Pertautan Konseptual
Surah Al-Najm ayat 23 menjelaskan bahwa keyakinan manusia sering kali hanya berdasarkan prasangka dan hawa nafsu, bukan kebenaran yang datang dari Allah. Kemudian, ayat 24 mempertanyakan apakah manusia akan mendapatkan segala yang diinginkannya. Hubungan antara kedua ayat ini menekankan bahwa keinginan manusia harus selaras dengan kebenaran, bukan sekadar angan-angan atau asumsi yang keliru.
Dalam konteks pendidikan, ayat ini mengajarkan bahwa kesuksesan akademik dan penguasaan ilmu tidak hanya bergantung pada keinginan atau harapan, tetapi harus didukung oleh usaha yang sesuai dengan hukum-hukum Allah, seperti kerja keras, ketekunan, dan metode yang benar. Sains modern juga menegaskan bahwa kebenaran ilmiah tidak bisa didasarkan pada asumsi belaka, melainkan harus melalui penelitian, pengujian, dan pembuktian.
Misalnya, seorang ilmuwan tidak bisa hanya berharap menemukan teori baru tanpa melakukan eksperimen dan observasi yang sistematis. Begitu juga dalam pendidikan, seorang siswa tidak bisa hanya bermimpi sukses tanpa belajar dengan tekun. Ayat ini mengingatkan bahwa realitas dikendalikan oleh hukum-hukum Allah, bukan oleh sekadar keinginan manusia. Oleh karena itu, dalam sains dan pendidikan, diperlukan upaya konkret dan metodologi yang benar untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Analisis Kebahasaan
اَمْ لِلْاِنْسَانِ مَا تَمَنّٰىۖ ٢٤
Terjemahnya: "Apakah manusia akan mendapat segala yang diinginkannya"?(24)
Ayat ini diawali dengan harf istifham "أم" (am) yang menunjukkan pertanyaan retoris, mengisyaratkan bahwa jawaban yang diharapkan adalah negatif—manusia tidak akan selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Susunan ayat yang pendek dan langsung menekankan makna dengan efektif. Kata "ما تمنى" (ma tamanna) menggunakan bentuk umum, menunjukkan bahwa keinginan manusia bisa beragam, tetapi tidak semuanya akan terwujud. Struktur ini memperkuat pesan bahwa tidak ada jaminan bagi manusia untuk selalu mendapatkan apa yang diharapkan, kecuali jika sesuai dengan ketetapan Allah.
Penggunaan istifham inkari (pertanyaan yang mengandung penolakan) dalam "أم للإنسان ما تمنى" menegaskan bahwa keinginan manusia bukanlah faktor utama dalam menentukan kenyataan. Ini menekankan keterbatasan manusia dan kekuasaan mutlak Allah. Penggunaan kata "تمنى" yang berarti keinginan atau harapan menunjukkan nuansa psikologis yang dalam—menggambarkan betapa manusia sering kali terjebak dalam angan-angan yang tidak realistis. Gaya bahasa ini memberikan efek kuat dalam menyadarkan manusia akan keterbatasan mereka dan pentingnya bersandar pada ketentuan Allah.
Kata "تمنى" berasal dari akar kata "منى" yang berarti harapan atau keinginan yang sering kali bersifat subjektif dan belum tentu realistis. Dalam konteks ayat ini, kata tersebut menyoroti bagaimana manusia sering kali memiliki harapan besar tanpa mempertimbangkan keterbatasan dirinya dan hukum-hukum yang berlaku. Makna ini mengajarkan bahwa harapan harus disertai usaha yang sejalan dengan sunnatullah. Selain itu, kata "للإنسان" bersifat umum, menunjukkan bahwa pesan ini berlaku bagi seluruh manusia tanpa terkecuali. Ini memberikan pemahaman bahwa realitas tidak bergantung pada keinginan individu, tetapi pada ketentuan Allah.
