BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. AL-QAMAR: 1

    Selasa, 18 Maret 2025

    Pertautan Konseptual

    Ayat pertama dari Surah Al-Qamar menyatakan bahwa hari kiamat semakin dekat dan bulan telah terbelah. Ayat ini memiliki keterkaitan konseptual dengan Surah Al-Najm, yang berisi tentang tanda-tanda kebesaran Allah dan kebenaran wahyu yang dibawa oleh Rasulullah. Salah satu aspek utama dalam Surah Al-Najm adalah peristiwa Isra’ Mi’raj, yang menggambarkan perjalanan luar biasa Rasulullah ke langit.

    Dalam konteks pendidikan dan sains modern, kedua surah ini mengajarkan pentingnya memahami fenomena alam sebagai tanda kebesaran Allah dan sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan. Peristiwa bulan terbelah dalam Q.S. Al-Qamar dapat dikaji dari sudut pandang astronomi, mendorong eksplorasi tentang fenomena geologi dan sejarah benda langit. Sementara itu, Surah Al-Najm mengandung unsur perjalanan luar angkasa yang dapat dikaitkan dengan kemajuan teknologi penerbangan dan eksplorasi luar angkasa.

    Pendidikan modern dapat mengambil pelajaran dari kedua surah ini dengan menanamkan sikap ilmiah yang didasarkan pada wahyu dan rasionalitas. Selain itu, konsep bahwa kiamat semakin dekat mengajarkan urgensi dalam pembelajaran dan inovasi agar manusia dapat memanfaatkan waktu sebaik mungkin dalam meningkatkan peradaban. Dengan memahami hubungan antara wahyu dan sains, generasi masa kini dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dengan tetap berpegang pada nilai-nilai spiritual yang kuat.

    Tinjauan Kebahasaan

    اِقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ ۝١

    Terjemahnya: "Hari Kiamat makin dekat dan bulan terbelah".(1)

    Secara struktural, ayat ini terdiri dari dua klausa utama: اِقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ ("Hari Kiamat makin dekat") dan وَانْشَقَّ الْقَمَرُ ("dan bulan terbelah"). Kata اِقْتَرَبَتْ berbentuk fi'il madhi (kata kerja lampau), menunjukkan bahwa kedekatan hari kiamat adalah kepastian, meskipun belum terjadi dalam realitas manusia. Penggunaan وَ sebagai penghubung antara kedua klausa memperlihatkan kesinambungan makna, menunjukkan bahwa fenomena alam (bulan terbelah) merupakan bagian dari tanda-tanda datangnya kiamat. Struktur ini juga menegaskan hubungan sebab-akibat antara fenomena alam dan ketetapan ilahi.

    Ayat ini memiliki elemen i'jaz (kemukjizatan) dalam penggunaan fi'il madhi untuk sesuatu yang akan terjadi, memperkuat kesan kepastian. Frasa اِقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ menggunakan gaya hiperbola (mubalagha) untuk menekankan kedekatan waktu kiamat, walaupun manusia merasa masih jauh. Sementara itu, وَانْشَقَّ الْقَمَرُ menampilkan aspek visual yang dramatis dan menimbulkan daya imajinasi kuat. Penggunaan kata الْقَمَرُ (bulan) tanpa keterangan waktu memperkuat universalitas peristiwa ini, sehingga dapat dimaknai baik secara historis maupun sebagai tanda-tanda kebesaran Allah.

    Kata اِقْتَرَبَتْ berasal dari akar kata ق-ر-ب yang berarti "mendekat". Kata ini menandakan bahwa kiamat bukanlah sesuatu yang masih jauh, tetapi dalam perjalanan menuju kepastian. Sementara itu, kata اِنْشَقَّ berasal dari akar ش-ق-ق yang berarti "terbelah" atau "terpecah". Maknanya bisa bersifat fisik (bulan benar-benar terbelah) atau simbolis (terjadi fenomena luar biasa yang menandai kebesaran Allah). Dalam kajian modern, istilah ini juga dapat dikaitkan dengan eksplorasi benda langit, mengingat bulan memiliki banyak jejak geologis yang menunjukkan adanya perubahan besar di masa lalu.

    Ayat ini menyajikan dua simbol utama: السَّاعَةُ (kiamat) dan الْقَمَرُ (bulan). Kiamat dalam Islam sering dikaitkan dengan perubahan besar dalam struktur kosmos, sementara bulan adalah simbol ketertiban alam. Peristiwa terbelahnya bulan dapat ditafsirkan sebagai disrupsi terhadap sistem yang selama ini stabil, menandakan bahwa keseimbangan alam suatu saat akan berubah secara drastis. Simbolisme ini mengajarkan bahwa dunia bersifat fana dan segala sesuatu memiliki akhirnya. Dalam konteks sains modern, fenomena ini bisa dikaitkan dengan hipotesis tentang kemungkinan peristiwa astronomis besar yang akan terjadi di masa depan.

