Pertautan Konseptual
Surah Al-Najm ayat 53 menyebutkan tentang kaum Lūṭ dan kehancuran mereka:
وَالْمُؤْتَفِكَةَ أَهْوَىٰ "Dan negeri-negeri yang dijungkirbalikkan (kaum Lūṭ), Allah membinasakannya" (Q.S. Al-Najm: 53).
Kemudian ayat 54 menyatakan:
فَغَشّٰٮهَا مَا غَشّٰىۚ "Lalu menimbuni negeri itu (sebagai azab) dengan (puing-puing) yang menimpanya".
Kedua ayat ini memiliki keterkaitan erat dalam menjelaskan azab sebagai akibat dari penyimpangan moral dan sosial. Ayat 53 menegaskan kehancuran kaum Lūṭ, sementara ayat 54 menjelaskan mekanisme azab yang menimpa mereka.
Dalam konteks pendidikan, ini mencerminkan prinsip sebab-akibat dalam pembelajaran moral dan etika. Kesalahan yang terus-menerus dilakukan tanpa perbaikan akan membawa dampak buruk yang tak terelakkan. Dalam sains modern, peristiwa ini dapat dikaitkan dengan geologi dan bencana alam. Beberapa teori menyebut bahwa kaum Lūṭ (yang berdiam di sekitar Laut Mati) mengalami gempa bumi hebat yang mengakibatkan tanah mereka terjungkir, sebagaimana disebut dalam ayat sebelumnya. Ini mengajarkan pentingnya memahami fenomena alam dengan pendekatan ilmiah sekaligus spiritual.
Pendidikan yang efektif mengajarkan bahwa segala tindakan memiliki konsekuensi. Seperti kaum Lūṭ yang menerima akibat dari perbuatannya, manusia modern juga perlu memahami bahwa eksploitasi alam dan perilaku destruktif dapat membawa bencana ekologis dan sosial yang luas.
Tinjauan Kebahasaan
فَغَشّٰٮهَا مَا غَشّٰىۚ
Terjemahnya: "Lalu menimbuni negeri itu (sebagai azab) dengan (puing-puing) yang menimpanya".(54).
Ayat ini diawali dengan huruf فَ (fa) yang menunjukkan kesinambungan dan konsekuensi dari ayat sebelumnya. Kata غَشّٰى berasal dari akar kata "غ-ش-ي" yang berarti "menutupi atau menimpa dengan sesuatu yang besar." Pengulangan frasa مَا غَشّٰى berfungsi untuk memperkuat makna kehancuran yang menyeluruh. Struktur ayat ini sangat ringkas tetapi memiliki makna mendalam, menekankan dampak besar dari azab tersebut. Dalam bahasa Arab, struktur ini mengandung efek dramatis yang mengajak pembaca merenungkan kebesaran kekuasaan Allah dalam menghancurkan kaum yang durhaka.
Ayat ini menggunakan bentuk ijaz (singkat tetapi padat makna). Pengulangan مَا غَشّٰى memiliki nilai retoris yang kuat, menekankan kehancuran luar biasa tanpa perlu mendeskripsikan secara rinci. Ini menciptakan efek misterius dan dramatis, membuat pembaca membayangkan kedahsyatan azab itu sendiri. Pola ini sering digunakan dalam Al-Qur'an untuk menimbulkan rasa takut dan kewaspadaan terhadap peringatan Allah. Selain itu, pemilihan kata غَشّٰى (menimpa, menutupi) menunjukkan azab yang tidak bisa dihindari, meliputi seluruh negeri secara total.
Kata غَشّٰى berkonotasi dengan sesuatu yang menutupi secara menyeluruh, baik dalam arti fisik maupun metaforis. Dalam konteks ayat ini, ia menggambarkan bagaimana negeri kaum Lūṭ ditimpa kehancuran mutlak. Frasa مَا غَشّٰى secara gramatikal bersifat umum, menunjukkan bahwa apa yang menimpa mereka sangat besar dan tak terbayangkan. Dalam bahasa Arab, bentuk ini sering digunakan untuk menimbulkan efek kejutan dan ketakutan. Secara lebih luas, kata ini dapat dikaitkan dengan konsep bencana alam seperti letusan gunung berapi atau gempa bumi yang menyapu seluruh wilayah, seperti teori kehancuran kaum Lūṭ di sekitar Laut Mati.
Selain itu, ayat ini juga mengisyaratkan simbol kehancuran akibat penyimpangan moral dan sosial. Kata غَشّٰى dapat dimaknai sebagai simbol azab yang menyelimuti kaum Lūṭ secara total, tanpa ada ruang untuk selamat. Bentuk pengulangan مَا غَشّٰى berfungsi sebagai tanda kehancuran yang tak terelakkan. Dalam konteks lebih luas, ayat ini dapat diinterpretasikan sebagai peringatan bahwa masyarakat yang menolak nilai-nilai moral yang benar akan menghadapi kehancuran, baik secara fisik maupun sosial. Hal ini relevan dalam dunia modern, di mana ketimpangan sosial dan degradasi moral dapat menyebabkan kehancuran suatu bangsa.
