Pertautan Konseptual
Surah Al-Najm ayat 60 menyatakan: "Maka mengapa kamu tertawa dan tidak menangis?", diikuti oleh ayat 61: "Sedang kamu lengah (darinya).” Tanasub (keterkaitan konseptual) antara kedua ayat ini menunjukkan kritik terhadap sikap manusia yang meremehkan peringatan Allah, bahkan bersikap lalai dan tidak serius terhadap tanda-tanda kebesaran-Nya.
Dalam konteks pendidikan dan sains modern, fenomena ini relevan dengan kecenderungan sebagian individu atau masyarakat yang lebih banyak terhibur oleh hal-hal dangkal dibandingkan mengejar ilmu dan kebijaksanaan. Pendidikan seharusnya tidak hanya menjadi ajang memperoleh keterampilan teknis tetapi juga membangun kesadaran kritis dan spiritual terhadap kehidupan.
Dalam dunia sains, keterlenaan (سٰمِدُوْنَ) dapat dikaitkan dengan sikap tidak peduli terhadap tantangan global seperti perubahan iklim, ketidakadilan sosial, atau perkembangan teknologi yang tidak beretika. Kesadaran ilmiah yang mendalam harus seimbang dengan kesadaran moral agar kemajuan ilmu pengetahuan tidak menjadi alat yang melalaikan manusia dari tanggung jawab sosial dan spiritualnya.
Oleh karena itu, ayat ini memberikan peringatan penting bagi dunia pendidikan dan sains agar tidak terjebak dalam euforia pengetahuan yang kosong dari makna hakiki. Sikap reflektif dan rasa tanggung jawab atas ilmu yang diperoleh menjadi aspek yang perlu ditekankan agar manusia tidak hanya tertawa dalam kebodohan, tetapi menangis dalam kesadaran akan tugasnya sebagai khalifah di bumi.
Tinjauan Kebahasaan
وَاَنۡتُمۡ سٰمِدُوۡنَ
Terjemahnya: "sedang kamu lengah (darinya)".(61).
Ayat ini terdiri dari satu kalimat pendek tetapi memiliki dampak makna yang dalam. Kata وَأَنتُمْ (wa antum) sebagai mubtada' (subjek) menegaskan bahwa yang disinggung secara khusus adalah manusia yang lalai. Sedangkan سَامِدُونَ (sāmidūn) berfungsi sebagai khabar (predikat), yang mengisyaratkan keadaan atau sifat orang yang disebutkan. Struktur ini menampilkan bentuk kalimat nominal (jumlah ismiyyah), yang dalam bahasa Arab menunjukkan keajegan atau keberlanjutan. Dengan demikian, kelalaian yang disebutkan bukan hanya sesaat, tetapi merupakan kebiasaan yang melekat. Hal ini menegaskan betapa manusia sering tenggelam dalam kesenangan duniawi dan mengabaikan peringatan Allah.
Ayat ini menggunakan bentuk jumlah ismiyyah yang memberikan makna ketegasan dan kesinambungan. Kata سَامِدُونَ berasal dari سَمَدَ, yang dalam bahasa Arab klasik berarti lalai atau teralihkan oleh kesenangan, termasuk nyanyian dan hiburan yang berlebihan. Penggunaan kata ini memberikan efek sindiran yang tajam terhadap perilaku manusia. Selain itu, terdapat uslub ta'ajjub (ungkapan keheranan) dalam ayat sebelumnya, yang diperkuat dengan ayat ini, seolah menegaskan bahwa manusia berada dalam kondisi yang bertentangan dengan logika spiritual—tertawa di saat seharusnya mereka menangis karena kesadaran akan akhirat.
Kata سَامِدُونَ memiliki makna dasar "lalai" atau "sibuk dengan sesuatu yang tidak bermanfaat." Dalam konteks semantik, kata ini mengandung nuansa penyimpangan fokus dari sesuatu yang lebih penting ke sesuatu yang lebih rendah nilainya. Dalam berbagai tafsir, kata ini juga dikaitkan dengan sikap sombong dan kesenangan duniawi yang berlebihan, seperti musik dan hiburan yang melalaikan. Dengan demikian, ayat ini tidak hanya berbicara tentang kelalaian secara umum, tetapi juga tentang sikap manusia yang lebih memilih menikmati dunia sementara daripada mempersiapkan kehidupan akhirat. Ini memberi pesan moral agar manusia lebih sadar akan makna hidup yang sesungguhnya.
Dalam perspektif semiotika, kata سَامِدُونَ menjadi simbol dari ketidakpedulian manusia terhadap realitas hakiki. Ayat ini, jika dipahami secara lebih luas, mencerminkan bagaimana manusia cenderung mengalihkan perhatian dari hal-hal serius ke hal-hal yang bersifat hiburan semata. Dalam budaya modern, simbolisasi ini dapat ditemukan dalam fenomena ketergantungan pada media sosial, budaya konsumerisme, dan kecanduan hiburan digital yang sering kali menjauhkan manusia dari refleksi spiritual dan intelektual. Oleh karena itu, ayat ini dapat diinterpretasikan sebagai kritik terhadap budaya yang terlalu terfokus pada kesenangan sesaat tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap diri dan masyarakat.
