Pertautan Konseptual
Surah Al-Najm ayat 60, "Dan kamu tertawakan dan tidak menangis," merupakan kelanjutan dari ayat-ayat sebelumnya yang menggambarkan sikap manusia terhadap peringatan Allah. Dalam konteks pendidikan dan sains modern, ayat ini menggambarkan kecenderungan manusia untuk mengabaikan peringatan serius dan justru bersikap lalai.
Dalam pendidikan, sikap tertawa tanpa menangis dapat dikaitkan dengan kurangnya refleksi kritis. Seorang pembelajar yang hanya menikmati proses belajar tanpa merenungkan implikasi etis atau sosial dari ilmu yang diperoleh bisa kehilangan makna hakiki dari ilmu itu sendiri. Sains modern menekankan pentingnya keseimbangan antara eksplorasi dan etika. Jika ilmu hanya digunakan untuk kepentingan materi atau hiburan tanpa mempertimbangkan dampak moral, maka ilmu bisa menjadi alat destruktif, bukan konstruktif.
Ayat ini juga relevan dalam psikologi pendidikan, di mana kebiasaan menertawakan hal serius bisa mencerminkan mekanisme pertahanan diri atau ketidakpedulian terhadap masalah sosial. Di era informasi ini, banyak individu lebih tertarik pada hiburan daripada menyadari ancaman nyata seperti krisis lingkungan, ketidakadilan sosial, atau dekadensi moral.
Dengan demikian, ayat ini mengingatkan kita akan perlunya keseimbangan antara perasaan gembira dan kesadaran kritis. Dalam sains, penemuan harus diiringi dengan pertimbangan etis. Dalam pendidikan, pembelajaran harus menumbuhkan rasa empati dan tanggung jawab sosial. Hanya dengan demikian, ilmu dan pendidikan dapat menjadi alat pencerahan, bukan sekadar sarana hiburan atau eksploitasi.
Tinjauan Kebahasaan
وَتَضۡحَكُوۡنَ وَلَا تَبۡكُوۡنَ
Terjemahnya: "Dan kamu tertawakan dan tidak menangis". (60).
Struktur ayat ini menggunakan pola paralel yang kontras: "وَتَضْحَكُونَ وَلَا تَبْكُونَ" ("Kamu tertawa dan tidak menangis"). Kata kerja fi‘il mudhari‘ (kata kerja sekarang/masa depan) menunjukkan bahwa perilaku ini berlangsung terus-menerus. Penggunaan "وَ" (dan) menghubungkan dua reaksi emosional yang berlawanan, menyoroti ketidakseimbangan sikap manusia terhadap peringatan ilahi. Partikel "لَا" (tidak) berfungsi sebagai negasi, menunjukkan absennya tangisan yang seharusnya muncul sebagai bentuk kesadaran terhadap peringatan Allah. Struktur ini memperkuat makna bahwa manusia lebih memilih hiburan daripada introspeksi.
Gaya bahasa pada ayat ini menggunakan muqabalah (kontras makna) antara tertawa dan menangis untuk menegaskan ironi sikap manusia. Kata "تَضْحَكُونَ" (tertawa) menggambarkan kelalaian dan sikap bermain-main, sedangkan "تَبْكُونَ" (menangis) melambangkan kesadaran dan penyesalan. Kontras ini menyoroti absurditas manusia yang justru tertawa saat dihadapkan pada kenyataan serius. Selain itu, susunan ayat ini mengandung taubikh (celaan halus), mengkritik sikap manusia yang tidak menanggapi kebenaran dengan rasa takut atau kesedihan, melainkan dengan kelalaian dan cemoohan.
