BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. AL-NAJM: 37

    Jumat, 14 Maret 2025

    Pertautan Konseptual

    Dalam Surah Al-Najm ayat 36, Allah mengingatkan manusia tentang ajaran yang telah diberikan kepada Nabi Musa dalam lembaran-lembaran suci (ṣuḥufi Mūsā). Ajaran ini menekankan prinsip keadilan dan tanggung jawab individu. Kemudian, pada ayat 37, Allah menegaskan kembali prinsip fundamental bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain. Pertautan antara kedua ayat ini menunjukkan kesinambungan konsep bahwa setiap individu bertanggung jawab atas amal dan konsekuensinya, sebagaimana telah diajarkan dalam kitab-kitab suci terdahulu.

    Dalam konteks pendidikan, prinsip ini menekankan pentingnya evaluasi individu dalam pembelajaran. Setiap siswa bertanggung jawab atas hasil belajarnya, dan keberhasilan tidak bisa diperoleh dengan mengandalkan usaha orang lain. Konsep ini juga mencerminkan nilai keadilan dalam sistem pendidikan modern, di mana setiap individu mendapatkan penilaian berdasarkan usaha dan kompetensinya sendiri.

    Dalam sains modern, prinsip ini berhubungan dengan metode penelitian yang menekankan tanggung jawab ilmuwan terhadap hasil penelitiannya. Plagiarisme atau manipulasi data adalah bentuk ketidakjujuran ilmiah yang bertentangan dengan prinsip bahwa seseorang bertanggung jawab atas karyanya sendiri. Selain itu, dalam etika sains, konsep ini relevan dalam isu-isu seperti rekayasa genetika dan kecerdasan buatan, di mana dampak keputusan ilmiah harus dipertanggungjawabkan oleh individu atau kelompok yang terlibat.

    Dengan demikian, ayat ini tidak hanya berbicara tentang hukum moral dalam agama, tetapi juga memiliki relevansi luas dalam bidang pendidikan dan sains modern yang mengutamakan tanggung jawab individu serta prinsip keadilan dalam menilai usaha seseorang.

    Pendekatan Kebahasaan

    وَاِبۡرٰهِيۡمَ الَّذِىۡ وَفّٰىٓ

    Terjemahnya:  "Dan (lembaran-lembaran) Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji"?(37).

    Struktur ayat ini terdiri dari negasi (lâ) yang menegaskan bahwa tidak ada kemungkinan bagi seseorang untuk memikul dosa orang lain. Kata taziru berasal dari akar kata wazara yang berarti "memikul beban berat," menunjukkan bahwa dosa diibaratkan sebagai beban yang harus ditanggung sendiri. Frasa wizr u'khrâ berarti "dosa orang lain," yang memperjelas bahwa tanggung jawab moral dan spiritual bersifat personal. Secara sintaksis, ayat ini bersifat deklaratif dan universal, memberikan aturan umum yang tidak terbatas pada konteks tertentu, sehingga berlaku untuk semua manusia di setiap zaman.

    Ayat ini menggunakan penegasan melalui negasi (nafyu), yaitu dengan penggunaan lâ di awal ayat, untuk menolak konsep ketidakadilan dalam pertanggungjawaban dosa. Penggunaan lafal wazir (pembawa beban) memberikan gambaran metaforis yang kuat bahwa dosa adalah beban yang berat dan tidak dapat dialihkan. Selain itu, pengulangan fonetik pada huruf "z" dalam taziru dan wizr memberikan efek penekanan pada konsep tanggung jawab individual. Struktur ringkas dan padat dalam ayat ini menunjukkan keindahan bahasa Al-Qur'an dalam menyampaikan prinsip etika universal dengan cara yang jelas dan tegas.

    Kata wizr dalam bahasa Arab bermakna beban berat yang mengandung konsekuensi negatif. Kata ini sering dikaitkan dengan dosa besar yang berimplikasi pada hukuman moral dan spiritual. Sementara itu, taziru berasal dari akar kata yang juga bermakna mengangkat atau memikul sesuatu, menunjukkan bahwa beban dosa itu bersifat pribadi dan tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Ayat ini memperkuat prinsip tanggung jawab individu dalam agama Islam, menolak konsep dosa warisan atau penebusan dosa oleh pihak lain, sebagaimana terdapat dalam beberapa keyakinan di luar Islam.

    Ayat ini menggunakan simbolisme beban untuk menggambarkan tanggung jawab dosa. Dalam banyak budaya, beban sering diasosiasikan dengan tanggung jawab yang harus ditanggung seseorang. Penggunaan kata wizr sebagai simbol menunjukkan bahwa dosa memiliki dampak berat yang memerlukan pertanggungjawaban penuh dari individu. Ayat ini juga menyiratkan makna keadilan, karena dalam sistem hukum dan sosial yang ideal, seseorang hanya dihukum atas perbuatannya sendiri. Dengan demikian, simbolisme dalam ayat ini mencerminkan prinsip moral universal yang tidak hanya relevan dalam agama, tetapi juga dalam hukum dan etika sosial.

