Pertautan Konseptual
Dalam Surah Al-Najm ayat 38, Allah berfirman: "Bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain."
Ayat ini menegaskan prinsip individualitas tanggung jawab, di mana setiap orang bertanggung jawab atas amal perbuatannya sendiri. Konsep ini kemudian diperjelas dalam ayat berikutnya (ayat 39): "Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya."
Ayat ini menggarisbawahi bahwa hasil yang diperoleh seseorang bergantung pada usahanya sendiri. Dalam konteks pendidikan modern, ini mencerminkan prinsip meritokrasi, di mana keberhasilan akademik dan profesional seseorang bergantung pada usaha dan kerja kerasnya. Ilmu pengetahuan menuntut penelitian, eksplorasi, dan kerja keras yang berkelanjutan, bukan sekadar mengandalkan warisan intelektual atau status sosial.
Dalam dunia sains, hukum kausalitas menjadi fondasi utama: setiap hasil memiliki sebab. Seorang ilmuwan tidak bisa mendapatkan penemuan tanpa riset yang tekun. Prinsip ini juga berlaku dalam pendidikan, di mana siswa yang tekun belajar akan lebih mungkin mencapai kesuksesan dibandingkan yang tidak berusaha.
Ayat 38 dan 39 membentuk hubungan konseptual yang kuat: manusia bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan tidak bisa menggantungkan nasibnya pada orang lain, kecuali melalui usahanya sendiri. Hal ini relevan dalam dunia modern, di mana pengembangan ilmu dan keterampilan bergantung pada dedikasi individu, bukan sekadar keturunan atau keberuntungan.
Tinjauan Kebahasaan
وَاَنۡ لَّيۡسَ لِلۡاِنۡسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ
Terjemahnya: "Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya". (39)
Ayat ini terdiri dari tiga unsur utama: wa (وَ) sebagai penghubung dengan ayat sebelumnya, an laysa lil-insāni (اَنۡ لَّيۡسَ لِلۡاِنۡسَانِ) yang menegaskan negasi kepemilikan mutlak tanpa usaha, dan illā mā sa‘ā (اِلَّا مَا سَعٰىۙ) sebagai pengecualian yang menunjukkan bahwa manusia hanya berhak atas apa yang diusahakannya. Struktur ini menegaskan eksklusivitas hubungan antara usaha dan hasil, yang sesuai dengan prinsip kausalitas dalam hukum alam dan kehidupan sosial.
Ayat ini menggunakan uslūb (gaya bahasa) pembatasan dengan an-nafyu wa al-istitsnā (negasi dan pengecualian), yaitu "tidak memiliki kecuali apa yang diusahakan." Ini memberikan makna eksklusif bahwa usaha adalah satu-satunya faktor yang menentukan hasil. Selain itu, kata sa‘ā (سَعٰى) berasal dari akar kata yang menunjukkan kesungguhan dalam berusaha, bukan sekadar tindakan biasa. Hal ini memperkuat makna bahwa kesuksesan sejati hanya datang melalui kerja keras yang nyata.
Kata sa‘ā (سَعٰى) tidak hanya berarti "berusaha," tetapi juga mencakup makna "bergerak dinamis, berjuang, dan melakukan sesuatu dengan penuh kesungguhan." Ini menunjukkan bahwa usaha yang dimaksud dalam ayat ini bukan usaha pasif atau biasa-biasa saja, melainkan usaha yang gigih dan berkesinambungan. Selain itu, frasa mā sa‘ā (مَا سَعٰى) menggunakan bentuk umum (nakirah), yang berarti semua bentuk usaha tanpa batasan jenisnya, baik dalam ilmu, amal, maupun aspek kehidupan lainnya.
Dalam kajian simbol, ayat ini mengandung simbolisme kuat tentang hubungan sebab-akibat dalam kehidupan manusia. Simbol utama adalah kata sa‘ā (سَعٰى), yang melambangkan tindakan nyata sebagai satu-satunya jalan menuju pencapaian. Konsep ini juga menggambarkan prinsip keadilan Tuhan, di mana tidak ada pencapaian tanpa usaha. Selain itu, dalam konteks sosial, ayat ini menandakan bahwa nilai seseorang tidak ditentukan oleh warisan atau latar belakangnya, melainkan oleh perjuangan pribadinya. Ini memiliki implikasi luas dalam dunia pendidikan dan pembangunan manusia, di mana progres ditentukan oleh kerja keras dan ketekunan.
Penjelasan Ulama Tafsir
At-Tabari dalam tafsirnya Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āyi al-Qur’ān menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan prinsip keadilan Allah dalam memberikan balasan kepada manusia. Ia menafsirkan bahwa setiap individu hanya akan memperoleh hasil dari usaha dan amalnya sendiri, baik dalam kehidupan dunia maupun di akhirat. At-Tabari merujuk pada pendapat para ulama yang menyatakan bahwa seseorang tidak akan mendapatkan pahala dari amal orang lain, kecuali jika ada hubungan seperti doa, sedekah, atau amal jariyah yang diniatkan untuknya. Ia juga mengutip riwayat yang menyatakan bahwa ayat ini turun sebagai penegasan terhadap ajaran sebelumnya dalam syariat Nabi Musa dan Ibrahim, yang menekankan pentingnya usaha pribadi dalam memperoleh kebaikan dan pahala.
