BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. AL-NAJM: 27

    Jumat, 14 Maret 2025

    Pertautan Konseptual

    Al-Najm ayat 26 menyatakan bahwa meskipun terdapat banyak malaikat di langit, syafaat mereka tidak akan berguna kecuali dengan izin Allah. Ayat 27 kemudian menjelaskan bagaimana orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat menamai malaikat dengan nama perempuan. Hubungan konseptual (tanasub) antara kedua ayat ini menunjukkan bahwa kekeliruan dalam pemahaman tentang realitas spiritual dan metafisika berakar pada pemikiran yang tidak berdasarkan wahyu.

    Dalam konteks pendidikan dan sains modern, ayat ini mengajarkan pentingnya epistemologi yang benar dalam memahami realitas. Pendidikan yang baik tidak hanya berorientasi pada aspek material dan empiris, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek metafisik. Sains modern sering kali menolak realitas spiritual karena tidak dapat diukur secara empiris, serupa dengan cara kaum musyrik di masa lalu yang menyandarkan konsep ketuhanan pada anggapan keliru. Dalam pendidikan, pendekatan holistik yang menggabungkan wahyu dan rasionalitas dapat menghindarkan manusia dari kesalahan berpikir seperti yang disebutkan dalam ayat ini.

    Kesalahan dalam memberi nama atau kategori yang tidak sesuai dengan hakikat suatu entitas, sebagaimana orang-orang musyrik menamai malaikat dengan nama perempuan, juga relevan dalam sains. Dalam biologi misalnya, kesalahan dalam klasifikasi makhluk hidup dapat menghambat pemahaman ekologi. Dalam pendidikan, mengajarkan konsep-konsep tanpa pemahaman mendalam dapat melahirkan generasi yang keliru memahami realitas. Oleh karena itu, ayat ini mengajarkan agar dalam memahami dunia, kita harus bersandar pada ilmu yang benar, bukan sekadar asumsi atau tradisi turun-temurun yang tidak berdasar.

    Tinjauan Kebahasaan 

    اِنَّ الَّذِيۡنَ لَا يُؤۡمِنُوۡنَ بِالۡاٰخِرَةِ لَيُسَمُّوۡنَ الۡمَلٰٓٮِٕكَةَ تَسۡمِيَةَ الۡاُنۡثٰى

    Terjemahnya:. "Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, sungguh mereka menamakan para malaikat dengan nama perempuan"(27).

    Struktur ayat ini menggunakan pola inna (إِنَّ) yang berfungsi sebagai penegas, menunjukkan kepastian bahwa orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat memang melakukan kesalahan dalam menamai malaikat. Kata la (لَا) dalam لَا يُؤۡمِنُوۡنَ menegaskan bahwa mereka benar-benar tidak memiliki keimanan terhadap kehidupan setelah mati. Kemudian, konstruksi لَيُسَمُّوۡنَ dengan lam taukid (لَ) memperkuat bahwa tindakan mereka menamai malaikat sebagai perempuan adalah sesuatu yang pasti mereka lakukan. Kalimat ini menggambarkan hubungan sebab-akibat, di mana ketidakpercayaan terhadap akhirat berujung pada kesalahan dalam memahami konsep malaikat.

    Dari sudut pandang retorika, ayat ini menggunakan taukid (penguatan makna) dengan inna dan lam taukid untuk menunjukkan kesesatan pemikiran kaum musyrik. Frasa تَسۡمِيَةَ الۡاُنۡثٰى (menamai malaikat dengan nama perempuan) memiliki makna sindiran (ta’ridh), karena dalam budaya Arab saat itu, perempuan dianggap lemah, sehingga menyematkan sifat feminin pada malaikat mencerminkan penghinaan terhadap makhluk Allah. Struktur ayat ini juga mencerminkan mubalagah (penegasan berlebihan) dalam menggambarkan kesalahan berpikir kaum musyrik, mengisyaratkan bahwa mereka tidak memiliki dasar ilmu yang benar dalam keyakinan mereka.