    Keterangan Ulama Tafsir

    Ibnu Abbas, seorang sahabat Nabi yang dikenal sebagai "Turjuman al-Qur’an" (penafsir Al-Qur’an), menjelaskan bahwa ayat ini merujuk pada peristiwa mukjizat Nabi Muhammad saw., yaitu terbelahnya bulan sebagai bukti kenabian. Dalam riwayat yang disampaikan, orang-orang Quraisy menuntut tanda kenabian, lalu Nabi Muhammad saw. menunjuk ke bulan, dan bulan pun terbelah menjadi dua bagian yang terlihat di Gunung Hira. Setelah itu, bulan kembali bersatu. Ibnu Abbas menegaskan bahwa peristiwa ini terjadi secara nyata dan bukan sekadar metafora.

    Selain itu, frasa "Iqtarabat as-Sa’ah" (Hari Kiamat makin dekat) menunjukkan bahwa sejak masa Nabi, tanda-tanda Kiamat telah tampak. Ayat ini memperingatkan manusia agar bersiap menghadapi hari pembalasan. Dengan demikian, tafsir Ibnu Abbas menekankan aspek mukjizat Nabi dan urgensi persiapan menghadapi kehidupan akhirat.

    Ibnu Katsir dalam tafsirnya menguatkan pandangan Ibnu Abbas bahwa ayat ini mengisahkan mukjizat terbelahnya bulan yang terjadi di masa Nabi Muhammad saw. Ia mengutip hadis-hadis sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan lainnya tentang peristiwa ini. Dalam tafsirnya, ia juga mengutip beberapa riwayat yang menyebut bahwa sebagian orang di luar Makkah juga menyaksikan fenomena ini, menguatkan fakta bahwa itu bukan ilusi atau sihir.

    Selain itu, Ibnu Katsir menafsirkan bahwa penyebutan kiamat dalam ayat ini menandakan semakin dekatnya akhir zaman setelah kedatangan Nabi Muhammad saw. Ini mengingatkan manusia bahwa waktu untuk berbuat kebaikan semakin sedikit. Tafsir Ibnu Katsir tidak menafsirkan peristiwa ini sebagai fenomena astronomi biasa, tetapi sebagai kejadian luar biasa yang diberikan oleh Allah untuk memperkuat dakwah Rasulullah.

    Relevansinya dengan Sain dan Pendidikan

    Dalam kajian sains, tidak ada bukti astronomi yang menunjukkan bahwa bulan pernah terbelah secara fisik dan kemudian menyatu kembali. Namun, beberapa ilmuwan, seperti Dr. Zaghloul El-Naggar, berpendapat bahwa adanya "lunar rilles" (alur panjang di permukaan bulan) bisa menjadi indikasi bahwa bulan pernah mengalami peristiwa besar di masa lalu. Meski tidak sepenuhnya membuktikan mukjizat ini, temuan tersebut tetap menjadi bahan kajian lebih lanjut dalam astrofisika.

    Dari perspektif pendidikan, ayat ini mengajarkan pentingnya berpikir kritis dalam memahami fenomena alam dan agama. Dalam pendidikan Islam modern, pemahaman tentang mukjizat Nabi Muhammad saw. dapat dikombinasikan dengan pendekatan sains dan filsafat untuk menumbuhkan sikap ilmiah dan religius secara bersamaan. Siswa dapat diajak untuk menganalisis bagaimana Islam menghargai ilmu pengetahuan sambil tetap meyakini keajaiban yang diberikan Allah kepada para nabi-Nya.

    Riset Terbaru  yang Relevan

    Pertama, penelitian tentang Astronomi dan Lunar Rilles. Dalam konteks ini, penelitian Dr. Hassan Al-Harbi (2023)beejudul "Lunar Rilles and the Hypothesis of Historical Lunar Fractures". Penelitian ini menggunakan pencitraan satelit dan analisis geologi permukaan bulan untuk meneliti apakah lunar rilles bisa menjadi bukti peristiwa tektonik atau perubahan besar dalam sejarah bulan. Penelitian ini menemukan bahwa lunar rilles memang bisa menunjukkan adanya aktivitas tektonik masa lalu di bulan, tetapi tidak cukup untuk membuktikan adanya peristiwa bulan terbelah. Namun, ini membuka kemungkinan bahwa bulan pernah mengalami kejadian besar yang belum sepenuhnya dipahami.

    Kedua, penelitian tentang  pendidikan Islam dan integrasi sain. Dalam konteks ini,bPenelitian Dr. Aisyah Farhana & Dr. Muhammad Ridwan (2022) berjudul  "Integrating Scientific Inquiry with Islamic Education: A Case Study in Understanding Miracles". Studi ini menggunakan metode kualitatif dengan observasi dan wawancara terhadap siswa di sekolah Islam yang mengajarkan mukjizat nabi dengan pendekatan saintifik. Studi ini menunjukkan bahwa pendekatan integratif antara sains dan agama meningkatkan pemahaman siswa tentang mukjizat dalam Islam. Siswa lebih kritis dalam memahami fenomena alam sekaligus semakin yakin dengan keimanan mereka.

    Dengan demikian, tafsir Ibnu Abbas dan Ibnu Katsir menekankan aspek mukjizat dari ayat ini, sementara sains modern belum menemukan bukti kuat untuk mendukung peristiwa ini. Namun, pendidikan yang menggabungkan sains dan agama bisa menjadi pendekatan efektif dalam memahami mukjizat dalam konteks modern.