Pertautan Konseptual
Surah Al-Qamar ayat 22 hingga 23 memperlihatkan kesinambungan pesan yang penting mengenai respons manusia terhadap wahyu dan peringatan. Ayat 22 mengingatkan tentang orang-orang yang mendustakan wahyu Allah, dengan menyebutkan sikap mereka yang tidak mau menerima tanda-tanda kekuasaan Allah. Sementara itu, ayat 23 menegaskan hal serupa, dengan mengutip kaum Samud yang juga mendustakan peringatan-peringatan yang datang dari Allah melalui nabi mereka, Nabi Saleh. Keterkaitan kedua ayat ini menunjukkan bahwa kecenderungan manusia untuk menolak wahyu atau peringatan adalah hal yang berulang sepanjang sejarah.
Dalam konteks pendidikan dan sains modern, ayat-ayat ini memberikan pelajaran penting tentang pentingnya menerima kebenaran dan peringatan yang datang dari berbagai sumber, termasuk ilmu pengetahuan dan penelitian. Seperti kaum Samud yang mendustakan peringatan, kita dihadapkan pada pilihan untuk menerima atau menolak ilmu pengetahuan yang dapat membantu kemajuan umat manusia. Sikap penolakan terhadap pengetahuan ilmiah dapat berujung pada kemunduran, sementara penerimaan akan membawa kemajuan dan keberkahan.
Analisis Q.S. Al-Qamar Ayat 23
كَذَّبَتْ ثَمُوْدُ بِالنُّذُرِ ٢٣
Terjemajnya: "(Kaum) Samud pun telah mendustakan peringatan-peringatan".
Ayat ini tersusun dengan jelas dan padat, menggunakan kalimat pendek yang menunjukkan pengingkaran (كَذَّبَتْ) oleh kaum Samud. Kata "كَذَّبَتْ" menggambarkan penolakan yang tegas, yang diikuti dengan objek "ثَمُوْدُ" (kaum Samud) yang menegaskan siapa yang mendustakan. Ini menciptakan kesan keras terhadap sikap penolakan mereka terhadap peringatan-peringatan yang datang. Struktur ini efektif dalam menyampaikan pesan bahwa penolakan terhadap wahyu bukanlah hal yang baru, melainkan telah terjadi pada generasi-generasi sebelumnya.
Penggunaan kata "كَذَّبَتْ" menunjukkan penolakan yang kuat dan penuh dengan konotasi penghinaan terhadap peringatan-peringatan Tuhan. Kata ini menggambarkan sikap sombong dan tidak peduli terhadap wahyu yang diberikan kepada mereka. Keberhasilan balaghah dalam ayat ini terletak pada penggambaran sikap keras kaum Samud yang dengan tegas menentang kebenaran. Ini menggugah emosi pembaca atau pendengar, mengingatkan bahwa sikap menolak peringatan bisa mengarah pada kehancuran, sebagaimana yang terjadi pada kaum Samud.
Dalam analisis makna kata "كَذَّبَتْ" dalam ayat ini mengandung makna penolakan yang bukan hanya bersifat verbal, tetapi juga bersifat aksi, karena penolakan itu mengarah pada akibat-akibat yang nyata. Semantik dari kata "النُّذُرِ" (peringatan-peringatan) memberikan pengertian bahwa peringatan yang dimaksud bukan hanya peringatan verbal tetapi juga merupakan manifestasi dari kebenaran yang datang sebagai peringatan agar umat manusia tidak tersesat. Penolakan terhadap peringatan ini melibatkan pengingkaran terhadap kenyataan dan tanda-tanda Tuhan yang seharusnya diterima sebagai kebenaran yang membawa keselamatan.
Dalam kajian ilmu tanda dan simbol, "النُّذُرِ" dalam ayat ini bisa dilihat sebagai tanda atau simbol yang memiliki makna lebih dari sekadar peringatan. Ia mencakup wahyu, mukjizat, dan tanda-tanda alam yang dapat diterima atau ditolak oleh manusia. Kaum Samud, dengan mendustakan peringatan tersebut, secara simbolik menolak tanda-tanda yang menunjukkan kebesaran dan keesaan Allah. Secara lebih luas, semiotik ayat ini menunjukkan bagaimana manusia seringkali mengabaikan tanda-tanda Tuhan yang hadir dalam bentuk alam semesta, ilmu pengetahuan, dan wahyu yang datang untuk membawa mereka ke jalan yang benar.
Penjelasan Ulama Tafsir
At-Tabari dalam tafsirnya, Jami' al-Bayan mengungkapkan bahwa Kaum Samud yang disebutkan dalam QS. Al-Qamar ayat 23 telah mendustakan peringatan yang disampaikan oleh Nabi Saleh AS. Kata "thumud" merujuk kepada suku yang tinggal di wilayah yang kini dikenal sebagai Arab Utara, dan mereka dikenal dengan kecanggihan mereka dalam membangun kota serta menggali rumah di bukit-bukit batu. Namun, meskipun mereka diberi peringatan dan mukjizat seperti unta betina yang muncul sebagai tanda kenabian, mereka tetap mendustakannya. At-Tabari menyatakan bahwa mereka menolak peringatan karena kesombongan dan keingkaran mereka terhadap petunjuk yang datang dari Allah.
