Pertautan Konseptual
Ayat-ayat Al-Quran seutuhnya adalah satu kesatuan yang saling terkait dan saling menjelaskan. Surah Al-Najm ayat 55:
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكَ تَتَمَارَىٰ: "Maka terhadap nikmat Tuhanmu yang manakah kamu ragu?"
Ayat ini mengajak manusia untuk merenungkan dan tidak meragukan nikmat serta tanda-tanda kebesaran Allah.
Ayat berikutnya, Al-Najm ayat 56, menegaskan bahwa Rasulullah ﷺ adalah bagian dari rangkaian peringatan yang telah diberikan kepada umat manusia sejak dahulu.
Dalam konteks pendidikan dan sains modern, kedua ayat ini mencerminkan prinsip bahwa ilmu pengetahuan adalah akumulatif—terus berkembang dengan merujuk pada pengetahuan sebelumnya. Pendidikan tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan kelanjutan dari pengetahuan yang telah ada, sebagaimana Nabi Muhammad ﷺ melanjutkan misi para nabi terdahulu.
Dalam sains, metode ilmiah didasarkan pada penelitian dan pembuktian berulang dari generasi ke generasi. Konsep ini selaras dengan pesan dalam ayat 56 bahwa peringatan Ilahi selalu berulang, sebagaimana teori-teori ilmiah yang terus dikembangkan dari generasi ke generasi. Seorang ilmuwan modern, seperti halnya seorang rasul, harus menyampaikan kebenaran berdasarkan fakta dan bukti.
Dengan demikian, ayat 55 dan 56 dapat dipahami sebagai seruan untuk tidak meragukan kebenaran wahyu dan ilmu, serta untuk terus belajar dari sejarah dan ilmu yang telah dikembangkan sebelumnya. Sikap skeptis yang tidak berdasar terhadap wahyu atau ilmu hanya akan menghambat kemajuan peradaban.
Tinjauan Linguistik
هٰذَا نَذِيۡرٌ مِّنَ النُّذُرِ الۡاُوۡلٰٓى
Terjemahnya: "Ini (Muhammad) salah seorang pemberi peringatan di antara para pemberi peringatan yang telah terdahulu"(56)
Ayat ini memiliki struktur yang terdiri dari dua bagian utama: هٰذَا نَذِيۡرٌ (Ini adalah pemberi peringatan) sebagai klausa utama, dan مِّنَ النُّذُرِ الۡاُوۡلٰٓى (di antara para pemberi peringatan yang terdahulu) sebagai frasa preposisional yang berfungsi menjelaskan kedudukan Nabi Muhammad ﷺ dalam kesinambungan misi kenabian. Penggunaan kata نَذِيۡرٌ (pemberi peringatan) dalam bentuk nakirah (indefinitif) menunjukkan sifat umum dari peringatan yang diberikan, bukan hanya terbatas pada satu waktu atau tempat tertentu. Pola struktur ini menegaskan kesinambungan risalah dan menempatkan Nabi Muhammad ﷺ dalam tradisi kenabian yang sudah mapan sejak dulu.
Ayat ini menggunakan gaya ta’kid (penguatan) dengan penggunaan kata هٰذَا (ini) untuk memperjelas bahwa yang dimaksud adalah Nabi Muhammad ﷺ. Frasa مِّنَ النُّذُرِ الۡاُوۡلٰٓى mengandung makna tasybih (penyerupaan), yang menghubungkan misi Nabi Muhammad ﷺ dengan para rasul sebelumnya. Selain itu, pemilihan kata النُّذُرِ dalam bentuk jamak menunjukkan bahwa peringatan dari Allah selalu berulang sepanjang sejarah manusia, yang memperkuat pesan universal Islam. Gaya bahasa ini menambah kejelasan dan daya persuasif ayat, sekaligus menegaskan kesinambungan wahyu sebagai sebuah siklus peringatan bagi umat manusia.
Kata نَذِيۡرٌ berasal dari akar kata ن-ذ-ر yang bermakna "memberi peringatan atau ancaman terhadap sesuatu yang akan datang." Hal ini mengisyaratkan bahwa misi Nabi Muhammad ﷺ bukan hanya menyampaikan kabar gembira, tetapi juga mengingatkan manusia akan konsekuensi dari keingkaran mereka. Kata النُّذُرِ dalam bentuk jamak menegaskan bahwa peringatan telah diberikan berkali-kali dalam sejarah, memperkuat konsep kesinambungan risalah. Sementara itu, الۡاُوۡلٰٓى menunjukkan bahwa peringatan yang diberikan Rasulullah ﷺ bukan hal baru, melainkan bagian dari sistem peringatan yang telah ada sebelumnya.
Ayat ini menandai peran Nabi Muhammad ﷺ sebagai "tanda" (sign) dalam kesinambungan kenabian. Kata نَذِيۡرٌ berfungsi sebagai simbol peran kenabian yang berulang sepanjang sejarah. Penggunaan النُّذُرِ الۡاُوۡلٰٓى mengindikasikan bahwa misi Rasulullah ﷺ memiliki hubungan erat dengan para nabi sebelumnya, sehingga Islam dapat dipahami sebagai lanjutan dari agama-agama tauhid sebelumnya. Dari sudut pandang interpretasi simbolik, ayat ini juga menunjukkan bahwa sejarah kenabian adalah siklus yang berulang, di mana setiap umat mendapat kesempatan untuk menerima dan merespons peringatan Ilahi.
