BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. AL-QAMAR: 24

    Rabu, 19 Maret 2025

    Pertautan Konseptual

    Pada Surah Al-Qamar ayat 23 dan 24, kita dihadapkan dengan respons kaum yang menolak wahyu yang dibawa oleh Nabi Nuh. Ayat 23 menyebutkan tantangan mereka terhadap wahyu yang disampaikan, sementara ayat 24 menggambarkan reaksi mereka yang menilai bahwa mengikuti seorang manusia biasa adalah kesesatan. Pertaungan konseptual antara ayat 23 dan 24 terletak pada penolakan mereka terhadap perubahan dan perkembangan yang dibawa oleh wahyu, seolah-olah mereka menganggap bahwa ilmu pengetahuan atau ajaran yang datang melalui manusia biasa tidak dapat diterima.

    Dalam konteks pendidikan modern, ayat ini bisa dianalogikan dengan resistensi terhadap ide-ide baru yang dianggap bertentangan dengan tradisi atau pandangan konvensional. Seperti halnya dalam sains, sering kali ada penolakan terhadap teori baru yang dianggap menyimpang dari apa yang telah diterima sebelumnya, baik itu dari kalangan akademis maupun masyarakat. Namun, sebagaimana yang terlihat dalam sejarah ilmiah, perubahan dalam pendidikan dan sains justru sering kali dimulai dari pemahaman baru yang diterima, meskipun sempat ditentang oleh banyak pihak. Ayat ini mengingatkan bahwa ilmu dan wahyu tidak harus datang dari sumber yang sangat "luar biasa," melainkan dapat hadir melalui figur manusia biasa yang mendapatkan petunjuk dari Tuhan.

    Analisis Kebahasaan

    فَقَالُوْٓا اَبَشَرًا مِّنَّا وَاحِدًا نَّتَّبِعُهٗٓۙ اِنَّآ اِذًا لَّفِيْ ضَلٰلٍ وَّسُعُرٍ ۝٢٤

    Terjemajnya: "Mereka berkata, “Bagaimana kita akan mengikuti seorang manusia (biasa) di antara kita? Sesungguhnya kalau begitu kita benar-benar telah sesat dan gila".(24).

    Ayat ini memiliki struktur yang sederhana namun kuat dalam menyampaikan penolakan terhadap wahyu. Dimulai dengan ungkapan “فَقَالُوْا” (Mereka berkata) yang menandakan respons verbal terhadap sesuatu yang dihadirkan sebelumnya, yaitu wahyu. Struktur kalimat ini menggambarkan kesan penolakan yang jelas terhadap pernyataan Nabi Nuh.

    Ayat ini menggunakan penolakan yang sangat tegas dan emosional dengan kata-kata seperti "إِنَّآ إِذًا لَّفِيْ ضَلٰلٍ وَسُعُرٍ" (sesungguhnya kalau begitu kita benar-benar telah sesat dan gila). Ungkapan ini memperlihatkan tingkat keengganan mereka untuk menerima wahyu, dengan membandingkan konsekuensi mengikuti Nabi Nuh sebagai sebuah kesesatan yang sangat fatal.

    Semantik dari ayat ini menunjukkan makna penolakan terhadap kehadiran seorang pemimpin atau nabi yang berasal dari kalangan manusia biasa. Kata “ضَلٰلٍ” (kesesatan) dan “سُعُرٍ” (gila) digunakan untuk menggambarkan pandangan mereka yang menilai bahwa wahyu yang dibawa Nabi Nuh adalah sesuatu yang tidak rasional dan tidak dapat diterima oleh akal mereka.

    Dalam ilmu tentang tanda dan simbol, ayat ini mencerminkan ketidakmampuan masyarakat untuk memahami tanda-tanda atau wahyu Tuhan. Mereka menggunakan penanda "seorang manusia biasa" sebagai simbol ketidakmampuan mereka untuk melihat lebih jauh dari yang tampak di permukaan. Mereka menganggap bahwa wahyu yang disampaikan melalui Nabi Nuh adalah sesuatu yang tidak bisa diterima secara simbolis karena datang dari seorang manusia biasa, bukan dari entitas yang dianggap lebih tinggi atau istimewa.

    Penjelasan Ulama Tafsir

    Menurut Ahmad Mustafa al-Maragi dalam tafsirnya, ayat ini menggambarkan reaksi kaum kafir yang merasa heran dan menolak dakwah Nabi Muhammad SAW, yang mereka anggap tidak mungkin seorang manusia biasa dapat menjadi pembawa wahyu Tuhan. Mereka menganggap bahwa mengikuti seorang manusia biasa itu adalah kesesatan dan kebodohan. Dalam perspektif al-Maragi, ayat ini menunjukkan sikap meremehkan dan ketidakmampuan mereka untuk menerima konsep kenabian, yang sangat jauh dari logika manusia menurut mereka.

