Pertautan Konseptual
Surah Al-Najm ayat 51 menyebutkan kehancuran kaum ‘Ād, sementara ayat 52 menyebutkan kaum Nuh sebagai kaum yang paling zalim dan durhaka. Keterkaitan antara kedua ayat ini menunjukkan pola sebab-akibat dalam sejarah umat manusia: kesalahan yang berulang berujung pada kehancuran.
Dalam konteks pendidikan dan sains modern, prinsip ini relevan dalam memahami siklus peradaban dan pentingnya pembelajaran dari sejarah. Pendidikan yang baik bertujuan mencegah kesalahan yang sama terjadi di masa depan. Jika ilmu dan kebijaksanaan tidak diwariskan dengan baik, generasi berikutnya dapat mengulangi kesalahan yang sama, sebagaimana kaum ‘Ād dan Nuh.
Dalam sains, konsep ini sejalan dengan metode ilmiah: belajar dari kesalahan dan memperbaiki teori. Ketika suatu eksperimen gagal, ilmuwan tidak mengulanginya tanpa perbaikan, tetapi mencari solusi agar tidak jatuh dalam kesalahan yang sama. Dalam pendidikan, kesalahan masa lalu dalam sistem pembelajaran harus dievaluasi agar generasi berikutnya lebih maju.
Ayat ini mengajarkan bahwa keberlanjutan peradaban bergantung pada kesadaran kolektif untuk belajar dari masa lalu. Jika sebuah masyarakat terus mengabaikan ilmu dan kebijaksanaan, mereka berisiko mengalami kehancuran seperti kaum terdahulu.
Tinjauan Kebahasaan
وَقَوۡمَ نُوۡحٍ مِّنۡ قَبۡلُؕ اِنَّهُمۡ كَانُوۡا هُمۡ اَظۡلَمَ وَاَطۡغٰىؕ
Terjemahnya: "Dan (juga) kaum Nuh sebelum itu. Sungguh, mereka adalah orang-orang yang paling zhalim dan paling durhaka." (52).
Ayat ini terdiri dari dua bagian utama. Bagian pertama, "وَقَوۡمَ نُوۡحٍ مِّنۡ قَبۡلُؕ", mengacu pada kaum Nuh sebagai contoh kehancuran umat terdahulu. Bagian kedua, "اِنَّهُمۡ كَانُوۡا هُمۡ اَظۡلَمَ وَاَطۡغٰىؕ", menjelaskan alasan kehancuran mereka, yaitu kezaliman dan kedurhakaan. Penggunaan إِنَّهُمۡ menegaskan kepastian sifat buruk mereka. Kata هُمُ sebagai dhamir fasl memperkuat eksklusivitas mereka sebagai kaum paling zalim dan durhaka. Struktur ini memperlihatkan kesinambungan dengan ayat sebelumnya yang membahas kaum ‘Ād, menunjukkan pola kehancuran akibat kezaliman.
Ayat ini menggunakan taukid (penegasan) dengan إِنَّهُمۡ untuk menguatkan bahwa kaum Nuh benar-benar lebih zalim dan durhaka dibanding kaum sebelumnya. Penggunaan kata أَظْلَمَ (paling zalim) dan أَطْغَى (paling durhaka) adalah bentuk superlatif (Ism Tafdhil), menunjukkan bahwa mereka mencapai puncak kezaliman. Selain itu, kata هُمُ memberikan makna eksklusivitas, menegaskan bahwa mereka lebih buruk daripada kaum lain. Ayat ini juga menggunakan pengulangan pola kehancuran sebagai peringatan bagi generasi setelahnya, mengajak pembaca untuk mengambil pelajaran dari sejarah umat-umat terdahulu.
Kata أَظْلَمَ berasal dari akar kata ظلم (z-l-m) yang berarti ketidakadilan, penindasan, atau menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Sementara أَطْغَى berasal dari akar kata طغى (t-gh-y) yang berarti melampaui batas, menunjukkan kedurhakaan yang berlebihan. Penggunaan bentuk superlatif (af‘al tafdhil) mengindikasikan bahwa kaum Nuh bukan hanya zalim dan durhaka, tetapi mencapai tingkat paling tinggi dalam dua aspek ini dibandingkan kaum sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa kezaliman dan kedurhakaan mereka memiliki dampak besar terhadap kehancuran mereka, sebagaimana yang tercatat dalam sejarah para nabi.
Ayat ini merepresentasikan pola peringatan dalam Al-Qur'an: umat yang zalim dan melampaui batas akan dihancurkan. Kaum Nuh melambangkan masyarakat yang mengabaikan kebenaran meskipun telah diberikan peringatan berulang kali. Simbolisme kata أَظْلَمَ dan أَطْغَى menunjukkan bahwa kezaliman dan kedurhakaan bukan hanya kesalahan individu, tetapi juga penyakit sosial yang menghancurkan peradaban. Ayat ini berfungsi sebagai tanda (sign) bagi umat manusia agar tidak mengulangi kesalahan serupa. Konteks historisnya juga menjadi peringatan bagi generasi modern untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan beradab.
Penjelasan Ulama Tafsir
Imam At-Tabari dalam kitabnya Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āyi al-Qur’ān menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan kebinasaan kaum Nuh sebagai akibat dari kezaliman dan kesombongan mereka terhadap wahyu Allah. Menurut At-Tabari, kata aẓlam (paling zalim) merujuk pada penolakan kaum Nuh terhadap ajaran tauhid, sedangkan aṭghā (paling durhaka) menunjukkan kesombongan mereka yang berlebihan hingga menantang kebenaran secara terbuka.