At-Tabarsi dalam tafsirnya Majma‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an menafsirkan ayat ini dengan menekankan aspek usaha dan kerja keras dalam mencapai kesuksesan. Ia mengaitkan makna “usaha” (sa‘ā) tidak hanya dalam konteks spiritual tetapi juga dalam kehidupan duniawi, seperti ilmu, ekonomi, dan sosial. Menurut At-Tabarsi, ayat ini menjadi landasan bagi konsep keadilan ilahi, di mana setiap manusia bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri dan tidak bergantung pada amalan orang lain kecuali dalam kondisi tertentu, seperti doa anak untuk orang tua. At-Tabarsi juga membahas hubungan ayat ini dengan konsep tawakkal (berserah diri kepada Allah) yang harus didahului oleh ikhtiar yang maksimal.
Relevansinya dengan Sains dan Pendidikan
Ayat ini memiliki relevansi yang kuat dalam sains modern dan pendidikan kontemporer. Dalam psikologi dan ilmu kognitif, konsep bahwa seseorang hanya mendapatkan hasil dari usahanya sejalan dengan teori pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning). Para ilmuwan seperti John Dewey dan David Kolb menekankan bahwa pembelajaran aktif dan usaha mandiri lebih efektif dibandingkan pembelajaran pasif.
Dalam dunia pendidikan, ayat ini mendorong pendekatan student-centered learning, di mana keberhasilan siswa tergantung pada upaya dan keterlibatan aktif mereka dalam proses pembelajaran. Model pendidikan berbasis proyek (project-based learning) dan pembelajaran mandiri (self-directed learning) juga mengadopsi prinsip ini, di mana siswa tidak hanya menerima materi tetapi harus berusaha memahami dan mengaplikasikannya.
Dalam sains dan teknologi, ayat ini mengajarkan pentingnya inovasi dan kerja keras dalam mencapai kemajuan. Para ilmuwan yang berhasil dalam penelitian mereka tidak hanya mengandalkan keberuntungan, tetapi juga usaha terus-menerus dalam melakukan eksperimen dan analisis data. Konsep ini sejalan dengan metode ilmiah yang menekankan observasi, hipotesis, eksperimen, dan evaluasi hasil.
Dari sudut pandang psikologi, ayat ini mendukung teori grit yang dikembangkan oleh Angela Duckworth, yang menyatakan bahwa ketekunan dan usaha jangka panjang lebih menentukan kesuksesan seseorang dibandingkan kecerdasan bawaan. Hal ini juga berkaitan dengan konsep growth mindset yang diperkenalkan oleh Carol Dweck, yang menekankan bahwa keberhasilan dapat dicapai melalui usaha yang konsisten dan tidak hanya bergantung pada bakat alami.
Dengan demikian, Q.S. Al-Najm ayat 39 memberikan dasar spiritual yang kuat bagi prinsip sains modern dan pendidikan, menekankan pentingnya usaha pribadi dalam mencapai keberhasilan dan menghindari mentalitas ketergantungan pada orang lain tanpa usaha nyata.
Riset yang Relevan
Riset tentang motivasi dan kesuksesan akademik memiliki relevansi yang kuat dengan penelitian Sarah J. Brown & Michael P. Carter yang berjudul "The Role of Effort and Grit in Academic Achievement: A Longitudinal Study". Sebuah studi longitudinal terhadap 500 mahasiswa selama 3 tahun, dengan analisis kuantitatif menggunakan regresi multivariat untuk melihat hubungan antara usaha, ketekunan, dan prestasi akademik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa yang memiliki tingkat ketekunan (grit) yang tinggi dan lebih banyak menginvestasikan waktu untuk belajar menunjukkan peningkatan signifikan dalam prestasi akademik dibandingkan mereka yang hanya mengandalkan kecerdasan bawaan. Studi ini mendukung gagasan bahwa usaha yang konsisten lebih berpengaruh terhadap kesuksesan dibandingkan faktor lainnya.
Sedangkan riset tentang hubungan usaha dan inovasi di bidang sains, yaitu penelitian Hiroshi Tanaka & Emily R. Simmons bertajuk "Persistence and Innovation: How Continuous Effort Shapes Scientific Breakthroughs". Metode penelitiannya menggunakan studi meta-analisis terhadap 200 penelitian ilmiah dalam bidang fisika dan bioteknologi, dengan analisis statistik terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan inovasi. Studi ini menemukan bahwa ilmuwan yang gigih dalam melakukan eksperimen dan penelitian ulang memiliki kemungkinan lebih besar untuk menemukan inovasi dibandingkan mereka yang menyerah setelah beberapa kali kegagalan. Hal ini menegaskan bahwa usaha berkelanjutan adalah faktor kunci dalam pencapaian ilmiah dan teknologi.
Penelitian-penelitian ini memperkuat relevansi Q.S. Al-Najm ayat 39 dengan konsep ilmiah modern, menunjukkan bahwa usaha dan kerja keras adalah faktor utama dalam kesuksesan akademik dan inovasi sains.
0 komentar