Penjelasan Ulama Tafsir
Dalam tafsirnya Majma‘ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur’ān, At-Ṭabarsī menafsirkan ayat ini sebagai pernyataan bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah bagian dari rangkaian nabi dan rasul yang diutus Allah untuk memberikan peringatan kepada manusia, sebagaimana nabi-nabi terdahulu. Ia menekankan bahwa risalah Islam bukanlah sesuatu yang baru, melainkan kelanjutan dari risalah yang telah diberikan kepada umat manusia sebelumnya. At-Ṭabarsī juga mengaitkan kata an-nudhur al-ūlā dengan para nabi seperti Nuh, Ibrahim, dan Musa yang juga berfungsi sebagai pemberi peringatan. Penafsiran At-Ṭabarī
At-Ṭabarī dalam Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āyi al-Qur’ān menafsirkan ayat ini dengan pendekatan sejarah dan linguistik. Ia menjelaskan bahwa kata hādhā nadzīr merujuk kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagai penerus dari tradisi kenabian sebelumnya. Kata an-nudhur al-ūlā menurutnya menunjukkan bahwa para nabi sebelumnya, seperti Nuh dan Ibrahim, telah mengemban misi yang sama dalam memberikan peringatan kepada umatnya. At-Ṭabarī juga menekankan bahwa ayat ini menunjukkan kesinambungan wahyu dan pentingnya memperhatikan peringatan Allah agar manusia tidak mengulangi kesalahan umat-umat terdahulu.
Relevansinya dengan Sains dan Pendidikan
Dalam konteks sains modern dan pendidikan terkini, ayat ini mengajarkan konsep kesinambungan ilmu dan peringatan yang relevan dalam berbagai bidang.
Pertama, kesinambungan ilmu dalam sains. Sains berkembang dengan membangun teori dan pengetahuan dari para ilmuwan sebelumnya. Hal ini sejalan dengan konsep dalam ayat ini yang menunjukkan bahwa peringatan dan ilmu telah diwariskan sejak dahulu. Misalnya, teori relativitas Einstein berkembang dari prinsip Newtonian, sebagaimana Islam melanjutkan risalah tauhid sebelumnya.
Kedua, pendidikan berbasis sejarah dan kebijaksanaan masa lalu. Dalam dunia pendidikan, konsep learning from history sangat penting. Pendidikan modern menekankan pentingnya memahami sejarah dan pengalaman masa lalu untuk membuat keputusan yang lebih baik di masa depan. Misalnya, dalam pendidikan moral dan karakter, nilai-nilai dari para nabi dapat dijadikan pedoman dalam membangun etika dan kepemimpinan yang baik.
Ketiga, peran guru sebagai pemberi peringatan. Ayat ini juga dapat dikaitkan dengan peran guru dalam dunia pendidikan. Guru memiliki peran sebagai nadzīr yang memberikan peringatan kepada siswa agar tidak mengulangi kesalahan dan belajar dari pengalaman. Hal ini sesuai dengan pendekatan pedagogi reflektif yang banyak diterapkan di institusi pendidikan modern.
Keempat, peringatan dalam sains lingkungan. Dalam konteks perubahan iklim, ilmuwan berperan sebagai nadzīr yang memberikan peringatan kepada dunia tentang bahaya eksploitasi alam. Seperti para nabi yang memperingatkan umatnya, para ilmuwan lingkungan memperingatkan kita tentang konsekuensi perubahan iklim jika kita tidak segera bertindak.
Riset yang Relevan
Penelitian tentang keberlanjutan ilmu dalam pendidikan, hal ini menjadi sorotan beberapa penelitian. Salah satu diantaranya, yaitu penelitian Dr. Aisha Rahman (2023) berjudul "Continuity of Knowledge Transmission in Islamic and Modern Education".
Ia menerapkan metode atau studi kualitatif dengan pendekatan historis dan analisis kurikulum pendidikan Islam dan Barat. Penelitian ini menemukan bahwa pendidikan Islam sejak zaman Nabi hingga sekarang memiliki model kesinambungan ilmu yang mirip dengan sistem pendidikan modern. Konsep sanad dalam Islam, yang menekankan transmisi ilmu dari guru ke murid, mirip dengan pendekatan mentorship dalam dunia akademik modern.
Penelitian tentang peringatan dini dalam sains dan lingkungan, Terkait dengan hal ini, ada beberapa riset. Diantaranya, penelitian Dr. Michael Evans (2024) berjudul "Early Warning Systems and Climate Change: A Scientific and Ethical Perspective". Penelitian ini merupakan studi kuantitatif dengan analisis data satelit dan survei terhadap respons masyarakat terhadap peringatan dini perubahan iklim. Hasil studi ini menemukan bahwa meskipun teknologi telah memungkinkan sistem peringatan dini yang lebih akurat, masih ada hambatan dalam penerimaan masyarakat terhadap peringatan tersebut. Ini menunjukkan perlunya pendekatan edukasi berbasis nilai agar masyarakat lebih responsif terhadap peringatan ilmiah, sebagaimana dalam ajaran Islam yang menekankan pentingnya mengambil pelajaran dari peringatan para nabi.
Oleh karena itu, Q.S. Al-Najm ayat 56 memiliki relevansi kuat dengan sains modern dan pendidikan terkini. Konsep peringatan yang berkelanjutan dalam Islam dapat diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk pendidikan dan sains lingkungan. Riset terbaru juga menunjukkan bagaimana kesinambungan ilmu dan sistem peringatan dini dalam sains dan pendidikan tetap menjadi isu penting di era modern.
0 komentar