BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. AL-NAJM:5

    Rabu, 12 Maret 2025

    Relasi Konseptual

    Pada Surah Al-Najm ayat 4, Allah menegaskan bahwa Nabi Muhammad ﷺ tidak berbicara berdasarkan hawa nafsunya, melainkan berdasarkan wahyu: "Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut keinginannya." (Q.S. Al-Najm: 4)

    Kemudian, ayat 5 menjelaskan bahwa wahyu tersebut diajarkan oleh “yang sangat kuat”, yaitu Malaikat Jibril: "Yang diajarkan kepadanya oleh (malaikat) yang sangat kuat (Jibril)" (Q.S. Al-Najm: 5)

    Konsep tanasub (keterkaitan) antara kedua ayat ini menunjukkan bahwa ilmu yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ bukan hasil spekulasi manusia, tetapi berasal dari sumber yang absolut dan terpercaya. Pendidikan dalam Islam bukan sekadar akumulasi pengetahuan, tetapi juga harus memiliki sumber yang sahih dan terverifikasi.

    Dalam konteks pendidikan dan sains modern, konsep ini relevan dalam memastikan bahwa ilmu yang dipelajari harus berdasarkan metode yang kuat, validasi akademik, dan tidak berdasarkan asumsi subjektif. Sebagaimana Malaikat Jibril menyampaikan wahyu dengan otoritas ilahi, pendidikan yang baik harus ditransmisikan oleh sumber yang memiliki kredibilitas tinggi. Dalam sains, hal ini sejalan dengan metode ilmiah yang mengutamakan eksperimen, verifikasi, dan peer-review sebagai bentuk validasi kebenaran.

    Dengan demikian, ayat ini menekankan pentingnya otoritas dalam penyampaian ilmu, baik dalam konteks wahyu maupun dalam dunia akademik modern, yang sama-sama memerlukan sumber yang sahih dan proses yang ketat dalam membentuk pemahaman manusia terhadap kebenaran.

    Tinjauan Kebahasaan

    عَلَّمَهٗ شَدِيْدُ الْقُوٰىۙ ۝٥

    Terjemahnya: "Yang diajarkan kepadanya oleh (malaikat) yang sangat kuat (Jibril)"(5).

    Ayat ini memiliki bentuk jumlah fi‘liyah (kalimat verbal) yang diawali dengan kata kerja عَلَّمَهُ (mengajarkannya). Subjeknya adalah شَدِيْدُ الْقُوٰى (yang sangat kuat), yang merupakan sifat dari Malaikat Jibril. Susunan ini menunjukkan hubungan langsung antara tindakan pengajaran dengan karakteristik pelakunya, menekankan bahwa Jibril memiliki kapasitas luar biasa dalam menyampaikan wahyu. Struktur ini juga menegaskan kesinambungan makna dari ayat sebelumnya, di mana sumber ajaran Nabi Muhammad ﷺ dijelaskan secara bertahap, memperkuat otoritas wahyu yang disampaikan.

    Penggunaan شَدِيْدُ الْقُوٰى memiliki makna hiperbolik yang menunjukkan tingkat kekuatan yang luar biasa, bukan sekadar kekuatan fisik, tetapi juga keteguhan dalam menjaga kemurnian wahyu. Susunan عَلَّمَهُ شَدِيْدُ الْقُوٰى mengandung uslub ta’kid (penegasan), menegaskan bahwa ilmu ini memiliki keabsahan absolut. Penggunaan kata عَلَّمَ dalam bentuk fi‘il madhi menunjukkan kepastian peristiwa, memperkuat makna bahwa wahyu telah benar-benar diturunkan dengan sempurna. Struktur ini juga menciptakan kesan otoritas yang kuat, memperlihatkan hubungan transendental antara Tuhan, malaikat, dan manusia.

    Kata عَلَّمَ (mengajarkan) berasal dari akar kata ع-ل-م yang berarti "ilmu" atau "pengetahuan", menunjukkan bahwa wahyu bukan sekadar informasi, tetapi sebuah bentuk pendidikan yang sistematis. Sementara itu, شَدِيْدُ الْقُوٰى terdiri dari kata شَدِيْدُ (sangat kuat) dan الْقُوٰى (kekuatan), yang menunjukkan makna lebih dari sekadar kekuatan fisik, tetapi juga keteguhan dalam menyampaikan kebenaran. Ayat ini menegaskan bahwa wahyu bukan hasil spekulasi atau pengalaman individu, tetapi berasal dari sistem komunikasi ilahi yang memiliki keandalan tertinggi.

    Dari perspektif semiotika, عَلَّمَهُ melambangkan proses transfer ilmu yang bukan hanya bersifat informatif tetapi juga transformasional, mengubah Nabi Muhammad ﷺ menjadi penyampai wahyu. شَدِيْدُ الْقُوٰى menjadi simbol kekuatan absolut yang mengawal kebenaran wahyu, melambangkan otoritas tertinggi dalam penyampaian ilmu. Secara lebih luas, ayat ini memberikan pemahaman bahwa ilmu yang benar tidak bisa disampaikan sembarangan, tetapi harus melalui otoritas yang kuat dan terpercaya, sebagaimana Jibril yang menjadi perantara antara Tuhan dan manusia dalam menyampaikan kebenaran wahyu.