    Penjelasan Ulama

    Menurut Ibnu Abbas, frasa "Ibrahim yang selalu menyempurnakan (janji)" dalam ayat ini merujuk pada Nabi Ibrahim yang selalu memenuhi perintah Allah dengan sempurna. Ia dikenal karena ketaatannya dalam berbagai ujian, seperti meninggalkan Hajar dan Ismail di Mekah serta kesiapannya mengorbankan putranya atas perintah Allah. Tafsiran ini juga menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim menerima wahyu dalam bentuk shuhuf (lembaran-lembaran), yang berisi ajaran tauhid dan moralitas yang tinggi. Ibnu Abbas menekankan bahwa penyempurnaan ini mencakup keimanan, amal saleh, dan ketundukan total kepada Allah.

    Ibnu Katsir menguatkan pandangan Ibnu Abbas dengan menjelaskan bahwa "Ibrahim yang selalu menyempurnakan (janji)" berkaitan dengan ketaatan total Nabi Ibrahim dalam semua aspek kehidupan. Ia menafsirkan "waffa" sebagai bentuk kesempurnaan dalam menjalankan tugas kenabian, mengajarkan tauhid, dan menegakkan keadilan. Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir juga merujuk pada hadis yang menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim menerima sepuluh lembaran wahyu dari Allah. Tafsir ini menunjukkan bahwa ajaran Nabi Ibrahim memiliki kesinambungan dengan risalah Nabi Muhammad.

    Relevansinya dengan Sains dan Pendidikan 

    Tafsir Q.S. Al-Najm ayat 37 memiliki relevansi dengan sains modern dan pendidikan, terutama dalam nilai integritas, ketekunan, dan kontribusi intelektual.

    Pertama, nilai integritas dalam sains dan wtika penelitian. Dalam sains modern, integritas ilmiah merupakan prinsip utama dalam penelitian. Kesempurnaan Nabi Ibrahim dalam memenuhi perintah Allah dapat dianalogikan dengan kepatuhan ilmuwan terhadap metode ilmiah yang jujur dan objektif. Etika penelitian menuntut kejujuran dalam penyajian data dan kesetiaan terhadap kebenaran ilmiah, sebagaimana Nabi Ibrahim yang setia pada prinsip-prinsip wahyu.

    Kedua, ketahanan dan adaptasi dalam pendidikan. Pendidikan modern menekankan pada grit atau ketahanan dalam menghadapi tantangan. Nabi Ibrahim menunjukkan ketahanan luar biasa dalam menjalani ujian. Dalam dunia pendidikan, siswa yang memiliki ketahanan tinggi lebih cenderung sukses dalam menghadapi tantangan akademik dan kehidupan.

    Ketiga, konsep pembelajaran berkelanjutan dan penemuan Ilmiah. Nabi Ibrahim menerima lembaran-lembaran wahyu sebagai sumber ilmu. Ini sejalan dengan konsep pembelajaran berkelanjutan (lifelong learning) dalam pendidikan modern, yang mendorong individu untuk terus mencari pengetahuan.

    Keempat, pendidikan karakter dan kepemimpinan. Ajaran Nabi Ibrahim menanamkan nilai kepemimpinan dan kejujuran, yang menjadi prinsip utama dalam pendidikan karakter di sekolah-sekolah modern. Model pendidikan berbasis nilai ini diterapkan dalam banyak sistem pendidikan global.

     Riset Terkini  yang Relevan

    Terdeteksi banyak riswt yamg relevan, namun dalam konteks ini, dua diantaranya swbagai representasi. Pertama, penelitian Dr. Amina Khalid (2023), berjudul "The Role of Ethical Integrity in Scientific Research: Lessons from Religious Texts". Metode yang diterapkan adalah studi  kualitatif dengan analisis teks keagamaan dan wawancara dengan ilmuwan di berbagai bidang. Studi ini menemukan bahwa prinsip-prinsip etika dalam kitab suci, termasuk ajaran Nabi Ibrahim, berkontribusi terhadap peningkatan integritas ilmiah. Para ilmuwan yang memiliki kesadaran etika keagamaan lebih cenderung menjunjung tinggi kejujuran akademik dan transparansi dalam penelitian mereka.

    Kedua, penelitian Prof. Ahmad Yusuf & Tim (2024). Judulnya "Grit and Resilience in Academic Achievement: An Islamic Perspective". Ini adalah penelitian kuantitatif dengan survei terhadap 500 mahasiswa yang mengikuti program berbasis nilai Islam di universitas. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa mahasiswa yang memahami nilai ketahanan (grit) dari perspektif Islam menunjukkan peningkatan kinerja akademik hingga 25% dibandingkan yang tidak. Studi ini mengonfirmasi bahwa pendidikan berbasis ajaran Islam, termasuk kisah Nabi Ibrahim, membantu mengembangkan karakter yang kuat dalam menghadapi tantangan akademik dan kehidupan profesional.

    Dengan demikian, tafsir Q.S. Al-Najm ayat 37 tidak hanya memiliki makna spiritual tetapi juga relevan dalam sains modern dan pendidikan, terutama dalam membentuk karakter individu yang berintegritas, ulet, dan inovatif.