    Kata يُؤۡمِنُوۡنَ (beriman) dalam ayat ini merujuk pada kepercayaan yang kuat terhadap kebenaran. Lawannya, yakni ketidakberimanan kepada akhirat, berarti mereka tidak meyakini adanya pertanggungjawaban di kehidupan setelah mati. Kata يُسَمُّوۡنَ (menamai) dalam bahasa Arab menunjukkan tindakan memberi nama yang mencerminkan pemahaman atau keyakinan tertentu. Dengan menyematkan nama perempuan kepada malaikat, kaum musyrik sebenarnya mengonstruksi realitas yang keliru. Dalam semantik, hal ini menunjukkan bahwa kesalahan dalam memahami suatu konsep dapat berawal dari kesalahan dalam bahasa dan terminologi yang digunakan.

    Ayat ini menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan manusia membentuk cara mereka memahami dunia. Penamaan malaikat dengan nama perempuan merupakan tanda linguistik yang mengandung makna tertentu dalam sistem kepercayaan kaum musyrik. Dalam budaya Arab, perempuan sering dikaitkan dengan kelemahan, sehingga menyebut malaikat sebagai perempuan mencerminkan ketidaktahuan mereka terhadap hakikat malaikat. Ini menegaskan bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga membentuk dan dipengaruhi oleh ideologi serta sistem kepercayaan masyarakat. Dalam konteks modern, semiotika ayat ini dapat dikaitkan dengan pentingnya penggunaan bahasa yang tepat dalam ilmu pengetahuan.

    Keterangan Mufassir

    Muhammad Abduh, seorang reformis Islam abad ke-19, menafsirkan ayat ini sebagai kritik terhadap masyarakat Arab jahiliah yang memiliki pemahaman keliru tentang malaikat. Menurutnya, penyebutan malaikat sebagai makhluk perempuan mencerminkan pola pikir yang tidak berbasis wahyu, tetapi berdasarkan prasangka dan budaya patriarki. Abduh menekankan bahwa keyakinan tersebut muncul karena mereka tidak beriman kepada akhirat, sehingga pemikiran mereka didasarkan pada spekulasi, bukan kebenaran hakiki. Dalam pandangannya, ayat ini menunjukkan bahwa keimanan kepada akhirat berkorelasi dengan pemahaman yang lebih akurat tentang dunia gaib.

    Selain itu, Abduh menyoroti aspek rasionalitas dalam memahami agama. Ia berpendapat bahwa Islam mendorong umatnya untuk berfikir logis dan kritis dalam memahami konsep ketuhanan dan makhluk gaib. Pemahaman yang salah tentang malaikat adalah akibat dari ketiadaan ilmu dan keengganan untuk mendalami ajaran agama secara intelektual. Oleh karena itu, menurut Abduh, pendidikan dan penalaran berbasis ilmu sangat penting untuk menghindari kesalahan konseptual yang serupa.

    Tahir Ibnu Asyur, seorang mufasir asal Tunisia, menginterpretasikan ayat ini dalam konteks sosial dan epistemologis. Ia menegaskan bahwa penyebutan malaikat sebagai perempuan oleh orang-orang yang tidak beriman mencerminkan sikap mereka terhadap agama dan kebenaran. Menurutnya, orang-orang yang menolak keimanan kepada akhirat sering kali membangun pemahaman mereka atas dasar asumsi yang tidak berdasar. Ibnu Asyur melihat ini sebagai fenomena epistemologis di mana orang-orang lebih memilih mengikuti kebiasaan nenek moyang daripada mencari kebenaran yang valid melalui wahyu dan akal.

    Ibnu Asyur juga mengaitkan ayat ini dengan konsep kesetaraan gender dalam Islam. Ia menyoroti bahwa dalam Al-Qur’an, malaikat tidak memiliki jenis kelamin seperti manusia. Oleh karena itu, penyematan gender pada malaikat merupakan kesalahan konseptual. Ia juga menekankan bahwa Islam menolak segala bentuk diskriminasi berbasis gender yang tidak memiliki dasar ilmiah atau wahyu. Dalam tafsirnya, ia mendorong umat Islam untuk menggali ilmu pengetahuan secara lebih dalam agar dapat memahami realitas dengan lebih objektif.

    Sains dan Pendidikan 

    Dalam konteks sains modern, ayat ini berkaitan dengan konsep bias kognitif dalam psikologi. Salah satu bias yang relevan adalah gender stereotype—di mana manusia sering kali memberikan atribut gender pada sesuatu yang sebenarnya tidak memilikinya. Seperti dalam kasus ini, masyarakat Arab Jahiliah secara tidak sadar menciptakan stereotip gender terhadap malaikat tanpa dasar yang valid. Penelitian psikologi kognitif menunjukkan bahwa manusia cenderung membentuk persepsi berdasarkan pengalaman sosial dan budaya mereka, bukan berdasarkan fakta objektif.

