BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. AL-QAMAR: 10

    Selasa, 18 Maret 2025

    Pertautan Konseptual

    Surah Al-Qamar ayat 9 menyebutkan:

    وَجَآءَ اَمْرُنَا وَفَارَتِ التَّنُّوْرُ ۚ قُلْنَا احْمِلْ فِيْهَا مِنْ كُلٍّ زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ وَأَهْلَكَ اِلَّا مَنْ سَبَقَ عَلَيْهِ الْقَوْلُ وَمَنْ آمَنَ ۚ وَمَا آمَنَ مَعَهُ اِلَّا قَلِيلٌ

    Terjemahannya: "Dan telah datang keputusan Kami, dan (kami perintahkan) agar air meluap dari tungku. Kami berfirman, 'Naiklah ke dalam bahtera itu, dan bawa serta pasangan-pasangan dari tiap-tiap jenis serta keluarga kamu, kecuali orang yang telah ditetapkan (takdirnya) untuk binasa, dan orang-orang yang beriman.' Dan tidak beriman bersamanya kecuali sedikit."

    Ayat ini menceritakan tentang datangnya perintah Tuhan untuk Nabi Nuh AS agar menyelamatkan diri beserta pengikut yang beriman dalam sebuah bahtera. Ayat sebelumnya menegaskan situasi penuh bencana, namun Nabi Nuh AS tetap berusaha menyelamatkan umatnya. Ayat 10 lalu melanjutkan dengan doa Nabi Nuh: "Sesungguhnya aku telah dikalahkan, maka tolonglah."

    Secara konseptual, antara ayat 9 dan 10 terdapat hubungan erat dalam menggambarkan kondisi krisis yang dihadapi oleh Nabi Nuh. Ayat 9 menggambarkan ketetapan Allah tentang perintah keselamatan, sementara ayat 10 melanjutkan dengan respons Nabi Nuh yang merasa kekalahannya akibat penolakan umatnya. Dalam konteks pendidikan modern, ini bisa diartikan sebagai perjuangan seorang pendidik yang menghadapi tantangan besar dalam mengubah paradigma atau menyelamatkan individu dari kebodohan. Doa Nabi Nuh dapat dilihat sebagai refleksi pentingnya sikap tawakkal dan usaha dalam pendidikan meskipun menghadapi banyak rintangan.

    Tinjauan Kebahasaan

    Ayat ini terdiri dari dua bagian utama: pengaduan Nabi Nuh dan permohonan pertolongan kepada Tuhan. Kalimat "فَدَعَا رَبَّهُ" menunjukkan bentuk doa atau keluhan yang tulus, menggambarkan kerendahan hati dan ketergantungan seorang hamba kepada Tuhan. Kalimat selanjutnya, "أَنِّي مَغْلُوْبٌ فَانْتَصِرْ", mengandung makna seruan seorang hamba yang merasa terjepit oleh situasi dan membutuhkan pertolongan Ilahi. Struktur ayat ini menegaskan kebutuhan akan penyelamatan melalui doa dan sikap tawakkal, yang merupakan suatu karakteristik dari umat yang sedang diuji.

    Penggunaan kata "مَغْلُوْبٌ" (terkalahkan) mengandung makna mendalam. Kata ini menunjukkan posisi Nabi Nuh yang tidak hanya kalah dalam konteks fisik, tetapi juga dalam aspek psikologis dan emosional. "فَانْتَصِرْ" (maka tolonglah) adalah bentuk permintaan yang menunjukkan harapan penuh kepada Allah sebagai sumber pertolongan. Struktur kalimat ini memberikan efek oratoris yang kuat, menekankan pentingnya ketundukan dan penyerahan diri kepada Tuhan dalam menghadapi ujian yang sulit. Ini menggambarkan bagaimana seorang pemimpin atau pendidik harus menghadapi kesulitan dengan iman dan doa.

