Pertautan Konseptual
Surah Al-Najm ayat 21 melanjutkan kritik terhadap kepercayaan musyrik Mekah yang menganggap malaikat sebagai anak perempuan Allah, sementara mereka sendiri lebih menyukai anak laki-laki. Ayat ini mempertegas ketimpangan logika dalam keyakinan tersebut, melanjutkan dari ayat sebelumnya (QS. Al-Najm: 20), yang menyebut berhala perempuan seperti Al-Lāt, Al-‘Uzzā, dan Manāt.
Dalam konteks pendidikan dan sains modern, ayat ini mengajarkan pentingnya berpikir kritis dan objektif dalam menilai keyakinan serta tradisi yang diwarisi. Sains menuntut bukti empiris, sementara pendidikan menekankan rasionalitas dalam memahami dunia. Ayat ini mengingatkan tentang bias kognitif yang masih relevan dalam dunia akademik dan sosial, seperti preferensi gender dalam bidang STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika).
Dalam konteks pendidikan, ayat ini dapat menjadi refleksi bagi pengajar dan siswa untuk mempertanyakan ketimpangan gender dalam kesempatan belajar dan karier. Jika masyarakat kuno membangun kepercayaan yang bias tanpa dasar yang kokoh, bagaimana dengan era modern yang masih menghadapi diskriminasi berbasis gender? Oleh karena itu, ayat ini menegaskan pentingnya keadilan, logika, dan ilmu dalam membangun peradaban yang lebih inklusif dan berbasis pengetahuan yang benar.
Tinjauan Kebahasaan
اَلَـكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الۡاُنۡثٰى
Terjemahnya: "Apakah (pantas) untuk kamu yang laki-laki dan untuk-Nya yang perempuan?"(21)
Susunan kalimat pada ayat ini berbentuk kalimat tanya istifhām inkārī (pertanyaan retoris yang mengandung penolakan). Bentuk ini menegaskan ketidakwajaran keyakinan kaum musyrik bahwa mereka mendapatkan anak laki-laki, sementara Allah "diberikan" anak perempuan. Susunan ayat ini mengikuti pola kontras: لَكُمُ الذَّكَرُ (laki-laki untuk kalian) dan وَلَهُ الۡاُنۡثٰى (perempuan untuk-Nya). Kontras ini memperlihatkan inkonsistensi pemikiran mereka, menyoroti ironi dalam keyakinan mereka. Ayat ini juga berkaitan erat dengan ayat sebelumnya, membangun kesinambungan kritik terhadap berhala perempuan yang mereka sembah.
Ayat ini menggunakan isti‘māl isti‘rāqī (penggunaan umum untuk mengkritik khusus), yaitu membahas konsep yang tampaknya umum tetapi sebenarnya mengarah pada keyakinan spesifik kaum musyrik. Ada juga unsur takhshīsh (penegasan spesifik), di mana penggunaan kata أَلَكُمُ dan وَلَهُ menyoroti ketimpangan kepercayaan mereka. Penggunaan bentuk pertanyaan memperkuat kritik, sementara oposisi antara الذَّكَرُ dan الۡاُنۡثٰى menambah efek ironi. Struktur ini menunjukkan kekuatan argumentasi Qur’an dalam membantah pemikiran yang keliru melalui gaya bahasa yang tajam dan persuasif.
Kata الذَّكَرُ (laki-laki) dan الۡاُنۡثٰى (perempuan) memiliki makna biologis sekaligus sosial. Dalam konteks ayat ini, kata-kata tersebut digunakan untuk mengkritik nilai sosial yang timpang di masyarakat Arab kala itu. Mereka mengutamakan anak laki-laki karena dianggap lebih berharga, sementara anak perempuan dipandang rendah. Namun, ketika berbicara tentang ketuhanan, mereka justru memberikan atribut perempuan kepada malaikat. Ini menandakan kontradiksi logika dalam sistem kepercayaan mereka. Makna semantik ini juga relevan dalam isu kesetaraan gender modern, di mana masih ada bias nilai terhadap laki-laki dan perempuan di berbagai aspek kehidupan.
Ayat ini membongkar simbolisasi gender dalam budaya Arab Jahiliyah. Laki-laki diasosiasikan dengan kehormatan, kekuatan, dan kepemimpinan, sementara perempuan diasosiasikan dengan kelemahan dan ketidakberdayaan. Ketika ayat ini mengontraskan لَكُمُ الذَّكَرُ dan وَلَهُ الۡاُنۡثٰى, ia tidak hanya mengkritik ketidakkonsistenan teologis, tetapi juga membuka diskursus tentang bagaimana makna gender dikonstruksi dalam masyarakat. Dalam perspektif modern, ayat ini mengingatkan bahwa nilai gender adalah konstruksi sosial yang dapat direkonstruksi dengan pemahaman yang lebih adil dan berbasis ilmu pengetahuan.
