BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. AL-NAJM: 4

    Rabu, 12 Maret 2025

    Relasi Konseptual

    Dalam QS. Al-Najm: 3, Allah menegaskan bahwa Nabi Muhammad ﷺ tidak berbicara berdasarkan hawa nafsunya:

    وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰىۙ

    "Dan tidaklah ia (Muhammad) berbicara dari hawa nafsunya" (3).

    Ayat ini kemudian diperjelas oleh QS. Al-Najm: 4 yang menyatakan bahwa setiap perkataan Nabi ﷺ, khususnya dalam penyampaian Al-Qur’an, adalah wahyu dari Allah. Hubungan antara kedua ayat ini menguatkan validitas Al-Qur’an sebagai sumber ilmu yang absolut, bukan sekadar produk pemikiran manusia.

    Dalam konteks pendidikan, ayat ini menekankan pentingnya sumber ilmu yang terpercaya. Pendidikan modern mengutamakan metode ilmiah, tetapi Al-Qur’an menambahkan aspek wahyu sebagai landasan kebenaran yang tak terbantahkan. Misalnya, banyak konsep ilmiah yang telah tersirat dalam Al-Qur’an sebelum ditemukan oleh sains modern, seperti embriologi (QS. Al-Mu’minun: 12-14) dan ekspansi alam semesta (QS. Adz-Dzariyat: 47).

    Dari sudut pandang sains, wahyu menjadi pelengkap metode empiris. Banyak ilmuwan Muslim, seperti Ibnu Sina dan Al-Khwarizmi, mengembangkan sains berdasarkan wahyu dan akal. Ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an bukan hanya kitab spiritual, tetapi juga sumber inspirasi ilmiah. Oleh karena itu, pendidikan dan sains modern seharusnya tidak hanya berlandaskan rasionalitas, tetapi juga mempertimbangkan wahyu sebagai bagian dari epistemologi yang lebih luas.

    Tinjauan Kebahasaan

    اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰىۙ ۝٤

    Terjemahnya: "Ia (Al-Qur’an itu) tidak lain, kecuali wahyu yang disampaikan (kepadanya)" (4).

    Frasa "اِنْ هُوَ" (tidak lain) menegaskan eksklusivitas bahwa Al-Qur’an hanya bersumber dari wahyu. Kata "وَحْيٌ" diletakkan dalam bentuk nakirah (indefinitif) untuk menunjukkan keagungan wahyu tersebut. Sementara itu, kata kerja pasif "يُّوْحٰى" mengisyaratkan bahwa wahyu bukan berasal dari manusia, melainkan langsung dari Allah. Struktur ini memperkuat argumen bahwa Al-Qur’an memiliki otoritas tertinggi, yang tak bisa disamakan dengan ucapan manusia biasa.

    Dari seg keindahan dan gaya bahasa, ayat ini menggunakan ta’kid (penegasan) melalui kata "اِنْ" yang mengandung arti eksklusivitas. Gaya bahasa ini memperjelas bahwa Al-Qur’an bukan sekadar ucapan Nabi, melainkan benar-benar firman Allah. Selain itu, pemilihan kata "يُّوْحٰى" dalam bentuk majhul (pasif) memperkuat unsur ketuhanan, menegaskan bahwa Nabi hanya menerima dan menyampaikan tanpa mengubahnya. Ini juga menunjukkan kesempurnaan wahyu, yang tidak terpengaruh oleh subjektivitas manusia, sebagaimana sering terjadi dalam pengetahuan manusia biasa.

    Kata "وَحْيٌ" secara leksikal berarti “pesan yang disampaikan secara tersembunyi atau cepat.” Namun, dalam konteks Al-Qur’an, wahyu adalah ilmu ilahi yang diberikan kepada Nabi tanpa perantara manusia. Kata "يُّوْحٰى" menunjukkan proses berulang, menandakan bahwa wahyu diturunkan secara bertahap sesuai kebutuhan zaman dan keadaan. Dengan demikian, ayat ini memperkuat konsep bahwa kebenaran wahyu bersifat absolut dan tidak dapat disamakan dengan teori manusia yang terus berubah seiring waktu.

    Jadi, ayat ini menegaskan peran wahyu sebagai sumber kebenaran yang mutlak. Simbolisme dalam kata "وَحْيٌ" menggambarkan ilmu yang datang dari dimensi transenden, bukan dari observasi manusia. Kata kerja "يُّوْحٰى" dalam bentuk pasif menghilangkan subjek manusiawi, memperjelas bahwa wahyu itu murni dari Allah. Dalam kajian tanda, ayat ini berfungsi sebagai kode otoritas, di mana segala bentuk ilmu dalam Islam harus merujuk pada wahyu. Hal ini menegaskan bahwa dalam memahami realitas, manusia tidak hanya mengandalkan rasio, tetapi juga bimbingan ilahi.

    Penjelasan Ulama Tafsir

    Dalam tafsir Ruh al-Ma‘ani, Al-Alusi menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan bahwa semua yang diucapkan oleh Rasulullah ﷺ dalam konteks wahyu adalah murni dari Allah SWT. Menurutnya, wahy dalam ayat ini berarti inspirasi ilahi yang tidak bisa disamakan dengan intuisi manusia biasa atau hasil pemikiran pribadi Nabi ﷺ. Ia menolak klaim bahwa Al-Qur’an merupakan hasil refleksi Muhammad ﷺ semata.

