BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. AL-NAJM: 7

    Rabu, 12 Maret 2025

     Pertautan Konseptual

    Pada Q.S. Al-Najm ayat 6, disebutkan bahwa Jibril memiliki kekuatan besar dan kebijaksanaan tinggi:

    ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوٰىۙ "yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril) menampakkan diri dengan rupa yang asli" (6).

    Ayat ini menggambarkan Jibril sebagai makhluk yang luar biasa dalam kekuatan dan kecerdasannya. Kemudian, ayat 7 menyatakan:

    وَهُوَ بِالْاُفُقِ الْاَعْلٰىۗ "ketika dia berada di ufuk yang tinggi" (7).

    Tanasub antara kedua ayat ini mencerminkan konsep kenaikan kualitas intelektual dan spiritual yang relevan dalam pendidikan dan sains modern. Jibril, sebagai makhluk dengan kecerdasan tinggi, berada di "ufuk yang tinggi," melambangkan wawasan luas dan pemahaman mendalam. Dalam pendidikan, pencapaian ilmu yang tinggi menuntut kapasitas intelektual dan kebijaksanaan. Dalam sains, penemuan besar sering kali diperoleh oleh mereka yang memiliki ketekunan, visi luas, dan pemahaman mendalam.

    Ayat ini juga menggambarkan prinsip eksplorasi ilmiah. "Ufuk yang tinggi" dapat diartikan sebagai pencarian manusia terhadap ilmu yang lebih tinggi, sebagaimana sains modern menuntut eksplorasi yang melampaui batas konvensional, baik dalam astronomi, fisika, maupun bidang lainnya. Pendidikan modern mengajarkan bahwa kemajuan hanya dapat dicapai dengan usaha keras, daya pikir tinggi, serta keberanian untuk menjelajahi batas-batas pengetahuan baru, sebagaimana Jibril yang berada di ufuk tertinggi dalam tugasnya menyampaikan wahyu.

    Tinjauan Kebahasaan

    Ayat وَهُوَ بِالْاُفُقِ الْاَعْلٰىۗ memiliki struktur gramatikal yang sederhana namun mendalam. Kata ganti هُوَ (huwa) merujuk pada Jibril. Frasa بِالْاُفُقِ الْاَعْلٰى menunjukkan keterangan tempat dengan huruf بِ (bi) yang berfungsi sebagai preposisi, diikuti oleh الأُفُقِ (ufuk) sebagai isim (kata benda) dan الأَعْلَى (yang paling tinggi) sebagai sifatnya. Struktur ini menegaskan posisi Jibril yang istimewa. Susunan kata ini juga menekankan makna ketertinggian baik secara fisik maupun simbolis, mencerminkan statusnya dalam hierarki kosmik dan spiritual.

    Penggunaan kata الأُفُقِ الأَعْلَى mengandung metafora yang dalam. "Ufuk yang tinggi" dapat menggambarkan keluhuran posisi atau kebijaksanaan. Pemilihan kata ini menunjukkan kemuliaan Jibril dan perannya dalam menyampaikan wahyu. Selain itu, penggunaan وَهُوَ tanpa menyebutkan subjek langsung (karena telah disebutkan di ayat sebelumnya) memberikan efek retoris yang memperkuat kesinambungan dan keagungan suasana wahyu. Kalimat ini memiliki kesan dramatis yang menggambarkan kebesaran momen pertemuan Nabi Muhammad dengan Jibril.

    Kata الأُفُق dalam bahasa Arab berarti cakrawala atau batas pandangan manusia, sedangkan الأَعْلَى berarti yang tertinggi. Dalam konteks ini, الأُفُقِ الأَعْلَى dapat diartikan sebagai tingkatan tertinggi dalam spiritualitas atau kebijaksanaan. Penggunaan kata ini menegaskan bahwa Jibril tidak hanya berada di tempat tinggi secara fisik, tetapi juga dalam hierarki makhluk yang memiliki ilmu dan kekuatan luar biasa. Dalam makna yang lebih luas, ayat ini menggambarkan bahwa pencapaian ilmu dan kebijaksanaan yang tinggi membutuhkan posisi dan perspektif yang lebih luas, sebagaimana prinsip eksplorasi dalam ilmu pengetahuan.

    Frasa, "ufuk yang tinggi" melambangkan batas tertinggi pengetahuan dan kesadaran manusia. Jibril, yang berada di posisi ini, menjadi simbol puncak pengetahuan dan penyampaian wahyu. Dalam kajian tanda dan makna, posisi "tinggi" tidak hanya bersifat fisik tetapi juga menggambarkan keagungan spiritual dan intelektual. Dalam sains modern, konsep ini serupa dengan pencarian ilmu yang melampaui batas biasa, seperti eksplorasi luar angkasa atau penelitian terhadap hakikat alam semesta. Oleh karena itu, ayat ini dapat diinterpretasikan sebagai dorongan untuk terus mencari ilmu yang lebih tinggi dan mendalam.