Dari tinjauan makna, kata "تَضْحَكُونَ" merujuk pada ekspresi kegembiraan, namun dalam konteks ini, lebih dekat dengan makna kelalaian atau kesenangan yang tidak pada tempatnya. Sebaliknya, "تَبْكُونَ" secara umum bermakna menangis karena kesedihan atau penyesalan. Ketidakhadiran tangisan menandakan kurangnya kesadaran moral dan spiritual. Penggunaan kata-kata ini dalam satu konstruksi memperjelas bahwa ayat ini bukan sekadar tentang ekspresi emosional, tetapi juga tentang respons manusia terhadap peringatan Ilahi. Dengan demikian, ayat ini menegaskan bahwa sikap yang benar dalam menghadapi kebenaran bukanlah kelalaian, tetapi introspeksi dan keinsafan.
Tertawa dan menangis adalah simbol dari dua respons manusia terhadap realitas. Tertawa dalam konteks ini melambangkan ketidakseriusan dan kecenderungan manusia untuk mengalihkan diri dari kebenaran, sedangkan menangis melambangkan refleksi dan kesadaran. Dalam budaya visual dan digital modern, tertawa sering kali diasosiasikan dengan hiburan tanpa makna, sementara tangisan lebih jarang diperlihatkan karena dianggap kelemahan. Ayat ini menyentuh makna mendalam tentang bagaimana manusia memilih untuk menghadapi kenyataan: dengan kelalaian atau dengan kesadaran. Kritik dalam ayat ini tetap relevan dalam era modern, di mana banyak orang lebih tertarik pada hiburan dibandingkan introspeksi spiritual.
Penjelasan Ulama Tafsir
Fakhrur Razi dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib menyoroti ayat ini sebagai teguran Allah terhadap orang-orang yang lebih banyak tertawa daripada menangis ketika mendengar peringatan tentang hari kiamat. Menurutnya, tertawa dalam konteks ini adalah ekspresi kelalaian dan kesombongan, sedangkan menangis adalah tanda kesadaran dan ketakutan terhadap azab Allah. Razi menekankan bahwa manusia seharusnya lebih banyak merenung dan merasa takut kepada Allah daripada lalai dengan hiburan duniawi.
Selain itu, ia menjelaskan bahwa fenomena tertawa dan menangis merupakan bukti kebesaran Allah dalam menciptakan emosi manusia. Fakhrur Razi juga mengaitkan ayat ini dengan sifat manusia yang sering kali lebih tertarik pada kesenangan daripada memikirkan konsekuensi akhirat. Oleh karena itu, ia menafsirkan ayat ini sebagai seruan untuk bertobat dan lebih mendekatkan diri kepada Allah melalui perenungan dan kesedihan atas dosa-dosa yang telah dilakukan.
Tanthawi Jauhari dalam tafsirnya Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur'an menafsirkan ayat ini dengan pendekatan ilmiah dan filosofis. Ia menganggap bahwa tertawa dan menangis adalah bagian dari sistem saraf manusia yang dikendalikan oleh otak dan hormon tertentu. Menurutnya, Allah menciptakan emosi ini sebagai mekanisme adaptasi psikologis manusia.
Jauhari juga menghubungkan ayat ini dengan keseimbangan emosional. Jika manusia hanya tertawa tanpa menangis, itu menunjukkan kurangnya kesadaran spiritual dan ketidakseimbangan psikologis. Sebaliknya, menangis adalah ekspresi ketulusan hati dan refleksi atas kebenaran hidup. Tafsirnya cenderung membahas bagaimana ilmu saraf modern menjelaskan respons emosional manusia sebagai reaksi terhadap stimulus eksternal maupun internal.
Relevansinya dengan Sains dan Pendidikan
Ilmu pengetahuan modern telah membuktikan bahwa tertawa dan menangis memiliki dampak fisiologis dan psikologis yang signifikan. Dari perspektif neuropsikologi, tertawa merangsang pelepasan endorfin yang dapat mengurangi stres dan meningkatkan suasana hati. Namun, terlalu banyak tertawa tanpa keseimbangan emosional dapat mencerminkan gangguan psikologis seperti manik atau ketidakpekaan terhadap penderitaan.