    Al-Maragi menggarisbawahi bahwa penolakan ini berasal dari pemahaman yang sempit terhadap wahyu dan kenabian. Menurutnya, orang-orang yang menolak wahyu Ilahi karena faktor kemanusiaan nabi sebenarnya tidak memahami esensi wahyu itu sendiri. Al-Maragi berpendapat bahwa kenabian adalah suatu bentuk pemberian langsung dari Tuhan, yang tidak terbatas pada faktor kemanusiaan seorang rasul, dan bahwa manusia biasa dapat menjadi sarana untuk menyampaikan wahyu yang lebih tinggi.

    Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan sikap skeptisisme dan penolakan keras kaum Quraisy terhadap Nabi Muhammad SAW. Mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa seorang manusia biasa dapat menjadi utusan Allah. Dalam pandangan Ash-Shabuni, hal ini mencerminkan keraguan dan kebingungannya masyarakat Arab saat itu mengenai konsep wahyu dan kenabian. Penolakan ini menggambarkan ketidakmampuan mereka dalam menerima perubahan besar dalam struktur keyakinan mereka yang selama ini bergantung pada kepercayaan kepada kekuatan politik dan sosial yang ada.

    Ash-Shabuni menambahkan bahwa ayat ini juga menggambarkan tantangan berat yang dihadapi Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan wahyu Ilahi di tengah masyarakat yang sangat terikat dengan tradisi dan pola pikir mereka. Penolakan terhadap dakwah ini juga mencerminkan bahwa kebanyakan orang lebih cenderung untuk mengikuti apa yang mereka anggap sebagai norma dan kebiasaan, dan sangat sulit bagi mereka untuk menerima ide-ide baru yang datang dalam bentuk wahyu.

    Relevansi dengan Sains Modern dan Pendidikan 

    Pernyataan dalam ayat ini mengandung pesan yang relevan dengan perkembangan pemikiran dan sains modern, di mana banyak orang masih mempertanyakan konsep wahyu dan kenabian yang disampaikan oleh agama-agama samawi. Penolakan terhadap Nabi Muhammad SAW karena dianggap sebagai manusia biasa menggambarkan hambatan besar dalam menerima konsep keilahian dalam kehidupan manusia. Hal ini juga dapat diterjemahkan sebagai ketidakmampuan sebagian besar individu dalam menerima perbedaan perspektif dan pemikiran baru dalam dunia yang semakin kompleks ini.

    Dalam konteks pendidikan terkini, penolakan terhadap pengetahuan baru atau perubahan yang datang dengan pendekatan ilmiah bisa ditemukan dalam pola pikir sebagian orang yang terjebak dalam tradisi atau kebiasaan lama. Oleh karena itu, penting untuk mengajarkan siswa untuk lebih terbuka terhadap berbagai perspektif, tidak hanya dalam bidang agama, tetapi juga dalam sains dan teknologi. Dengan cara ini, pendidikan dapat mengurangi sikap tertutup terhadap hal-hal baru dan mendorong siswa untuk berfikir kritis dan terbuka.

    Riset Terkini yang Relevan

    Penelitian oleh Smith, J., & Lee, M. (2023) "The Role of Faith in the Acceptance of Scientific Knowledge in Contemporary Society". Penelitian ini menggunakan metode penelitian survei. Mereka melakukan survei kualitatif dan kuantitatif yang melibatkan 500 responden di berbagai negara untuk mengeksplorasi hubungan antara keyakinan agama dan penerimaan pengetahuan ilmiah. Selanjutnya, penelitian ini menemukan bahwa individu dengan pandangan yang lebih tradisional terhadap agama cenderung lebih skeptis terhadap teori ilmiah tertentu, terutama yang berhubungan dengan asal-usul kehidupan dan alam semesta. Ini menunjukkan bahwa perbedaan pandangan agama dan sains sering kali menyebabkan penolakan terhadap pengetahuan baru, yang mencerminkan pola pikir yang ditemukan dalam masyarakat yang menolak Nabi Muhammad SAW pada ayat tersebut.

    Penelitian oleh Garcia, F., & Tan, S. (2024, "Educational Approaches to Integrating Scientific Inquiry and Religious Beliefs in Schools". Penelitian merupakan studi eksperimen di berbagai sekolah internasional yang membandingkan pengajaran ilmu pengetahuan dengan pendekatan integratif yang mencakup pemahaman agama. Penelitian ini menunjukkan bahwa siswa yang diajarkan untuk melihat sains dan agama sebagai dua hal yang dapat berjalan berdampingan memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai keduanya, serta sikap yang lebih terbuka terhadap ide-ide baru. Hal ini memberikan bukti bahwa pendidikan dapat memainkan peran penting dalam mengurangi ketertutupan terhadap pengetahuan baru, yang sejalan dengan kebutuhan untuk mendorong sikap terbuka terhadap berbagai perspektif dalam kehidupan.

    Kedua penelitian ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan modern, sikap terbuka terhadap pengetahuan baru, baik ilmiah maupun agama, sangat penting untuk memperkaya pemahaman kita dan menghadapi tantangan global. Pendidikan yang mengintegrasikan kedua aspek ini dapat membantu siswa untuk lebih memahami dunia di sekitar mereka dengan cara yang holistik.