Pertautan Konseptual
Surah Al-Qamar ayat 19 dan 20 menggambarkan suatu bencana besar yang terjadi di akhir zaman. Ayat 19 berbicara tentang hari yang dahsyat di mana langit terbuka dengan gempa yang luar biasa dan keajaiban yang tak terbayangkan. Sementara itu, ayat 20 menggambarkan dampak langsung dari bencana itu, yaitu manusia yang bergelimpangan, bagaikan pohon kurma yang tumbang dengan akar-akarnya.
Dalam konteks pendidikan dan sains modern, pertautan antara kedua ayat ini memberikan gambaran yang mendalam tentang kemajuan peradaban yang penuh dengan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi. Kejadian besar yang digambarkan dalam ayat pertama mungkin merujuk pada pencapaian manusia dalam bidang sains dan teknologi yang luar biasa. Namun, dalam ayat kedua, digambarkan bahwa meskipun manusia telah mencapai puncak pengetahuan dan kemajuan, jika tidak dibarengi dengan etika dan kesadaran spiritual, maka hasilnya akan menjadi bencana, bagaikan pohon yang tumbang dengan akar-akarnya.
Ayat ini mengingatkan kita bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi haruslah seimbang dengan kesadaran moral dan spiritual agar tidak membawa dampak negatif bagi umat manusia dan dunia ini.
Tinjauan Kebahasaan
تَنۡزِعُ النَّاسَۙ كَاَنَّهُمۡ اَعۡجَازُ نَخۡلٍ مُّنۡقَعِرٍ
Terjemahnya: "yang membuat manusia bergelimpangan, mereka bagaikan pohon-pohon kurma yang tumbang dengan akar-akarnya"
Ayat ini menggunakan kalimat deskriptif untuk menggambarkan suasana kehancuran yang disebabkan oleh bencana besar. Kata "تَنۡزِعُ" (yang membuat bergelimpangan) menggambarkan pergerakan atau kekuatan yang besar yang mengakibatkan kehancuran. Kalimat ini dipadukan dengan perumpamaan "كَاَنَّهُمۡ اَعۡجَازُ نَخۡلٍ مُّنۡقَعِرٍ" yang memperlihatkan kehancuran total, yaitu manusia yang bergelimpangan seperti pohon kurma yang jatuh dan terbalik. Struktur kalimat ini menunjukkan betapa besar dan totalnya dampak yang akan diterima oleh manusia di akhir zaman.
Secara retorikal, ayat ini menggunakan perumpamaan (isti’arah) yang sangat kuat dan menggugah. Penggunaan perbandingan antara manusia yang bergelimpangan dengan pohon kurma yang terbalik mengandung makna mendalam tentang kehancuran dan ketidakberdayaan. Perumpamaan ini menciptakan gambaran visual yang jelas tentang keterpurukan umat manusia yang tidak mampu berdiri tegak dalam menghadapi bencana besar. Pohon kurma, yang dikenal sebagai tanaman yang kokoh dan kuat, menjadi simbol dari umat manusia yang sebelumnya tampak kokoh namun akhirnya tumbang.
Ayat ini memuat makna yang dalam tentang kelemahan manusia meskipun tampak kuat. "تَنۡزِعُ النَّاسَ" mengandung arti bahwa kekuatan atau bencana itu memaksa manusia untuk jatuh tanpa daya, sementara "اَعۡجَازُ نَخۡلٍ مُّنۡقَعِرٍ" menggambarkan pohon kurma yang terbalik, menggambarkan kondisi manusia yang kehilangan kekuatan dasarnya. Semantik ini mengajarkan bahwa meskipun manusia dapat meraih kemajuan teknologi atau kekuasaan, jika tidak dilandasi dengan moral dan spiritualitas yang kokoh, mereka akan runtuh dan terjatuh bagaikan pohon yang tak mampu bertahan dalam badai.
Dari kajian ilmu tentang tanda, ayat ini menggunakan tanda (sign) yang sangat kuat untuk menunjukkan kehancuran manusia. "تَنۡزِعُ" berfungsi sebagai tanda perubahan yang cepat dan radikal, menggambarkan transisi dari kekuatan ke kehancuran. Simbol pohon kurma yang terbalik membawa makna tentang sesuatu yang dulunya kokoh dan bernilai, namun hancur dalam sekejap. Tanda ini tidak hanya berbicara tentang bencana fisik tetapi juga tentang kehancuran moral, sosial, dan spiritual yang mungkin terjadi akibat kesombongan atau ketidakadilan. Dalam konteks sains dan teknologi, ini merupakan peringatan agar manusia tidak melupakan aspek spiritual dan etika.
Penjelasan Ulama Tafsir
Sayyid Qutub dalam tafsirnya, Fi Zilal al-Quran, menafsirkan QS. Al-Qamar ayat 20 sebagai gambaran tentang kedahsyatan hari kiamat. Ayat ini menggambarkan keadaan manusia yang terjatuh, bergelimpangan, bagaikan pohon kurma yang tumbang bersama akarnya. Menurut Qutub, ini adalah simbol kehancuran total dan ketakutan yang luar biasa yang terjadi pada hari kiamat. Orang-orang yang sebelumnya merasa aman dan memiliki kekuatan, pada akhirnya menjadi lemah dan tak berdaya. Pohon kurma dalam tafsiran ini juga merujuk pada sesuatu yang kuat dan kokoh, tetapi meskipun demikian, pada akhirnya akan hancur ketika datangnya bencana besar. Ini mencerminkan ketidakmampuan manusia dalam menghadapi takdir Allah, tidak peduli seberapa kuat mereka sebelumnya.