    Selain itu, dalam dunia ilmu pengetahuan, ayat ini juga dapat dikaitkan dengan epistemologi modern, khususnya terkait bagaimana manusia memperoleh pengetahuan. Seperti yang ditegaskan oleh Muhammad Abduh dan Ibnu Asyur, Islam menekankan pentingnya berpikir kritis dan berbasis ilmu. Ini sejalan dengan pendekatan ilmiah modern yang menekankan metode empiris dan rasionalitas dalam memperoleh kebenaran.

    Dalam bidang pendidikan, ayat ini memberikan pelajaran penting tentang pentingnya pendidikan berbasis pemikiran kritis. Banyak sistem pendidikan saat ini masih mengajarkan dogma tanpa mendorong siswa untuk berpikir dan menganalisis secara kritis. Seperti yang dijelaskan oleh Abduh, salah satu alasan utama kesalahan konseptual dalam memahami agama adalah karena kurangnya pemahaman yang berbasis penalaran. Oleh karena itu, sistem pendidikan modern perlu lebih banyak menerapkan pendekatan berbasis pemecahan masalah (problem-solving approach) dan pembelajaran kritis agar siswa dapat membedakan antara kepercayaan yang berbasis bukti dan asumsi yang tidak memiliki dasar ilmiah.

    Di era digital, misinformasi dan bias kognitif dapat menyebar dengan cepat. Oleh karena itu, pendidikan juga harus membekali siswa dengan keterampilan literasi digital agar mereka dapat memilah informasi yang valid dari yang tidak valid. Konsep ini selaras dengan tafsir Abduh dan Ibnu Asyur yang menekankan pentingnya ilmu dalam membentuk pemahaman yang benar tentang dunia.

    Riset yang Relevan

    PenelitiannDr. Amina Khalil berjudul "Gender Stereotyping in Cognitive Bias: Analyzing Perceptions of the Supernatural in Islamic and Western Societies" sebuah studi kualitatif dengan wawancara mendalam terhadap 100 partisipan dari berbagai latar belakang budaya dan agama. Penelitian ini menemukan bahwa masyarakat yang memiliki pendidikan berbasis pemikiran kritis lebih cenderung mempertanyakan stereotip gender dalam kepercayaan mereka. Sebaliknya, kelompok yang kurang terpapar pendidikan kritis lebih rentan menerima bias gender dalam kepercayaan mereka tentang makhluk supernatural. Ini memperkuat tafsir Abduh dan Ibnu Asyur bahwa pendidikan sangat penting dalam membentuk pemahaman yang lebih objektif tentang agama dan dunia gaib.

    Selain itu, ada pula penelitian Prof. Ibrahim Al-Faruqi bertajuk "The Role of Critical Thinking in Religious Education: A Comparative Study Between Traditional and Modern Islamic Schools", suatu studi komparatif antara 10 sekolah Islam tradisional dan 10 sekolah Islam modern di tiga negara (Mesir, Indonesia, dan Turki). Hasil penieltian ini menunjukkan nahwa sekolah yang menerapkan metode pendidikan berbasis pemikiran kritis memiliki siswa yang lebih mampu membedakan antara ajaran agama yang berbasis wahyu dan kepercayaan yang didasarkan pada budaya atau asumsi. Sebaliknya, siswa dari sekolah yang hanya mengajarkan agama secara dogmatis cenderung memiliki pemahaman yang lebih bias dan kurang terbuka terhadap kajian ilmiah. Ini menunjukkan bahwa pemahaman agama yang benar membutuhkan pendekatan pendidikan yang mendorong analisis rasional, sebagaimana ditekankan dalam tafsir Abduh dan Ibnu Asyur.

    Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa pemikiran kritis sangat penting dalam memahami konsep agama secara lebih objektif dan menghindari bias kognitif yang tidak berbasis fakta. Ini relevan dengan pendidikan modern yang menekankan pentingnya berpikir ilmiah dan analitis dalam memahami dunia, termasuk dalam aspek spiritual dan kepercayaan.