukkan suatu tindakan yang dilakukan oleh kaum Tsamud secara kolektif. Kata "صَاحِبَهُمْ" (kawannya) merujuk kepada seseorang yang memiliki peran dalam peristiwa tersebut, yakni yang diminta untuk menyembelih unta. Struktur kalimat ini mengarah pada aksi yang bersifat destruktif, di mana "فَتَعَاطٰى" (lalu dia menangkap) dan "فَعَقَرَ" (menyembelih) menggambarkan tindakan yang cepat dan tegas.

    Penggunaan kata "فَ" (fa) yang berturut-turut memperlihatkan hubungan sebab-akibat yang cepat dan langsung. "فَتَعَاطٰى" dan "فَعَقَرَ" menunjukkan kesinambungan tindakan yang dilakukan secara berturut-turut. Kata "عَقَرَ" (menyembelih) adalah kata yang kuat dan menggambarkan tindakan yang tidak hanya merusak tetapi juga menghancurkan potensi yang diberikan oleh Allah kepada kaum Tsamud. Dalam balagah, kalimat ini memperlihatkan kecepatan dan ketegasan dari tindakan yang menggambarkan sikap kaum Tsamud terhadap mukjizat.

    Kata "عَقَرَ" yang berarti "menyembelih" memiliki makna yang lebih dalam dari sekadar tindakan fisik. Kata ini menggambarkan tindakan yang merusak atau menghilangkan sesuatu yang sangat bernilai, yaitu unta yang merupakan mukjizat Allah. Dalam konteks ini, semantik ayat menunjukkan bagaimana kaum Tsamud merespons pemberian Allah dengan tindakan merusak, yang menandakan penolakan terhadap pesan ilahi yang disampaikan melalui mukjizat tersebut. Kata ini juga bisa dipahami sebagai simbol penghancuran potensi yang diberikan Allah dalam bentuk ilmu atau peringatan.

    Ayat ini dapat dipahami sebagai sebuah tanda atau simbol dari ketidaksadaran manusia terhadap pesan Tuhan. Unta yang diberikan sebagai mukjizat adalah tanda yang nyata dari kekuasaan Allah, namun kaum Tsamud, dengan menyembelih unta tersebut, menggambarkan pemahaman yang terdistorsi terhadap tanda tersebut. Semiotikanya terletak pada bagaimana suatu tanda (unta) yang seharusnya menjadi lambang kebenaran dan peringatan justru dihancurkan, menggambarkan ketidakpedulian dan penolakan terhadap wahyu yang disampaikan. Tindakan ini menjadi simbol dari pengingkaran terhadap bukti ilmiah dan spiritual yang diberikan oleh Tuhan.

    Penjelasan Ulama Tafsir

    At-Tabari dalam tafsirnya menjelaskan bahwa dalam ayat ini, peristiwa yang terjadi adalah peristiwa penyembelihan unta yang merupakan hukuman Allah terhadap kaum Tsamud yang menentang Nabi Saleh. Kata "فَتَعَاطٰى" (lalu dia menangkap) dijelaskan oleh At-Tabari sebagai tindakan yang dilakukan oleh orang yang ditugaskan untuk menangkap unta tersebut. Penyembelihan unta ini dilakukan dengan sengaja, sebagai bentuk penghinaan terhadap mukjizat yang diberikan kepada Nabi Saleh. At-Tabari menegaskan bahwa tindakan tersebut adalah bentuk kekufuran dan pengingkaran terhadap perintah Allah, karena unta itu adalah mukjizat dari Allah yang seharusnya dijaga dan dihormati.

    Dalam tafsirnya, At-Tabari menambahkan bahwa penyembelihan unta merupakan bukti dari ketidakpercayaan mereka terhadap tanda-tanda kekuasaan Allah, padahal Allah telah mengutus Nabi Saleh sebagai pemberi peringatan. At-Tabari juga mengaitkan tindakan ini dengan konsekuensi besar, yaitu penghancuran kaum Tsamud sebagai hukuman dari Allah atas perbuatan mereka. Ayat ini menunjukkan pentingnya mempertahankan dan menghormati mukjizat yang diberikan oleh Allah sebagai bukti dari kebenaran wahyu-Nya.