At-Tabari mengutip hadis dan riwayat para sahabat yang menegaskan bahwa kaum Nuh dikenal sebagai masyarakat yang pertama kali melakukan kesyirikan secara terang-terangan. Mereka tidak hanya menolak dakwah Nabi Nuh, tetapi juga menghina dan menganiaya para pengikutnya. Akibatnya, mereka dihancurkan dengan banjir besar sebagai bentuk hukuman Allah yang setimpal.
At-Tabarsi dalam tafsirnya Majma‘ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur’ān memiliki pandangan yang sejalan dengan At-Tabari, namun ia lebih menekankan aspek moral dan sosial dari kezaliman kaum Nuh. Ia menjelaskan bahwa kezaliman mereka tidak hanya bersifat teologis (menolak Allah), tetapi juga sosial, seperti penindasan terhadap orang-orang lemah.
At-Tabarsi menafsirkan kata aṭghā sebagai sikap berlebihan dalam menolak kebenaran, yang mengarah pada kehancuran moral dan struktural dalam masyarakat. Ia menegaskan bahwa sejarah kaum Nuh menjadi peringatan bagi generasi berikutnya agar tidak mengulangi kesalahan yang sama, yakni menyombongkan diri terhadap petunjuk Allah dan menindas sesama manusia.
Relevansinya dengan Sains Modern dan Pendidikan
Kisah kaum Nuh dalam Q.S. Al-Najm ayat 52 memiliki relevansi dengan beberapa bidang ilmu modern, terutama dalam kajian perubahan iklim, sosiologi, dan pendidikan moral.
1. Bencana Alam dan Perubahan Iklim
Dari perspektif sains, banjir besar yang menimpa kaum Nuh dapat dikaitkan dengan teori perubahan iklim dan dampaknya terhadap peradaban manusia. Ilmuwan modern telah menemukan bukti adanya banjir besar dalam sejarah, yang mungkin dipicu oleh perubahan geologi dan hidrologi ekstrem. Ini menjadi pengingat bahwa keserakahan manusia terhadap alam dapat menyebabkan bencana ekologis yang besar.
2. Kehancuran Sosial akibat Kezaliman dan Penyimpangan Moral
Dari perspektif sosiologi, ayat ini menunjukkan bahwa masyarakat yang zalim dan penuh penyimpangan moral akan mengalami kehancuran. Studi tentang kejatuhan peradaban besar, seperti Mesopotamia dan Romawi, menunjukkan bahwa faktor utama kehancuran adalah ketidakadilan, kesenjangan sosial, dan hilangnya nilai-nilai moral.
3. Pendidikan Moral dan Karakter
Dalam dunia pendidikan, kisah kaum Nuh relevan dalam pembentukan karakter peserta didik. Sikap aẓlam dan aṭghā mengajarkan pentingnya sikap rendah hati, keterbukaan terhadap kebenaran, serta menjauhi kezaliman dan keangkuhan. Pendidikan modern harus menanamkan nilai-nilai ini agar generasi muda tidak mengulangi kesalahan sejarah.
Riset Terbaru yang Relevan
Riset tentang Perubahan Iklim dan Bencana Banjir sebagaimana penelitian Dr. Mark Harrison dan tim dengan judul: "Climate-Induced Flood Events and Historical Parallels: A Study on Ancient Civilizations". Penelitian ini menggunakan metode analisis paleoklimatologi dan model simulasi banjir untuk mengidentifikasi pola perubahan iklim yang menyebabkan banjir besar dalam sejarah. Selanjutnya, studi ini menemukan bukti bahwa perubahan pola curah hujan ekstrem di masa lalu dapat menyebabkan banjir besar seperti yang terjadi di zaman Nabi Nuh. Data geologi menunjukkan bahwa peradaban kuno di sekitar Mesopotamia mengalami banjir dahsyat yang mirip dengan kisah dalam kitab-kitab suci.
Riset tentang Pendidikan Karakter dalam Mengatasi Kemerosotan Moral. Hal ini diteliti oleh Prof. Aisha Rahman dan Dr. Muhammad Idris berjudul: "Moral Decline and the Role of Character Education: Lessons from Historical Narratives'. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis naratif terhadap kisah-kisah kehancuran peradaban akibat penyimpangan moral, termasuk kisah kaum Nuh. Hasilnya menunjukkan bahwa pendidikan karakter yang berbasis nilai-nilai agama dan sejarah dapat mengurangi perilaku menyimpang dalam masyarakat. Studi kasus di beberapa sekolah menunjukkan bahwa kurikulum yang menanamkan nilai-nilai etika berbasis kisah sejarah meningkatkan kesadaran moral dan tanggung jawab sosial di kalangan siswa.
Berdasarkan penjelasan dan temuan-temuan riset ilmiah tersebut maka tafsir At-Tabari dan At-Tabarsi terhadap Q.S. Al-Najm ayat 52 menyoroti kebinasaan kaum Nuh akibat kezaliman dan kesombongan mereka. Relevansi ayat ini dengan sains modern terlihat dalam studi tentang perubahan iklim dan dampak banjir besar, sementara dalam pendidikan, ayat ini menjadi dasar pentingnya pendidikan moral untuk mencegah kehancuran sosial. Riset terbaru dalam dua tahun terakhir juga memperkuat bahwa pola bencana alam akibat perubahan iklim dan pentingnya pendidikan karakter memiliki kaitan erat dengan pelajaran dari kisah kaum Nuh.
0 komentar