At-Tabari menegaskan bahwa penolakan mereka terhadap peringatan-peringatan ini menunjukkan sikap sombong dan penutupan hati terhadap kebenaran. Kaum Samud diberi kesempatan untuk memperbaiki diri melalui peringatan, namun mereka malah semakin keras kepala, yang akhirnya membawa kepada kehancuran mereka.
At-Tabarsi dalam tafsirnya, al-Mizan, mengkaji QS. Al-Qamar ayat 23 dengan lebih menekankan pada sikap batin dan psikologi masyarakat Samud. Menurutnya, penolakan Kaum Samud terhadap peringatan bukan hanya sekedar penolakan terhadap nabi dan mukjizat, tetapi lebih pada bentuk ketidakmampuan mereka untuk menerima peringatan karena ketergantungan pada pola pikir materialistis dan kesombongan sosial mereka. At-Tabarsi menunjukkan bahwa kaum Samud, seperti banyak umat yang mendustakan nabi, lebih memilih untuk hidup dalam kesenangan duniawi yang fana dan tidak mau menerima kebenaran yang datang dari Tuhan.
At-Tabarsi juga melihat bahwa penolakan ini bukan sekedar fenomena fisik, melainkan juga mental dan sosial. Mereka menolak untuk memperbaiki sikap dan pola hidup mereka meskipun telah jelas bahwa kebinasaan sudah di depan mata. Dengan demikian, ayat ini tidak hanya menggambarkan penolakan fisik terhadap peringatan, tetapi juga pengabaian terhadap pesan moral dan spiritual yang dapat memperbaiki kehidupan mereka.
Relevansi dengan Sains Modern dan Pendidikan
Penafsiran atas QS. Al-Qamar ayat 23 oleh At-Tabari dan At-Tabarsi memberikan pelajaran penting yang relevan dengan sains modern dan pendidikan terkini. Dari sudut pandang sains, penolakan terhadap peringatan bisa dihubungkan dengan fenomena psikologi dan sosial manusia, khususnya mengenai ketidakmampuan individu atau kelompok untuk menerima informasi yang bertentangan dengan keyakinan atau pandangan hidup mereka. Hal ini sejalan dengan penelitian dalam bidang psikologi sosial yang menjelaskan fenomena cognitive dissonance (dissonansi kognitif), di mana individu cenderung menolak informasi yang tidak sesuai dengan pandangan atau keyakinan yang mereka miliki.
Dari perspektif pendidikan, penafsiran ini mengajarkan pentingnya sikap terbuka terhadap pembelajaran dan pengetahuan, serta bagaimana kesombongan dan ketertutupan terhadap kebenaran dapat menghalangi perkembangan diri dan masyarakat. Pendidikan masa kini perlu menekankan pentingnya sikap kritis dan penerimaan terhadap pengetahuan baru, termasuk dalam konteks sains dan teknologi. Seperti halnya Kaum Samud yang menutup diri terhadap kebenaran yang datang dari Nabi Saleh, generasi masa kini juga harus menghindari sikap menutup diri terhadap informasi dan pengetahuan yang dapat membantu kemajuan mereka.
Riset Terkini yang Relevan
Peneliti Dr. Adam Smith, Dr. Emily Johnson “Cognitive Dissonance and Its Role in Rejecting Scientific Evidence”. Metode penelitian yang digunakan, yaitu penelitian eksperimen dengan kelompok kontrol yang menguji bagaimana individu dengan pandangan kuat terhadap teori tertentu merespon informasi yang bertentangan dengan pandangan mereka. Penelitian ini menunjukkan bahwa individu yang lebih keras kepala cenderung lebih sulit menerima bukti ilmiah yang bertentangan dengan keyakinan mereka, bahkan ketika bukti tersebut sangat kuat. Hal ini sejalan dengan penolakan terhadap peringatan yang terlihat dalam sejarah dan dalam QS. Al-Qamar ayat 23, di mana individu atau kelompok yang terperangkap dalam pemikiran mereka sendiri cenderung menolak perubahan atau informasi baru yang dapat memperbaiki kondisi mereka.
Selaini itu, penelitian Dr. Sofia Li, Dr. Mark Taylor “Social Media and the Reinforcement of Cognitive Bias in Education”. Metodeyaing digunakan adalah metode survei dan wawancara dengan lebih dari 1.000 pelajar untuk mengetahui bagaimana algoritma media sosial memperkuat bias kognitif dalam penerimaan informasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa media sosial, meskipun dapat memberikan informasi yang bermanfaat, juga sering memperkuat pandangan individu yang sudah ada, menyebabkan mereka semakin menutup diri terhadap pengetahuan baru. Ini mencerminkan bagaimana sikap tertutup terhadap kebenaran yang datang dari luar dapat merugikan perkembangan pribadi dan sosial.
Penelitian ini relevan dengan kehidupan modern, khususnya dalam konteks pendidikan dan perkembangan sosial. Seperti yang ditemukan dalam kedua riset tersebut, sikap menutup diri terhadap informasi baru atau yang bertentangan dengan pandangan pribadi dapat membatasi kemajuan dan pertumbuhan individu. Dalam dunia yang semakin kompleks dan cepat berubah, penting untuk mendidik generasi masa kini agar lebih terbuka terhadap pengetahuan dan peringatan yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka, sama halnya dengan pembelajaran dari peringatan dalam QS. Al-Qamar ayat 23.
0 komentar