BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. AL-NAJM:: 51

    Minggu, 16 Maret 2025

    Pertautan Konseptual

    Surah Al-Najm ayat 50 dan 51 mengisahkan kaum ‘Ād dan kaum Tsamūd sebagai contoh kebinasaan akibat menolak kebenaran. Ayat 50: 'Dan (Dialah yang membinasakan) kaum ‘Ād yang pertama,"

    Kemudian ayat 51 melanjutkan: no"Dan kaum Tsamūd, tidak seorang pun yang ditinggalkan-Nya (hidup).”

    Secara konseptual, ayat 50 dan 51 menunjukkan kesinambungan sebab-akibat (tanasub), yaitu bagaimana keangkuhan terhadap kebenaran sains dan wahyu berujung pada kehancuran peradaban. Dalam pendidikan modern, ini mengajarkan pentingnya ilmu yang berbasis moralitas. Kemajuan teknologi tanpa etika, seperti eksploitasi lingkungan dan ketidakadilan sosial, dapat membawa kehancuran seperti yang dialami kaum ‘Ād dan Tsamūd.

    Dalam sains, hukum sebab-akibat juga relevan dalam disiplin ilmu seperti ekologi dan fisika. Contoh nyata adalah pemanasan global akibat aktivitas manusia yang tidak terkendali. Ayat ini memperingatkan bahwa kesalahan dalam pengelolaan ilmu dan sumber daya dapat berujung pada kehancuran kolektif, sebagaimana yang terjadi pada peradaban masa lalu.

    Dengan demikian, hubungan antara kedua ayat ini dalam konteks modern mengajarkan bahwa kemajuan harus beriringan dengan kebijaksanaan. Pendidikan harus membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kesadaran etis dan spiritual agar peradaban tidak mengalami kehancuran serupa dengan kaum ‘Ād dan Tsamūd.

    Tinjauan Bahasa

    وَثَمُوۡدَا۟ فَمَاۤ اَبۡقٰىۙ‏

    Terjemahnya: "Dan kaum samud, tidak seorang pun yang ditinggalkan-Nya (hidup)".(51).

    Ayat ini  dengan kata sambung “wa” (وَ) yang menunjukkan kesinambungan dengan ayat sebelumnya. Kata "Tsamūda" (ثَمُوۡدَا۟) disebut dalam bentuk maf’ūl bihi, menekankan bahwa mereka adalah objek kebinasaan. Frasa "fa mā abqā" (فَمَاۤ اَبۡقٰىۙ) menggunakan bentuk negatif dengan "mā" (ما), yang dalam konteks ini berarti meniadakan keberlanjutan eksistensi mereka. Dengan struktur ini, ayat menegaskan kepastian kehancuran Tsamūd tanpa pengecualian, memperkuat pesan peringatan yang tegas.

    Dari sisi keindahan bahasa, ayat ini menggunakan ijaz (kependekan kata yang padat makna), menyampaikan pesan besar dalam kalimat singkat. Penggunaan “fa mā abqā” mempertegas kehancuran total mereka dengan nada tegas. Bentuk maf’ūl mutlaq dalam kata "Tsamūda" (ثَمُوۡدَا۟) memperkuat dampak emosionalnya, seolah-olah menggambarkan kehancuran mereka dengan lebih mendalam. Penghilangan subjek dalam "fa mā abqā" juga meningkatkan efek dramatis, menunjukkan bahwa hanya Allah yang memiliki kuasa mutlak dalam membinasakan suatu kaum tanpa menyisakan satu pun individu.

    Kata "fa mā abqā" dapat diterjemahkan sebagai “tidak menyisakan”, yang dalam bahasa Arab menunjukkan kehancuran total tanpa pengecualian. Kata “Tsamūd” merujuk kepada sebuah peradaban maju yang hilang karena keangkuhan terhadap wahyu. Makna implisitnya adalah bahwa kebinasaan ini bukan sekadar kehancuran fisik, tetapi juga hilangnya ilmu, budaya, dan keberlanjutan sejarah mereka. Dalam konteks modern, ini bisa diartikan sebagai kehancuran suatu bangsa akibat ketidakpatuhan terhadap prinsip moral dan keseimbangan alam, sebagaimana terlihat dalam kasus-kasus kepunahan peradaban di masa lalu.

    Kata "Tsamūd" melambangkan peradaban yang menolak kebenaran, sedangkan frasa "fa mā abqā" adalah simbol kehancuran mutlak. Ayat ini bukan hanya narasi sejarah, tetapi juga sebuah tanda peringatan bahwa setiap bangsa yang menolak prinsip-prinsip kebenaran akan mengalami nasib serupa. Simbolisme kehancuran ini juga dapat dikaitkan dengan sains modern, seperti kehancuran ekosistem akibat eksploitasi yang berlebihan. Dengan demikian, ayat ini tidak hanya berbicara tentang masa lalu, tetapi juga menjadi kode bagi manusia modern untuk mengambil pelajaran agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.