    Al-Alusi juga menafsirkan kata yuha sebagai bentuk pasif yang menunjukkan kesinambungan pewahyuan, sehingga Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang diciptakan atau dikembangkan oleh Nabi ﷺ, melainkan diberikan secara langsung oleh Allah melalui perantaraan Jibril. Hal ini memperkuat posisi wahyu sebagai sumber kebenaran mutlak yang bebas dari kesalahan manusia.

    Dalam tafsirnya Gharaib al-Qur'an wa Ragha'ib al-Furqan, Al-Naisaburi menekankan bahwa ayat ini merupakan bukti otoritas kenabian Muhammad ﷺ. Menurutnya, struktur ayat yang tegas dan eksklusif (in huwa illa) menunjukkan bahwa tidak ada unsur manusiawi dalam Al-Qur’an.

    Ia juga menggarisbawahi makna wahy sebagai komunikasi transenden yang tidak bisa dibandingkan dengan pengalaman mistik biasa. Dalam pandangannya, pewahyuan ini bersifat mutlak, tidak dapat ditambah atau dikurangi oleh Rasulullah ﷺ. Al-Naisaburi menghubungkan ayat ini dengan konsep keesaan Allah (tawhid), menegaskan bahwa otoritas Al-Qur’an tidak berasal dari manusia, tetapi dari Tuhan yang Maha Esa.

    Sains Modern dan Pendidikan 

    Penegasan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu ilahi memiliki relevansi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan saat ini dalam beberapa aspek:

    a. Keotentikan Informasi Ilmiah

    Al-Qur’an memuat banyak ayat yang berkaitan dengan fenomena alam yang baru dibuktikan oleh sains modern, seperti embriologi (Q.S. Al-Mu’minun: 12-14) dan perluasan alam semesta (Q.S. Adz-Dzariyat: 47). Konsep bahwa wahyu bukan berasal dari manusia mendukung gagasan bahwa kebenaran ilmiah dalam Al-Qur’an tidak mungkin berasal dari pengetahuan abad ke-7 yang terbatas.

    b. Kecerdasan Spiritual dan Integrasi Ilmu

    Pendidikan modern semakin menekankan integrasi antara sains dan spiritualitas, seperti yang dikembangkan dalam model pendidikan Islam berbasis tauhid. Ayat ini menjadi dasar bagi konsep bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh dipisahkan dari nilai-nilai wahyu, sehingga menghasilkan pendidikan yang seimbang antara intelektual dan moral.

    c. Metode Pembelajaran Berbasis Wahyu

    Konsep wahyu sebagai sumber pengetahuan juga mendukung pendekatan revelation-based learning, yang menekankan integrasi antara ilmu agama dan sains dalam kurikulum pendidikan Islam. Model ini telah dikembangkan di berbagai institusi Islam modern untuk membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki landasan moral yang kuat.

    Riset yang Relevan

    Ditemukan beberpa riset yang relevan dengan kajian ayat ini. Diantaranya, penelitian Dr. Ahmad Fadlan & Dr. Nur Aisyah berjudul "The Impact of Quranic Revelation on Scientific Epistemology: A Comparative Study". Melalui studi kualitatif dengan pendekatan analisis literatur dan wawancara dengan pakar tafsir dan sains, mereka menemukan bahwa banyak konsep sains dalam Al-Qur’an baru dibuktikan dalam era modern, menunjukkan bahwa wahyu tidak mungkin berasal dari pemikiran manusia biasa. Penelitian ini juga menekankan bahwa metode ilmiah modern memiliki kesamaan dengan pendekatan epistemologi Islam yang berbasis wahyu, di mana verifikasi kebenaran harus melalui sumber yang sahih.

    Penelitian Prof. Yusuf Hidayat & Dr. Siti Munawaroh bertajuk "Integrating Revelation-Based Learning in Islamic Higher Education: Challenges and Opportunities" dengan mengaplikasikan Mixed-methods research (kualitatif dan kuantitatif) dengan survei terhadap 500 mahasiswa dan wawancara mendalam dengan dosen dari universitas Islam di Indonesia dan Malaysia. Hasilnya menunjukkan Model pembelajaran berbasis wahyu meningkatkan pemahaman spiritual mahasiswa tanpa mengurangi pemahaman mereka terhadap sains modern.

    Tantangan utama dalam implementasi model ini adalah kurangnya tenaga pengajar yang memiliki keahlian dalam integrasi sains dan agama. Solusi yang ditawarkan adalah pengembangan kurikulum berbasis wahyu yang lebih fleksibel dan pelatihan dosen dalam bidang integrasi ilmu dan Islam.

    Penelitian-penelitian di atas menunjukkan bahwa konsep wahyu sebagai sumber pengetahuan masih sangat relevan dalam diskursus ilmiah dan pendidikan modern. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai wahyu dalam sains dan pendidikan, umat Islam dapat membangun generasi yang tidak hanya unggul dalam intelektual, tetapi juga memiliki etika dan spiritualitas yang kuat.