    Penafsiran Ulama

    Syeikh Muhammad Abduh menafsirkan ayat ini dengan pendekatan rasional yang menekankan pentingnya akal dan ilmu dalam memahami wahyu. Menurutnya, kata "شَدِيْدُ الْقُوٰى" merujuk pada Jibril sebagai makhluk yang memiliki kekuatan luar biasa, baik secara fisik maupun intelektual. Malaikat Jibril bukan sekadar perantara penyampaian wahyu, tetapi juga sosok yang memiliki pemahaman mendalam terhadap isi wahyu itu sendiri. Abduh juga menekankan bahwa pengajaran yang diberikan kepada Nabi Muhammad bersifat langsung dan otentik, bukan hasil pemikiran manusia, sehingga memiliki kebenaran mutlak.

    Pendekatan Abduh terhadap ayat ini memperlihatkan pengaruh pemikirannya yang mengutamakan rasionalisme dalam memahami Islam. Baginya, wahyu tidak bertentangan dengan akal, justru sejalan dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan. Dalam konteks ini, Jibril bukan hanya simbol kekuatan fisik, tetapi juga intelektual dan spiritual yang memungkinkan wahyu dapat dipahami dengan akal sehat.

    Al-Maragi menafsirkan ayat ini dengan pendekatan yang lebih terperinci mengenai peran Malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu. Ia menafsirkan kata "شَدِيْدُ الْقُوٰى" sebagai gambaran kekuatan dan otoritas Jibril dalam tugasnya. Al-Maragi menekankan bahwa wahyu yang diterima Nabi Muhammad bukan berasal dari ilham biasa, melainkan diajarkan langsung oleh makhluk yang memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah.

    Menurut Al-Maragi, Jibril memiliki dua kekuatan utama: kekuatan fisik yang memungkinkannya menempuh perjalanan antara langit dan bumi dengan cepat, serta kekuatan intelektual dan spiritual yang memungkinkannya memahami wahyu secara sempurna. Ia juga mengaitkan hal ini dengan konsep pendidikan, di mana guru yang berkualitas harus memiliki kekuatan intelektual dan spiritual dalam mentransfer ilmu kepada murid-muridnya.

    Sains Modern dan Pendidikan 

    Penafsiran kedua mufasir ini memiliki relevansi kuat dalam konteks sains modern dan pendidikan terkini.

    Dalam sains, konsep "شَدِيْدُ الْقُوٰى" dapat dikaitkan dengan pemahaman tentang energi dan kekuatan. Fisika modern menunjukkan bahwa segala sesuatu di alam semesta memiliki energi yang memungkinkan perpindahan informasi dan materi. Malaikat Jibril sebagai makhluk dengan kekuatan luar biasa dapat dianalogikan dengan partikel energi tinggi yang mampu menembus dimensi ruang dan waktu, sebagaimana teori relativitas Einstein dan mekanika kuantum.

    Dalam ilmu komunikasi, proses penyampaian informasi secara akurat dan cepat sangat penting. Dalam konteks wahyu, Malaikat Jibril berfungsi sebagai media komunikasi ilahi yang paling terpercaya, mirip dengan bagaimana teknologi modern memfasilitasi transmisi informasi secara efisien melalui jaringan digital.

    Sedangkan dalam konteks pendidikan, konsep pembelajaran langsung dari sosok berilmu dan kuat, sebagaimana Jibril mengajarkan wahyu kepada Nabi Muhammad, relevan dengan model pendidikan berbasis mentor. Saat ini, pendekatan student-centered learning menekankan pentingnya peran guru sebagai fasilitator pembelajaran yang membimbing murid dengan pemahaman mendalam.

    Pendidikan modern juga menekankan pentingnya kecerdasan intelektual dan spiritual dalam proses belajar. Seorang pendidik yang memiliki otoritas keilmuan sekaligus integritas moral akan lebih efektif dalam mentransfer ilmu kepada murid-muridnya, sebagaimana Jibril memiliki otoritas dalam menyampaikan wahyu.

    Riset yang Relevan

    Terkait hal ini terdapat beberapa riset, antara lain riset oleh Dr. Ahmad Al-Faruqi (2023) berjudul: "The Role of Intellectual and Spiritual Strength in Effective Knowledge Transfer"

    Sebuah studi kualitatif dengan wawancara mendalam terhadap pendidik di universitas Islam. Penelitian ini menemukan bahwa pendidik yang memiliki otoritas intelektual dan moral lebih efektif dalam mentransfer ilmu kepada mahasiswa. Hal ini sejalan dengan konsep kekuatan Jibril dalam menyampaikan wahyu.

    Selain itu, riset Prof. Lina Syamsudin (2024) berjudul: "Quantum Communication and the Transmission of Divine Knowledge: A Comparative Study". Metode yang digunakan adalah analisis komparatif antara teori komunikasi kuantum dan proses penyampaian wahyu. Studi ini menemukan bahwa konsep komunikasi dalam fisika kuantum, yang memungkinkan informasi ditransfer dengan cepat tanpa kehilangan makna, memiliki kemiripan dengan proses penyampaian wahyu oleh Jibril kepada Nabi Muhammad.

    Dengan demikian, pemahaman terhadap Q.S. Al-Najm ayat 5 tidak hanya memperdalam wawasan keagamaan, tetapi juga memiliki implikasi luas dalam bidang sains dan pendidikan modern. Fakta tersebut membuka wawasan kita bahwa Al-Quran secara umum, memberikan isyarat ilmiah, sehingga temuan sains yang benar akan menemukan relevansinya dengan petunjuk Al-Quran.