    At-Tabarsi dalam tafsir al-Mizan menekankan bahwa ayat ini menggambarkan kebrutalan dan keteguhan hati kaum Tsamud dalam menentang perintah Nabi Saleh. Kata "فَتَعَاطٰى" diartikan oleh At-Tabarsi sebagai tindakan penuh kesadisan, di mana mereka tidak hanya membunuh unta yang sudah menjadi mukjizat, tetapi juga membangkang terhadap peringatan yang diberikan. Penafsiran At-Tabarsi menyatakan bahwa perbuatan mereka ini merupakan puncak dari kesombongan dan kedurhakaan yang mereka lakukan setelah melihat mukjizat yang Allah kirimkan.

    At-Tabarsi juga menambahkan bahwa perbuatan tersebut menunjukkan betapa buruknya pengaruh kekufuran terhadap moralitas manusia, di mana pengingkaran terhadap wahyu bisa berujung pada tindakan destruktif yang melawan hukum-hukum Allah. Kejahatan yang mereka lakukan, menurut At-Tabarsi, mengarah pada konsekuensi yang besar, yaitu siksa Allah yang menimpa mereka setelah mereka menyembelih unta tersebut.

    Relevansi dengan Sains Modern dan Pendidikan 

    Sains modern dan pendidikan terkini dapat mengkaji relevansi peristiwa dalam Q.S. Al-Qamar ayat 29 ini dari berbagai perspektif. Secara ilmiah, penyembelihan unta yang merupakan sebuah bentuk kekerasan terhadap makhluk hidup dapat dipahami dalam konteks etika perilaku manusia terhadap hewan dan lingkungan. Dalam ilmu perilaku sosial, peristiwa ini menggambarkan bagaimana ketidakpercayaan dan kekufuran bisa menyebabkan seseorang atau kelompok bertindak melawan hukum alam dan merusak tatanan sosial. Penyembelihan unta dalam ayat ini dapat dianalogikan dengan fenomena kekerasan terhadap alam yang masih terjadi hingga saat ini, seperti perusakan habitat hewan dan kerusakan lingkungan.

    Pendidikan terkini juga menekankan pada pembentukan karakter dan pengajaran nilai-nilai moral, termasuk menghargai alam dan makhluk hidup lainnya. Dalam konteks ini, pendidikan agama dan etika bisa memainkan peran penting dalam membentuk pemahaman generasi muda mengenai pentingnya menjaga keseimbangan alam dan menghormati semua bentuk kehidupan. Tindakan yang dilakukan oleh kaum Tsamud dalam menyembelih unta bisa menjadi pelajaran bagi masyarakat modern mengenai betapa besar konsekuensi dari tindakan destruktif terhadap alam dan kehidupan.

    Riset Terkini  yang Relevan

    Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Muhammad Ali, 2023, "Pengaruh Etika Lingkungan dalam Pendidikan Agama terhadap Kesadaran Sosial Siswa". Penelitainnya merupakan penelitian kuantitatif dengan survei dan wawancara terhadap 500 siswa di beberapa sekolah menengah di Indonesia. Lebih lanjut, penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan agama yang mengintegrasikan nilai-nilai etika lingkungan mampu meningkatkan kesadaran sosial siswa terhadap pentingnya menjaga alam dan kehidupan. Temuan ini relevan dengan konsep menjaga alam yang ada dalam banyak ajaran agama, termasuk ajaran Islam yang menyebutkan pentingnya menghormati makhluk hidup dan lingkungan.

    Selain penelitian Ali, terdapat pula penelitian yang dilakukan oleh Dr. Linda Yunita, 2022, "Tantangan Pendidikan Moral dalam Menghadapi Globalisasi dan Perusakan Lingkungan" dengan menempuh analisis kualitatif dengan wawancara terhadap guru dan siswa di lima kota besar di Indonesia. Selanjutnya, penelitian ini menemukan bahwa tantangan terbesar dalam pendidikan moral di era globalisasi adalah bagaimana menyampaikan nilai-nilai etika yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Perusakan lingkungan dan penyalahgunaan sumber daya alam menjadi isu utama yang perlu disoroti dalam pendidikan moral, yang sejalan dengan ajaran agama untuk menjaga kehidupan dan lingkungan.

    Penelitian-penelitian ini relevan dengan peristiwa dalam Q.S. Al-Qamar ayat 29 karena keduanya menekankan pentingnya nilai-nilai moral dalam kehidupan manusia, terutama dalam menghadapi masalah lingkungan dan sosial. Seiring dengan berkembangnya teknologi dan perubahan sosial, pendidikan yang mengajarkan moralitas dan etika dalam konteks lingkungan semakin dibutuhkan. Seringkali, tindakan yang merusak lingkungan atau makhluk hidup terjadi karena kurangnya kesadaran dan pengaruh negatif dari ketidakpercayaan terhadap prinsip moral.