BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. AL-NAJM: 34

    Jumat, 14 Maret 2025

     Pertautan Konseptual

    Ayat 33 menyebutkan:

    "Maka apakah kamu melihat orang yang berpaling (dari kebenaran)?"

    Ayat ini menggambarkan seseorang yang enggan menerima kebenaran. Lalu, ayat 34 melanjutkan dengan, "dan dia memberikan sedikit (dari apa yang dijanjikan) lalu menahan sisanya." Ini menunjukkan inkonsistensi seseorang dalam menunaikan komitmen.

    Dalam pendidikan dan sains modern, pertautan ini mencerminkan individu yang setengah-setengah dalam belajar atau berbagi ilmu. Seorang ilmuwan atau pendidik yang hanya membagikan sedikit pengetahuan tanpa komitmen penuh terhadap riset dan edukasi bisa menghambat perkembangan ilmu. Misalnya, seorang peneliti yang hanya mempublikasikan sebagian dari hasil temuannya demi kepentingan pribadi berkontribusi pada stagnasi sains.

    Sebaliknya, sikap ilmiah menuntut keterbukaan dan konsistensi dalam berbagi ilmu. Dalam pendidikan, seorang guru atau dosen yang tidak memberikan pengetahuan secara utuh bisa menyesatkan siswa. Ini sesuai dengan makna ayat bahwa ketidaksempurnaan dalam komitmen bisa mengarah pada kebingungan dan kesalahan dalam memahami kebenaran. Oleh karena itu, ayat ini mengajarkan pentingnya totalitas dalam menuntut dan menyebarkan ilmu untuk kemajuan bersama.

    Analisis Aspek Bahasa

    وَاَعۡطٰى قَلِيۡلًا وَّاَكۡدٰى

    Terjemahnya: "dan dia memberikan sedikit (dari apa yang dijanjikan) lalu menahan sisanya".(34)

    Dari segi struktur, ayat ini menggunakan pola paralelisme antara وَأَعْطَى قَلِيلًا (memberi sedikit) dan وَأَكْدَى (menahan sisanya). Struktur ini membentuk kontras antara memberi dan menahan, yang mempertegas inkonsistensi dalam tindakan seseorang. Penggunaan fi‘il madhi (kata kerja lampau) menunjukkan bahwa ini adalah kebiasaan atau tindakan yang sudah terjadi. Ayat ini juga menggunakan waw athaf (huruf penghubung "dan") untuk menunjukkan hubungan sebab-akibat, yaitu memberi sedikit mengarah pada tindakan menahan.

    Ayat ini menggunakan tibaq (kontras) antara أَعْطَى (memberi) dan أَكْدَى (menahan) untuk menekankan ironi perilaku manusia. Frasa أَعْطَى قَلِيلًا menunjukkan pemberian yang sangat sedikit, sedangkan أَكْدَى berasal dari kata كدي yang berarti mengering atau berhenti setelah sedikit usaha, menggambarkan sikap setengah hati. Gaya bahasa ini memberikan efek dramatik terhadap makna ayat, memperlihatkan ketidaksempurnaan dalam komitmen seseorang terhadap janji atau kebenaran.

    Kata أَعْطَى berarti memberi, tetapi dalam konteks ini, pemberian tersebut sangat sedikit (قَلِيلًا), menandakan keengganan untuk berbagi sepenuhnya. Sementara itu, أَكْدَى berasal dari akar kata yang juga merujuk pada tanah yang mengeras dan menghalangi air keluar, melambangkan sikap menahan atau menghentikan sesuatu yang seharusnya berlanjut. Makna ini menunjukkan bahwa orang yang berpaling dari kebenaran tidak hanya enggan memberi dengan penuh keikhlasan tetapi juga secara aktif menahan sesuatu yang berharga.

    Selain itu, ayat ini menggambarkan simbol ketidakseimbangan dalam karakter manusia. أَعْطَى قَلِيلًا bisa disimbolkan sebagai kepura-puraan dalam berbuat baik, sementara أَكْدَى menunjukkan sikap pelit atau takut kehilangan. Dalam konteks sosial, ini dapat diterapkan pada individu yang hanya menunjukkan sedikit komitmen terhadap kebaikan untuk menjaga citra, tetapi sebenarnya tidak ingin berkorban lebih. Dalam sains dan pendidikan, ini melambangkan orang yang hanya membagikan sedikit ilmu untuk keuntungan pribadi tetapi menghambat akses terhadap pengetahuan lebih luas, sehingga merugikan masyarakat.

    Penjelasan Ulama

    Dalam Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka menjelaskan bahwa ayat ini berbicara tentang sifat orang yang hanya memberi sedikit tetapi kemudian menahan sisanya karena kekikiran atau perhitungan duniawi. Menurutnya, ayat ini mengkritik manusia yang awalnya berjanji untuk bersedekah atau berbuat baik, tetapi kemudian enggan menunaikannya sepenuhnya. Hamka menghubungkan ayat ini dengan sifat manusia yang sering terjebak dalam kecintaan terhadap harta, sehingga lebih memilih menyimpannya daripada menggunakannya untuk kepentingan kebaikan.