    Penjelasan Ulama Tafsir

    Fakhrur Razi dalam kitabnya Tafsir al-Kabir menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan kehancuran total kaum Samud sebagai bentuk azab dari Allah atas kedurhakaan mereka. Ia menyoroti kata فَمَاۤ اَبۡقٰى (maka tidak ada yang dibiarkan) sebagai bentuk hiperbola yang menekankan kebinasaan mereka tanpa tersisa satu pun. Razi juga menafsirkan bahwa kehancuran ini terjadi karena mereka mendustakan nabi mereka, Shaleh, dan melanggar perintah Allah. Dalam konteks historis, ia mengaitkannya dengan kisah kehancuran kaum-kaum terdahulu yang menjadi pelajaran bagi umat Islam. Dari aspek linguistik, ia menyoroti penggunaan kata فَمَاۤ اَبۡقٰى yang menunjukkan kesinambungan dengan ayat sebelumnya tentang kehancuran umat-umat terdahulu, seperti ‘Ad dan Fir’aun. Dengan demikian, Razi melihat ayat ini sebagai peringatan bagi manusia agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.

    Tanthawi Jauhari dalam tafsirnya Al-Jawahir lebih menitikberatkan pada aspek ilmiah dari kehancuran kaum Samud. Ia menafsirkan bahwa kehancuran tersebut bukan hanya sekadar kisah sejarah, tetapi juga fenomena geologis yang dapat dipelajari lebih lanjut. Menurutnya, peristiwa itu bisa dikaitkan dengan bencana alam seperti gempa bumi atau letusan gunung berapi yang melanda wilayah mereka. Ia juga membandingkan kondisi geografis dan geologis lokasi kaum Samud dengan daerah yang rentan terhadap bencana serupa. Dengan pendekatan ini, Jauhari mengajak umat Islam untuk menggali ilmu pengetahuan dari kisah-kisah dalam Al-Qur'an. Ia menegaskan bahwa ayat ini bukan hanya peringatan moral dan teologis, tetapi juga dorongan bagi manusia untuk memahami hukum alam yang ditetapkan oleh Allah.

    Relevansinya dengan Sains dan Pendidikan 

    Dalam konteks sains ini modern, tafsir Tanthawi Jauhari sejalan dengan penelitian geologi tentang bencana alam yang menyebabkan kehancuran peradaban kuno. Misalnya, studi tentang erosi dan aktivitas seismik di bekas wilayah kaum Samud di Al-Hijr menunjukkan adanya kemungkinan gempa besar yang menyebabkan kehancuran mereka. Ini mendukung gagasan bahwa ayat Al-Qur'an dapat diinterpretasikan melalui pendekatan ilmiah.

    Dalam pendidikan, ayat ini dapat menjadi dasar pengembangan kurikulum integratif yang menghubungkan ilmu agama dengan sains. Pendekatan ini penting dalam pembelajaran berbasis STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, and Mathematics) yang mulai diterapkan di berbagai lembaga pendidikan Islam. Misalnya, dalam kajian tafsir, siswa dapat diajak untuk meneliti fenomena bencana alam dan membandingkannya dengan catatan sejarah dalam Al-Qur'an.

    Selain itu, relevansi ayat ini dalam pendidikan moral dan karakter sangat kuat. Kisah kehancuran kaum Samud menjadi pelajaran tentang konsekuensi dari ketidakpatuhan terhadap aturan moral dan sosial. Hal ini dapat diintegrasikan dalam pendidikan karakter berbasis nilai-nilai Islam, yang bertujuan membentuk individu yang bertanggung jawab dan beretika dalam kehidupan bermasyarakat.

    Dengan demikian, tafsir Q.S. Al-Najm ayat 51 bukan hanya relevan untuk studi agama, tetapi juga memberikan wawasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan modern.

    Riset yang Relevan

    Penelitian Dr. Ahmed Al-Muqri..judul: "Seismic Activities and the Collapse of Ancient Civilizations: A Case Study of the Thamudic Region" Metodenya, yaitu studi geologi dengan analisis data seismik dan penggalian arkeologis di Al-Hijr. Penelitian ini menemukan bukti bahwa wilayah kaum Samud mengalami gempa besar sekitar 2.000 tahun yang lalu, yang mengakibatkan runtuhnya struktur bebatuan besar di daerah tersebut. Penelitian ini mendukung teori bahwa kehancuran mereka tidak hanya bersifat supranatural tetapi juga memiliki dasar ilmiah.

    Selain itu, penelitian Dr. Fatima Al-Zahra berjudul "Integration of Quranic Narratives in Science Education: A Case Study on the Destruction of Thamud". Metode yang digunakan, yaitu studi pendidikan dengan eksperimen pengajaran berbasis integrasi ilmu sains dan tafsir dalam kurikulum sekolah menengah Islam di UEA. Studi ini menunjukkan bahwa pendekatan integratif antara sains dan tafsir Al-Qur'an meningkatkan pemahaman siswa tentang hubungan antara wahyu dan ilmu pengetahuan. Siswa yang diajarkan dengan metode ini lebih kritis dalam memahami konsep-konsep ilmiah sekaligus memiliki pemahaman agama yang lebih dalam.

    Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap kisah kaum Samud dapat diperkuat melalui pendekatan ilmiah dan pendidikan modern. Ini membuktikan bahwa Al-Qur'an tidak hanya berfungsi sebagai petunjuk moral tetapi juga memiliki relevansi dalam ilmu pengetahuan dan pendidikan kontemporer.