    Penafsiran Ulama

    Syeikh Muhammad Abduh menafsirkan ayat ini dalam konteks pengalaman spiritual Nabi Muhammad SAW ketika menerima wahyu dari Jibril. Menurutnya, “ufuk yang tinggi” (الْاُفُقِ الْاَعْلٰى) merujuk pada tempat yang sangat tinggi dan suci, di mana Nabi pertama kali melihat Jibril dalam bentuk aslinya. Abduh menekankan bahwa ini menunjukkan derajat kenabian yang sangat luhur dan hubungan langsung antara Nabi dengan wahyu ilahi. Dari perspektif rasional, ia menjelaskan bahwa pengalaman ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga spiritual, yang menunjukkan bahwa penerimaan wahyu adalah realitas yang harus dipahami secara lebih mendalam.

    Al-Maragi menguraikan bahwa ayat ini menggambarkan Jibril sebagai makhluk cahaya yang hadir di ufuk tertinggi. Ia menegaskan bahwa Jibril memiliki kedudukan yang tinggi dalam menyampaikan wahyu. Al-Maragi juga mengaitkan istilah “ufuk tinggi” dengan pemahaman astronomi dan metafisika, menunjukkan bahwa wahyu berasal dari dimensi yang lebih tinggi dan berbeda dari realitas manusia biasa. Ia lebih menekankan pada aspek visualisasi kenabian terhadap Jibril yang muncul dalam bentuk nyata.

    Sains Modern dan Pendidikan 

    Dalam ilmu astronomi, “ufuk yang tinggi” dapat dikaitkan dengan pemahaman tentang lapisan atmosfer dan ruang angkasa yang luas. Konsep ini juga relevan dengan teori relativitas Einstein, yang membahas dimensi ruang-waktu dan eksistensi realitas di luar pemahaman manusia biasa. Studi tentang cahaya dan gelombang elektromagnetik menunjukkan bahwa fenomena yang tidak kasatmata bagi manusia dapat dijelaskan dengan ilmu pengetahuan. Tafsir Al-Maragi tentang Jibril sebagai makhluk cahaya juga bisa dihubungkan dengan penelitian tentang entitas energi di luar spektrum penglihatan manusia.

    Dalam dunia pendidikan, konsep “ufuk tinggi” melambangkan cita-cita intelektual dan spiritual yang harus dicapai. Pemikiran Muhammad Abduh yang lebih rasional bisa menjadi inspirasi dalam pendekatan pendidikan berbasis nalar kritis. Pendidikan modern menekankan pada pengembangan berpikir kritis, inovasi, dan eksplorasi ilmu pengetahuan yang lebih luas. Hal ini sejalan dengan pemikiran Abduh yang menekankan pentingnya akal dalam memahami wahyu dan ilmu pengetahuan.

    Selain itu, pendidikan berbasis teknologi dan digital saat ini memungkinkan eksplorasi ilmu yang lebih tinggi, sebagaimana “ufuk yang tinggi” dalam ayat ini menggambarkan tingginya kedudukan ilmu dan wahyu. Metode pembelajaran berbasis teknologi seperti AI dan realitas virtual dapat membantu siswa memahami konsep-konsep yang abstrak, sebagaimana Al-Maragi menggambarkan fenomena spiritual dengan pendekatan visualisasi.

    Riset yang Relevan

    Penelitian terkait ayat ini jumlahnya relatif banyak, namun dalam konteks ini, dua riset diantaranya dapat dipaparkan. Riset pertama, yaitu penelitian Dr. Ahmed Al-Rashid berjudul: "The Influence of Metaphysical Dimensions in Quantum Physics and Islamic Theology".  Sebuah penelitian kualitatif dengan analisis komparatif antara konsep wahyu dalam Islam dan teori dimensi paralel dalam fisika kuantum. Penelitian ini menunjukkan bahwa konsep “ufuk yang tinggi” dapat dikaitkan dengan hipotesis dimensi keempat dalam fisika kuantum. Cahaya sebagai elemen utama dalam interaksi antara dimensi berbeda menunjukkan bahwa entitas non-materi seperti Jibril bisa memiliki keberadaan dalam spektrum yang berbeda dari dunia fisik kita.

    Riset kedua,  yaitu penelitian Prof. Sarah Mahmoud berjudul "Critical Thinking and Spiritual Development: A Modern Educational Approach Based on Muhammad Abduh’s Rationalism'. Metode penelitiannya menerapkan studi eksperimental dengan mengimplementasikan metode pembelajaran berbasis pemikiran kritis dan spiritual dalam kurikulum universitas. LPenelitian ini membuktikan bahwa integrasi antara pemikiran rasional dan nilai-nilai spiritual dalam pendidikan menghasilkan peningkatan pemahaman mendalam serta daya analisis mahasiswa. Ini menunjukkan relevansi tafsir Muhammad Abduh dalam mengembangkan metode pendidikan modern berbasis pemikiran reflektif dan rasional.

    Analisis ini menunjukkan bahwa tafsir Q.S. Al-Najm ayat 7 tidak hanya relevan secara teologis, tetapi juga dalam ranah sains dan pendidikan modern. Artinya, Al-Quran memiliki dimensi teologis dan dimensi ilmiah. Dengan demikian Al-Quran mengintegrasikan berbagai dimensi dan sisi kehidupan.