    Ayat ini menyampaikan pesan tentang ketergantungan total kepada Tuhan dalam menghadapi tantangan hidup. Kata "مَغْلُوْبٌ" menggambarkan kondisi yang tidak dapat ditanggulangi dengan kekuatan manusia biasa. Ini menggambarkan bahwa usaha manusia pun memiliki keterbatasan, dan hanya pertolongan Ilahi yang dapat mengatasi segala permasalahan. "فَانْتَصِرْ" adalah permintaan untuk pertolongan yang hanya dapat diberikan oleh Tuhan yang Maha Kuasa. Dalam konteks pendidikan, ini mengingatkan bahwa dalam menghadapi krisis dalam pendidikan atau perkembangan manusia, seorang pendidik atau pemimpin harus tetap mengandalkan kekuatan dan pertolongan Tuhan.

    Dari sudut pandang logika, ayat ini menunjukkan hubungan sebab-akibat yang jelas: Ketika seseorang merasa terpuruk, maka jalan keluarnya adalah dengan doa dan permohonan kepada Tuhan. "مَغْلُوْبٌ" sebagai premis yang menggambarkan keadaan kesulitan, dan "فَانْتَصِرْ" adalah kesimpulan yang merujuk pada solusi ilahi. Secara semiotik, ayat ini menggunakan tanda "مَغْلُوْبٌ" (terkalahkan) untuk menyimbolkan keadaan yang penuh tekanan, yang kemudian diterjemahkan menjadi permohonan pertolongan. Dalam konteks pendidikan, ini bisa dipahami sebagai simbol dari kondisi keterbatasan yang dapat diatasi melalui penyerahan diri kepada Tuhan dalam menghadapi kesulitan.

    Penjelasan Ulama Tafsir

    Al-Qurtubi, dalam tafsirnya, memaknai ayat ini sebagai ungkapan kesulitan dan penderitaan yang dialami oleh Nabi Nuh akibat penolakan kaumnya yang keras. Dalam konteks ayat ini, Nuh merasa bahwa dirinya telah "dikalahkan" dalam usaha dakwahnya. Kalah di sini bukan berarti kalah dalam arti fisik atau kekalahan dalam peperangan, tetapi kalah dalam hal dakwah yang tidak kunjung membuahkan hasil. Selama berabad-abad berdakwah, Nuh hanya mendapatkan sedikit pengikut, dan ia menghadapi penentangan yang sangat keras dari kaumnya.

    Al-Qurtubi menjelaskan bahwa Nuh mengadu kepada Allah karena merasa putus asa dari usaha dakwah yang sia-sia. Beliau meminta pertolongan dan kemenangan dari Allah karena merasa tidak mampu lagi menghadapinya sendiri. Ini menggambarkan bagaimana seorang nabi yang sedang berjuang keras dalam mengemban tugas dakwah dan merasakan kesulitan dalam menghadapi kaumnya yang membangkang. Al-Qurtubi juga menekankan bahwa kesulitan yang dihadapi Nabi Nuh bukanlah karena kelemahan iman atau ketidakmampuan beliau, melainkan karena pengingkaran dari kaumnya yang membandel.

    Sayyid Qutb, dalam tafsirnya, memberikan pandangan yang lebih berfokus pada makna psikologis dan spiritual dari ayat ini. Bagi Qutb, ayat ini mencerminkan momen di mana Nabi Nuh merasa sangat terpuruk dan kehilangan segala daya dalam mengatasi penolakan kaumnya. Nabi Nuh mengadu kepada Allah, mengungkapkan bahwa dirinya telah "dikalahkan," yang menurut Qutb bukanlah kekalahan dalam bentuk fisik, melainkan kekalahan dalam hal yang lebih dalam, yakni kegagalan dalam merubah hati dan pikiran kaumnya. Qutb memaknai "dikalahkan" sebagai ungkapan kekecewaan total dalam menghadapi kerasnya perlawanan terhadap dakwah.

    Qutb juga menyoroti bahwa ayat ini mengandung pelajaran penting tentang ketergantungan pada Allah. Nuh, meskipun seorang nabi yang memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah, tetap merasa membutuhkan pertolongan-Nya dalam menghadapi ujian yang sangat besar. Ini menunjukkan bahwa meskipun seorang hamba telah berusaha semaksimal mungkin, ia tetap harus mengandalkan kekuatan Allah dalam setiap usaha yang dilakukan. Bagi Sayyid Qutb, ini menjadi bukti bahwa manusia, dalam segala usaha dan perjuangannya, tetap harus menyandarkan segala harapan dan pertolongan kepada Allah.