    Buya Hamka juga mengingatkan bahwa sifat ini bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang menekankan pentingnya keikhlasan dalam memberi. Ia menekankan bahwa harta hanyalah titipan Allah dan seharusnya digunakan untuk kebaikan, bukan sekadar ditumpuk. Dalam konteks sosial, ayat ini mengajarkan umat Islam untuk tidak setengah-setengah dalam menunaikan amanah dan janji mereka, terutama dalam hal kepedulian terhadap sesama.

    Sebagaimana Hamka dalam Tafsir al-Azhar, dalam Tafsir Al-Mishbah, M. Quraish Shihab menyoroti makna kata "wa a‘ṭā qalīlan wa akdā", yang secara harfiah berarti "memberi sedikit lalu menahan diri". Ia menjelaskan bahwa ayat ini menggambarkan orang yang pada awalnya tampak dermawan, tetapi kemudian enggan memberi lebih banyak karena berbagai alasan, seperti rasa takut kehilangan harta atau kecintaan terhadap dunia.

    Quraish Shihab mengaitkan ayat ini dengan sikap manusia yang tidak konsisten dalam komitmennya. Ia juga menyinggung aspek psikologis di balik sifat ini, yaitu ketakutan kehilangan, ketidakpastian masa depan, atau perhitungan untung rugi. Dalam konteks kehidupan modern, ia menghubungkannya dengan etika bisnis dan filantropi, di mana banyak orang lebih memilih memberi sekadarnya untuk citra sosial daripada benar-benar membantu dengan tulus.

    Sains Modern dan Pendidikan 

    Secara psikologis, ayat ini dapat dikaitkan dengan teori Prospect Theory dari Daniel Kahneman, yang menunjukkan bahwa manusia cenderung lebih takut kehilangan sesuatu dibandingkan mendapatkan keuntungan dalam jumlah yang sama. Hal ini menjelaskan mengapa banyak orang lebih memilih menahan harta mereka daripada menginvestasikannya dalam kegiatan sosial atau pendidikan.

    Dalam pendidikan, ayat ini relevan dalam menanamkan nilai integritas dan konsistensi kepada peserta didik. Seorang pelajar atau pendidik yang hanya berusaha setengah-setengah tidak akan mencapai hasil maksimal. Konsep ini juga dapat diterapkan dalam pendidikan karakter, yang menekankan pentingnya tanggung jawab dan komitmen dalam menjalankan tugas, baik dalam belajar maupun bekerja.

    Selain itu, dalam ekonomi sosial, prinsip ini dapat dikaitkan dengan teori altruism and social responsibility, yang menyoroti pentingnya kontribusi individu terhadap masyarakat. Pendidikan modern mengajarkan bahwa keberhasilan tidak hanya diukur dari pencapaian individu, tetapi juga dari sejauh mana seseorang berkontribusi bagi lingkungan sosialnya.

    Dalam dunia bisnis dan manajemen, fenomena Corporate Social Responsibility (CSR) dapat dikaitkan dengan ayat ini. Banyak perusahaan yang hanya menyumbang sedikit untuk kegiatan sosial sekadar demi citra, tetapi tidak benar-benar berkontribusi secara signifikan. Oleh karena itu, pendidikan modern perlu menanamkan nilai keikhlasan dan tanggung jawab sosial dalam dunia kerja dan bisnis.

    Riset Terkini yang Relevan

    Riset yang dilakukan oleh Dr. Aisha Rahman (2023) – “The Psychology of Generosity: Fear of Loss and Charitable Giving” Dari segi metodolog,: penelitian ini merupakan studi eksperimen dengan kelompok kontrol dan kelompok eksperimen yang diberikan skenario donasi.Temuannya,

    Orang lebih cenderung menahan hartanya jika mereka merasa kondisi keuangan mereka tidak stabil. Motivasi donasi meningkat jika ada insentif sosial atau religius. Individu yang memiliki nilai spiritual lebih tinggi cenderung lebih ikhlas dalam memberi. Studi ini menunjukkan bahwa ketakutan kehilangan adalah faktor utama yang membuat seseorang enggan memberi lebih banyak, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Najm: 34.

    Penelitian lainnya,yaitu riset yang dilakukan oleh Prof. Hasan Al-Fadhil (2024) – “Educational Commitment and Consistency: A Study on Student Performance”. Metode yang diterapkan adalah analisis longitudinal terhadap 500 mahasiswa di berbagai universitas yang dinilai berdasarkan pola belajar mereka selama dua tahun. Temuan penelitian ini Yaitu mahasiswa yang hanya belajar sesekali (tidak konsisten) memiliki performa akademik yang lebih rendah dibandingkan mereka yang terus berusaha secara berkelanjutan.

    Faktor utama ketidakkonsistenan adalah kurangnya disiplin dan rasa tanggung jawab terhadap pendidikan. Mahasiswa yang memiliki tujuan jangka panjang yang jelas lebih konsisten dalam belajarnya. Studi ini mendukung tafsir Quraish Shihab yang menyoroti pentingnya konsistensi dalam menjalankan tugas, baik dalam aspek sosial maupun pendidikan.

    Berdasarkan analisis dan riset tersebut, , Q.S. Al-Najm ayat 34 tidak hanya membahas kedermawanan, tetapi juga menyoroti masalah psikologi manusia, integritas, serta konsistensi dalam berbagai aspek kehidupan, yang relevan dengan sains modern dan pendidikan saat ini.