Penjelasan Ulama Tafsir
Ayat اَلَـكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الۡاُنۡثٰى dalam Q.S. Al-Najm: 21 menyinggung keyakinan sebagian orang Quraisy yang menganggap bahwa anak laki-laki lebih utama, sementara mereka menganggap malaikat sebagai anak perempuan Allah. Ayat ini merupakan bentuk kritik atas ketidakadilan dan kontradiksi dalam kepercayaan mereka.
Dalam tafsir klasik, seperti Tafsir Ibnu Katsir, ayat ini menunjukkan kejanggalan logika bahwa mereka menginginkan sesuatu yang terbaik untuk diri sendiri (laki-laki), tetapi menetapkan sesuatu yang mereka anggap rendah (perempuan) kepada Allah. Sementara itu, Tafsir al-Maraghi menyoroti bahwa ayat ini menegaskan keadilan dalam penciptaan manusia, bahwa semua jenis kelamin memiliki nilai yang sama di sisi Allah.
Dari perspektif modern, ayat ini bisa dikaitkan dengan kritik terhadap diskriminasi gender. Dalam konteks sosiologis, ayat ini menegaskan bahwa membeda-bedakan seseorang berdasarkan jenis kelamin adalah sikap yang tidak adil dan bertentangan dengan prinsip keadilan yang dikehendaki oleh Islam.
Sains dan Pendidikan
Dalam dunia sains modern, konsep kesetaraan gender semakin kuat dengan berbagai penelitian dalam bidang psikologi, neurosains, dan sosiologi. Misalnya, penelitian dalam neurosains kognitif menunjukkan bahwa perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan tidak berarti perbedaan dalam kecerdasan atau potensi.
Dalam pendidikan, ayat ini mengingatkan pentingnya memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan dalam mengakses ilmu pengetahuan. Berdasarkan data dari UNESCO, akses perempuan ke pendidikan tinggi terus meningkat di banyak negara, tetapi masih ada tantangan terkait bias gender di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics).
Pendidikan modern juga menekankan pentingnya pendidikan karakter untuk menanamkan nilai kesetaraan dan keadilan sosial. Kurikulum yang inklusif dan bebas bias gender menjadi penting untuk memastikan bahwa tidak ada kelompok yang dirugikan.
Lebih jauh, relevansi ayat ini dengan sains modern juga bisa dikaitkan dengan kajian linguistik dan bias gender dalam bahasa. Studi menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan dalam masyarakat bisa membentuk pola pikir mengenai peran gender, dan oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa bahasa yang digunakan dalam pendidikan dan media bersifat inklusif dan tidak mendiskriminasi gender tertentu.
Dua Riset yang Relevan
Penelitian "Dr. Linda Babcock & Dr. Maria Recalde" Judul: "Gender Differences in Competition and Performance: Analyzing Educational Outcomes in STEM Fields" sebuah studi kuantitatif dengan analisis data dari universitas di 10 negara terkait partisipasi laki-laki dan perempuan dalam bidang STEM. Penelitian ini menemukan bahwa meskipun perempuan memiliki prestasi akademik yang setara atau lebih tinggi dalam pendidikan STEM, mereka kurang percaya diri dalam berkompetisi dibandingkan laki-laki. Faktor sosial dan budaya masih memengaruhi pemilihan karier berbasis gender.
Selain itu, penelitian Prof. Richard Haier & Dr. Alice Eagly bertajuk "Neuroscience and Gender: Understanding Cognitive Differences and Social Implications". Dengan menerapkan meta-analisis dari lebih dari 50 penelitian mengenai perbedaan kognitif berdasarkan pemindaian otak dan pengaruh lingkungan sosial, hasil penelitian memperlihatkan perbedaan signifikan dalam kapasitas kecerdasan antara laki-laki dan perempuan, tetapi ditemukan pengaruh besar dari lingkungan sosial dan pendidikan dalam membentuk kepercayaan diri dan preferensi akademik.
Q.S. Al-Najm: 21 secara tidak langsung menegaskan prinsip kesetaraan gender yang semakin diperkuat oleh temuan ilmiah dan perkembangan pendidikan modern. Riset-riset terbaru menunjukkan bahwa hambatan dalam kesetaraan bukanlah berasal dari perbedaan biologis, tetapi lebih kepada faktor sosial dan budaya. Oleh karena itu, penting bagi pendidikan dan kebijakan publik untuk terus mendorong kesetaraan akses dan peluang bagi semua individu, tanpa membedakan gender.
0 komentar