    Relevansi dengan Sains Modern dan Pendidikan 

    Ayat ini mengandung pelajaran yang dapat diparalelkan dengan pendekatan modern dalam psikologi dan pendidikan. Dari sisi sains psikologi, rasa frustasi yang dialami oleh Nabi Nuh, yang mengungkapkan "aku telah dikalahkan," dapat dilihat sebagai bentuk dari stres dan keputusasaan yang sering dialami oleh individu dalam menghadapi tantangan yang sangat besar. Menurut psikologi modern, pengakuan akan keterbatasan diri dalam menghadapi masalah adalah langkah penting dalam pemulihan mental. Ini menunjukkan pentingnya dukungan eksternal atau bantuan dari pihak lain—dalam hal ini Allah—untuk mengatasi beban yang dirasakan.

    Di dunia pendidikan, hal ini dapat dikaitkan dengan bagaimana seorang pendidik atau pelajar, meskipun telah berusaha keras dalam pencapaian tujuan tertentu, tetap membutuhkan dukungan dan bantuan dari luar, baik itu dari sesama manusia maupun kekuatan yang lebih tinggi. Pendekatan berbasis keterbukaan untuk meminta pertolongan dan mengakui keterbatasan diri penting dalam proses belajar yang berkelanjutan.

    Pendidikan saat ini mengedepankan pengembangan sosial-emosional, di mana pengakuan terhadap kesulitan pribadi dan keterbatasan diri dianggap sebagai hal yang sehat. Dalam konteks ini, ayat ini mengajarkan pentingnya ketergantungan pada Allah dan pentingnya mencari pertolongan dalam menghadapi tantangan besar—sebuah pelajaran yang sangat relevan dalam pendidikan karakter dan pengembangan diri di era modern.

    Riset yang Relevan dengan QS. Al-Qamar Ayat 10  

    Pertama, penelitian oleh Dr. Siti Nurhayati, "Stres dan Ketahanan Mental pada Pengajar Pendidikan Islam: Perspektif Psikologi Sosial" (2023). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam dan observasi terhadap 50 pengajar pendidikan Islam di berbagai sekolah di Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa banyak pengajar yang merasa tertekan dan stres akibat tantangan dalam mengajar, khususnya dalam lingkungan yang penuh dengan tantangan sosial dan budaya. Salah satu temuan utama adalah bahwa pengajar yang mengandalkan dukungan eksternal (seperti rekan kerja dan Allah) memiliki ketahanan mental yang lebih baik dalam menghadapi tekanan. Hal ini menggarisbawahi pentingnya pencarian pertolongan dan dukungan dalam mengatasi tantangan, seperti yang dijelaskan dalam QS. Al-Qamar ayat 10.

    Kedua, penelitian oleh Dr. Ahmad Fadli, "Mental Resilience in Facing Educational Setbacks: A Study of Indonesian Students" (2024). Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan survei terhadap 300 siswa di berbagai sekolah di Indonesia, untuk mengukur ketahanan mental dalam menghadapi kegagalan akademik. Penelitian ini menemukan bahwa siswa yang memiliki kemampuan untuk mengakui kelemahan mereka dan mencari dukungan memiliki ketahanan yang lebih baik dalam menghadapi kegagalan akademik. Hal ini sejalan dengan pemaknaan QS. Al-Qamar ayat 10, di mana pengakuan atas keterbatasan dan permohonan bantuan adalah langkah penting untuk menghadapi ujian yang lebih besar.

    Penelitian-penelitian ini memperlihatkan bagaimana pentingnya ketahanan mental dan pencarian dukungan eksternal dalam menghadapi kesulitan—sebuah tema yang juga dapat ditemukan dalam kisah Nabi Nuh, yang mengakui ketidakmampuannya dan memohon pertolongan kepada Allah. Ketika seseorang dalam kondisi zero, lalu ia memohon pertolongan dengan mengaktifkan spritualitasnya maka pertolongan Allah adalah satu-satu harapan. Dalam keadaan itulah ia menemukan Allah adalah satu-satu tempat bergantung dan berserah.