Penjelasan Ulama Tafsir
Syaikh Mutawalli Sya'rawi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kata سٰمِدُوۡنَ berasal dari bahasa Arab klasik yang berarti lalai, bermain-main, atau berpaling dari hal yang seharusnya diperhatikan. Menurut beliau, ayat ini menggambarkan kondisi manusia yang terlalu sibuk dengan kesenangan duniawi sehingga melupakan peringatan Allah. Konteks ayat ini merujuk pada kaum Quraisy yang tetap bersuka ria meskipun telah diperingatkan tentang azab dan kehidupan setelah mati.
Syaikh Sya'rawi menyoroti bahwa kelalaian dalam konteks ini bukan sekadar ketidaktahuan, tetapi sikap mengabaikan kebenaran meskipun bukti telah jelas di hadapan mereka. Beliau juga menekankan bahwa kelalaian ini merupakan sifat yang bisa menjauhkan seseorang dari petunjuk Allah dan menjadikannya lebih rentan terhadap kesesatan. Dalam kehidupan modern, ayat ini bisa dikaitkan dengan kecenderungan manusia untuk terlalu fokus pada hiburan, teknologi, dan kesenangan dunia tanpa memperhatikan tanggung jawab spiritual serta intelektualnya.
Relevansinya dengan Sains dan Pendidikan
Dalam perspektif sains modern, konsep سٰمِدُوۡنَ bisa dikaitkan dengan fenomena digital distraction, yaitu kondisi di mana manusia kehilangan fokus akibat ketergantungan terhadap perangkat digital. Studi dalam ilmu psikologi menunjukkan bahwa paparan berlebihan terhadap hiburan digital dapat mengurangi kemampuan berpikir kritis dan memperburuk daya konsentrasi. Dalam konteks ini, pesan Al-Qur’an dalam Surah Al-Najm ayat 61 memiliki relevansi besar dengan penelitian tentang dampak kecanduan teknologi terhadap kesehatan mental dan produktivitas manusia.
Dalam dunia pendidikan, tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana mengatasi distraksi yang disebabkan oleh teknologi dan media sosial di kalangan pelajar. Ayat ini dapat menjadi dasar untuk merancang strategi pendidikan yang menekankan pentingnya kesadaran, fokus, dan keseimbangan antara hiburan dan pencapaian akademik. Pendekatan mindfulness education atau pendidikan berbasis kesadaran dapat menjadi solusi untuk mengatasi kelalaian ini dengan melatih siswa agar lebih hadir secara mental dan emosional dalam proses belajar.
Selain itu, perkembangan neuroscience education menunjukkan bahwa terlalu banyak hiburan digital dapat menghambat perkembangan otak dalam hal memori jangka panjang dan pemecahan masalah. Oleh karena itu, penting bagi pendidik untuk menerapkan metode pembelajaran yang interaktif, berbasis pengalaman nyata, dan membatasi distraksi agar siswa dapat mencapai pemahaman yang lebih mendalam dalam belajar.
Riset yang Relevan
Penelitian Dr. Linda K. Stone (2023),berjudul: "The Impact of Digital Distraction on Cognitive Performance in Adolescents". Ini sebuah penelitian eksperimental dengan kelompok kontrol. Sampel terdiri dari 500 siswa sekolah menengah di Amerika Serikat yang dibagi menjadi kelompok yang dibatasi akses digitalnya dan kelompok yang tidak dibatasi. Pengukuran dilakukan dengan tes kognitif dan survei fokus. Hasilnya menunjukkan bahwa siswa yang lebih sedikit menggunakan perangkat digital dalam waktu belajar menunjukkan peningkatan signifikan dalam konsentrasi dan pemecahan masalah dibandingkan dengan kelompok yang memiliki akses tanpa batas. Ini menunjukkan bahwa distraksi digital secara langsung mempengaruhi kemampuan berpikir dan mengurangi efektivitas belajar.
Swlain itu, penelitian Dr. Muhammad Al-Fadhil & Dr. Noor Aisyah (2024),berjudul "The Role of Mindfulness-Based Education in Reducing Academic Procrastination among University Students"'. Secara metodologis, ia menggunakan penelitian kuantitatif dengan metode survei dan eksperimen. Sampel penelitian adalah 300 mahasiswa dari tiga universitas di Malaysia. Kelompok intervensi diberikan pelatihan mindfulness selama 8 minggu, sementara kelompok kontrol tidak menerima intervensi. Penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa yang menerima pelatihan mindfulness mengalami penurunan signifikan dalam kebiasaan menunda tugas akademik dan peningkatan kesadaran belajar. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan berbasis kesadaran dapat menjadi solusi untuk mengatasi kelalaian dalam belajar, sebagaimana yang diperingatkan dalam Q.S. Al-Najm ayat 61.
Riset-riset ini mengonfirmasi bahwa pesan dalam Al-Qur’an tetap relevan di era modern, terutama dalam membangun kesadaran individu agar tidak terjerumus dalam kelalaian akibat hiburan dan teknologi.
0 komentar