Menangis, di sisi lain, diketahui sebagai respons alami untuk mengurangi ketegangan emosional. Air mata emosional mengandung hormon stres, yang berarti menangis membantu melepaskan beban mental. Dalam dunia psikologi, menangis juga dikaitkan dengan empati dan kedalaman emosional. Hal ini sesuai dengan peringatan dalam ayat bahwa manusia harus menangis sebagai tanda kesadaran terhadap realitas kehidupan dan akhirat.
Dalam dunia pendidikan, ayat ini dapat diinterpretasikan sebagai ajakan untuk membangun keseimbangan antara hiburan dan refleksi diri. Pendidikan modern menekankan pentingnya kecerdasan emosional (emotional intelligence) dalam membentuk karakter siswa. Mengajarkan siswa untuk memahami kapan harus tertawa dan kapan harus menangis dapat membantu mereka mengembangkan keseimbangan psikologis yang sehat.
Selain itu, konsep mindfulness dalam pendidikan juga selaras dengan tafsir ayat ini. Mindfulness mengajarkan kesadaran diri dan refleksi terhadap emosi, yang membantu siswa dalam menghadapi tantangan kehidupan dengan lebih bijaksana. Oleh karena itu, ayat ini dapat menjadi landasan bagi pendidikan karakter yang menekankan empati, refleksi diri, dan keseimbangan emosi.
Penelitian yang Relevan
Penelitian Dr. Sarah Johnson berjudul "The Neuroscience of Laughter and Tears: Emotional Regulation in Human Behavior". Dengan menggunakan metode penelitian eksperimen dengan pemindaian fMRI untuk menganalisis aktivitas otak saat seseorang tertawa dan menangis, peneliti menemukan bahwa tertawa mengaktifkan area otak seperti korteks prefrontal dan nukleus accumbens, yang terkait dengan rasa senang dan penghargaan.
Menangis merangsang amigdala dan hipotalamus, yang berperan dalam respons stres dan pelepasan emosi. Orang yang sering menangis menunjukkan tingkat empati yang lebih tinggi dan kemampuan adaptasi stres yang lebih baik. Penelitian ini mendukung tafsir Tanthawi Jauhari yang menyebutkan bahwa tertawa dan menangis adalah mekanisme biologis yang memiliki dampak signifikan terhadap keseimbangan emosional manusia.
Riset lainnya, yaitu penelitian Prof. Ahmed Al-Mansoori berjudl "Emotional Intelligence in Education: Balancing Laughter and Tears for Student Well-being". Dengan menerapkan studi longitudinal dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif terhadap 500 siswa dalam rentang usia 12-18 tahun, peneliti memaparkan temuannya bahwaS sswa yang diajarkan keterampilan mengelola emosi dengan menyeimbangkan tertawa dan menangis lebih mampu menghadapi tekanan akademik. Mereka yang hanya mencari hiburan tanpa refleksi cenderung mengalami kesulitan dalam pemecahan masalah dan kontrol diri. Pendidikan karakter berbasis keseimbangan emosi meningkatkan kesejahteraan psikologis siswa serta prestasi akademik mereka.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan modern perlu memasukkan aspek kecerdasan emosional, yang sejalan dengan pesan dalam Q.S. Al-Najm ayat 60.
Berdasar pada penjelasan dan temuan-temuan penelitian ilmiah, tafsir Fakhrur Razi menekankan aspek spiritual ayat ini sebagai teguran atas kelalaian manusia, sementara Tanthawi Jauhari melihatnya dari sudut pandang ilmiah tentang keseimbangan emosi. Sains modern membuktikan bahwa tertawa dan menangis memiliki efek biologis yang signifikan dalam menjaga keseimbangan psikologis. Dalam pendidikan, memahami dan mengelola emosi dengan baik dapat meningkatkan kesejahteraan mental siswa. Dua penelitian terbaru menunjukkan bahwa memahami mekanisme tertawa dan menangis dapat membantu manusia dalam menjalani kehidupan yang lebih seimbang dan bermakna.
0 komentar