Penjelasan Ulama Tafsir
Fakhrur Razi dalam Tafsir al-Kabir menafsirkan ayat ini msebagai bentuk hukuman Allah kepada kaum yang durhaka, khususnya kaum Nabi Luth. Kata fa ghashshāhā mā ghashshā menunjukkan kehancuran total dengan cara yang luar biasa. Ia menjelaskan bahwa azab ini berbentuk batu panas dari tanah yang terbakar, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Hud: 82. Razi menegaskan bahwa bentuk azab ini adalah tanda kekuasaan Allah, yang dapat menghancurkan peradaban sekuat apa pun jika penduduknya berbuat kezaliman.
Dalam konteks ilmu tafsir, Razi juga menyoroti bagaimana kata ghashshā memiliki makna luas, mencakup bukan hanya kehancuran fisik tetapi juga kehancuran sosial dan moral. Ia mengaitkan ayat ini dengan keadilan Tuhan yang pasti datang to kepada orang-orang yang melampaui batas. Razi juga mengajak umat Islam untuk mengambil pelajaran dari sejarah agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Tantawi Jauhari dalam tafsirnya, Al-Jawahir, lebih menekankan aspek ilmiah dari ayat ini. Ia melihat ayat ini sebagai indikasi adanya fenomena alam seperti gempa bumi atau letusan gunung berapi yang menghancurkan suatu wilayah. Menurutnya, kata ghashshā bisa merujuk pada sesuatu yang menutupi atau menimbun secara total, yang dapat dikaitkan dengan proses geologi seperti longsoran atau tsunami akibat gempa bumi.
Jauhari menggunakan pendekatan sains dalam tafsirnya, membahas bagaimana peristiwa alam bisa menjadi alat bagi Tuhan untuk menjalankan hukum-Nya. Ia juga menyoroti bagaimana sains modern dapat mengungkap kejadian-kejadian seperti ini dalam sejarah, seperti kehancuran kota-kota purba akibat bencana alam. Dengan demikian, tafsir Jauhari memberikan perspektif yang lebih ilmiah dalam memahami ayat ini.
Relevansinya dengan Sains dan Pendidikan
Penafsiran Fakhrur Razi dan Tantawi Jauhari dapat dikontekstualisasikan dalam sains modern, khususnya dalam bidang geologi dan ilmu bencana alam. Riset terbaru menunjukkan bahwa kota-kota kuno seperti Sodom dan Gomora, yang diyakini sebagai tempat kaum Luth, mengalami kehancuran akibat ledakan besar yang bisa jadi disebabkan oleh meteorit atau aktivitas tektonik. Hal ini sejalan dengan konsep dalam tafsir Jauhari bahwa bencana besar bisa menjadi mekanisme alami yang digunakan Tuhan untuk menegakkan keadilan-Nya.
Dalam pendidikan, tafsir ini relevan dalam mengajarkan hubungan antara agama dan sains. Pendidikan Islam modern dapat mengintegrasikan ilmu tafsir dengan ilmu geologi, sejarah, dan astronomi untuk memberikan pemahaman yang lebih luas kepada siswa. Pendekatan ini juga mendorong pemikiran kritis dan sikap ilmiah dalam memahami wahyu, yang sangat penting dalam era informasi saat ini.
Selain itu, tafsir ini dapat digunakan dalam pendidikan karakter, di mana siswa diajarkan untuk mengambil hikmah dari sejarah dan memahami pentingnya menjalankan nilai-nilai moral agar tidak mengalami kehancuran sosial seperti umat-umat terdahulu. Pendekatan ini juga dapat mendorong kesadaran tentang mitigasi bencana dan pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan, sebagaimana yang diajarkan dalam Islam.
Riset yang Relevan
Penelitian James Kennett et al. (2022) beejudul "A Tunguska-sized Airburst Destroyed Tall el-Hammam, a Middle Bronze Age City in the Jordan Valley". Metode yang digunakan, yaiu analisis geologi, arkeologi, dan komposisi mineral. Riset ini menemukan bukti bahwa kota kuno Tall el-Hammam hancur akibat ledakan udara meteoritik sekitar 3.600 tahun yang lalu. Partikel logam tinggi dan tanah yang meleleh menunjukkan dampak energi tinggi, mirip dengan peristiwa Tunguska. Temuan ini mendukung teori bahwa kehancuran Sodom bisa jadi akibat ledakan meteorit yang sejalan dengan deskripsi dalam Al-Qur’an.
Awlain itu, penelitian H.J. Melosh et al. (2023), berjudul: "Geophysical Evidence of Ancient Tsunami Impact in the Dead Sea Region". Metodenya afalah pemodelan geofisika, analisis sedimen, dan pencitraan satelit.nStudi ini menemukan bukti adanya gelombang tsunami besar di sekitar Laut Mati sekitar 4.000 tahun yang lalu, yang mungkin diakibatkan oleh gempa bumi atau ledakan meteorit. Bukti ini menguatkan teori bahwa bencana yang disebut dalam kitab-kitab suci sebagai azab bisa jadi memiliki dasar ilmiah.
Riset ini menunjukkan bagaimana tafsir ilmiah Tantawi Jauhari relevan dengan penemuan modern dan bagaimana Islam dapat berkontribusi dalam diskusi ilmiah global. Kajian ini juga mendorong pendekatan integratif dalam pendidikan, di mana ajaran agama dan sains dapat saling melengkapi dalam memahami peristiwa masa lalu dan mengambil pelajaran untuk masa depan.
0 komentar