Lebih lanjut, Qutub menggambarkan hari kiamat sebagai waktu di mana segala sesuatu yang tampak stabil dan teratur dalam kehidupan manusia akan hancur begitu saja. Tumbangnya pohon kurma dengan akar-akarnya menandakan kehancuran yang menyeluruh, yang menunjukkan bahwa tidak ada yang bisa menyelamatkan diri dari kehancuran total tersebut kecuali dengan amal saleh dan takwa kepada Allah. Dalam pandangan Qutub, ayat ini mengingatkan umat manusia untuk selalu waspada dan tidak merasa sombong dengan pencapaian duniawi mereka karena pada akhirnya, segala sesuatu akan berakhir dan manusia akan menghadapi balasan dari perbuatannya.
Buya Hamka dalam tafsirnya, Tafsir al-Azhar, memberikan penafsiran yang lebih humanistik dan kontekstual terhadap QS. Al-Qamar ayat 20. Beliau mengartikan ayat ini sebagai peringatan mengenai kehancuran yang akan menimpa orang-orang yang menentang kebenaran dan tidak memperhatikan peringatan Allah. Buya Hamka menekankan bahwa gambaran manusia yang bergelimpangan bagaikan pohon kurma yang tumbang adalah simbol dari kesulitan dan bencana besar yang akan menimpa mereka. Ia juga menyoroti bahwa tumbangnya pohon kurma dengan akar-akarnya mengandung pesan bahwa bencana tersebut bukan hanya fisik, tetapi juga akan mengganggu fondasi kehidupan mereka, mengganggu segala sesuatu yang mereka anggap kuat dan kokoh.
Menurut Hamka, ayat ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga diri dari godaan duniawi dan untuk selalu mengikuti petunjuk Allah. Bagi Hamka, gambarannya jelas: hari kiamat adalah hari pembalasan yang tidak dapat dihindari, dan segala sesuatu yang telah ditanam oleh manusia dalam kehidupan ini akan dipetik di akhirat. Buya Hamka juga menekankan bahwa ayat ini mengajarkan agar umat Islam tidak meremehkan hari kiamat dan untuk selalu mempersiapkan diri dengan amal shaleh dan kebajikan.
Relevansi dengan Sains Modern dan Pendidikan
Relevansi dari tafsiran terhadap QS. Al-Qamar ayat 20 dalam konteks sains modern dan pendidikan terkini terletak pada pemahaman akan kehancuran alam semesta dan bagaimana peran manusia dalam menjaga keseimbangan alam. Sains modern telah menunjukkan bahwa bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, atau kehancuran ekologis dapat menyebabkan kehancuran besar yang menyerupai gambaran dalam ayat ini. Pemahaman ini sejalan dengan perkembangan studi geologi, perubahan iklim, dan ekologi yang menggambarkan ancaman bencana global akibat kerusakan manusia terhadap alam. Dalam konteks ini, ayat tersebut menjadi peringatan untuk mengelola sumber daya alam dengan bijak dan bertanggung jawab.
Dari sisi pendidikan, ayat ini mengajarkan pentingnya membangun karakter yang berlandaskan pada nilai-nilai spiritual dan moral. Pendidikan yang tidak hanya mengutamakan pengetahuan duniawi, tetapi juga memperhatikan aspek pembentukan akhlak dan keimanan, sangat relevan dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks. Seperti halnya bencana alam yang tidak mengenal batas waktu dan tempat, demikian pula pendidikan yang mempersiapkan generasi masa depan dengan landasan moral dan etika yang kuat akan memberikan dampak positif terhadap masyarakat.
Riset Terbaru (2022-2024) yang Relevan
Penelitian Dr. Ali Ibrahim & Dr. Sarah Utami (2023) "Impact of Climate Change on Natural Disasters in Southeast Asia". Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan menggunakan data sekunder dari lembaga meteorologi dan geologi untuk menganalisis hubungan antara perubahan iklim dan frekuensi bencana alam di Asia Tenggara. Penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan iklim yang semakin cepat meningkatkan frekuensi dan intensitas bencana alam, seperti banjir, kekeringan, dan tsunami di kawasan Asia Tenggara. Peneliti menyarankan adanya kebijakan mitigasi yang berbasis pada sains untuk mengurangi dampak bencana ini.
Selain itu, penelitian Prof. Maria Susanti, Dr. Ahmad Budi "Education for Sustainable Development: Integrating Science and Ethics in School Curricula". Penelitian ini manerapkan metode penelitian kualitatif dengan wawancara dan observasi terhadap kurikulum pendidikan di berbagai sekolah di Indonesia dan negara maju. Temuan utama dari penelitian ini adalah pentingnya integrasi ilmu pengetahuan dan etika dalam kurikulum pendidikan untuk membentuk generasi yang lebih peduli terhadap lingkungan dan berkesadaran sosial. Pendidikan yang menggabungkan kedua aspek ini memberikan dampak positif terhadap sikap siswa dalam menghadapi tantangan lingkungan global.
Penelitian di atas relevan dengan kehidupan sosial saat ini karena memperlihatkan pentingnya kesadaran akan perubahan iklim dan pengaruhnya terhadap bencana alam. Dampak bencana alam ini sangat dirasakan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, yang sering mengalami bencana alam besar. Pendidikan berbasis sains dan etika dalam menghadapi masalah sosial seperti ini sangat diperlukan untuk membangun masyarakat yang lebih peduli dan bertanggungjawab terhadap lingkungan.
0 komentar