Dari lensa semiotika, ayat ini membangun makna melalui pertentangan antara harapan manusia dan realitas yang ditetapkan Allah. Simbol utama dalam ayat ini adalah konsep "ما تمنى" (apa yang diinginkan manusia), yang mewakili ambisi, impian, dan aspirasi. Namun, makna ini kemudian dibatasi oleh bentuk pertanyaan retoris yang menyiratkan bahwa tidak semua keinginan dapat terpenuhi. Ini menciptakan kontras makna yang kuat antara aspirasi manusia dan ketetapan ilahi. Secara lebih luas, ayat ini menandakan bahwa manusia harus memahami batasan dirinya dan berusaha sesuai dengan hukum Allah agar bisa mencapai hasil yang diinginkan.
Penjelasan Ulama Tafsir
Fakhrur Razi dalam tafsirnya Mafatih al-Ghayb menyoroti ayat ini sebagai bantahan terhadap anggapan manusia bahwa ia bisa mendapatkan segala keinginannya tanpa mempertimbangkan takdir dan ketentuan Allah. Menurutnya, manusia sering memiliki harapan tinggi, tetapi realitasnya ditentukan oleh kehendak Allah. Ia mengaitkan ayat ini dengan konsep qadha dan qadar, di mana usaha manusia harus disertai dengan ketundukan pada ketentuan Ilahi. Dalam perspektifnya, ayat ini menjadi peringatan bahwa kehidupan tidak berjalan semata-mata sesuai dengan keinginan manusia, tetapi ada aturan ilahi yang mengaturnya.
Dalam tafsirnya Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, Tanthawi Jauhari juga menafsirkan ayat ini dengan pendekatan ilmiah dan rasional. Ia menegaskan bahwa keinginan manusia tidak selalu selaras dengan hukum alam dan prinsip sebab-akibat yang ditetapkan oleh Allah. Ia menekankan pentingnya usaha dan ilmu pengetahuan dalam mencapai harapan. Tanthawi melihat ayat ini sebagai dorongan untuk memahami hukum-hukum alam agar manusia dapat mengarahkan usahanya sesuai dengan sunnatullah, bukan sekadar berandai-andai.
Konteks Sains dan Pendidikan
Dalam konteks sains modern, ayat ini dapat dikaitkan dengan hukum sebab-akibat dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam fisika, misalnya, keberhasilan eksperimen bergantung pada kondisi tertentu, bukan sekadar harapan. Dalam psikologi, konsep growth mindset menunjukkan bahwa pencapaian tidak bergantung pada harapan semata, tetapi pada usaha dan strategi yang tepat.
Dalam pendidikan, ayat ini menjadi dasar penting untuk mengajarkan bahwa kesuksesan akademik dan profesional tidak cukup dengan angan-angan, tetapi membutuhkan kerja keras dan strategi pembelajaran yang efektif. Pendekatan berbasis evidence-based learning, misalnya, menekankan bahwa siswa harus menggunakan metode belajar yang terbukti efektif, bukan hanya berharap mereka akan berhasil.
Selain itu, pendidikan karakter juga berkaitan erat dengan ayat ini. Sikap disiplin, kerja keras, dan ketekunan diajarkan agar siswa memahami bahwa keberhasilan tidak datang dengan sendirinya. Ini sejalan dengan konsep self-efficacy, yang menegaskan bahwa kepercayaan diri untuk mencapai sesuatu harus didukung oleh tindakan nyata.
Dalam dunia kerja dan teknologi, inovasi tidak terjadi hanya dengan menginginkannya, tetapi melalui penelitian dan eksperimen yang sistematis. Konsep ini tampak dalam perkembangan kecerdasan buatan dan rekayasa genetika, di mana penemuan baru memerlukan kombinasi antara keinginan, usaha, dan pemahaman ilmiah
Riset yang Relevan
Pertama, penelitian Carol Dweck & David Yeager berjudul: "Growth Mindset and Student Achievement: A Meta-Analysis of Interventions Across Different Educational Contexts (2023)". Penelitian ini menggunakan meta-analisis terhadap 30 penelitian eksperimental di berbagai negara. Hasil studi ini menemukan bahwa intervensi growth mindset meningkatkan prestasi akademik, terutama bagi siswa dari kelompok kurang mampu. Hasilnya menunjukkan bahwa kepercayaan pada kemampuan berkembang melalui usaha lebih efektif dibanding sekadar memiliki harapan sukses.
Kedua, penelitian Angela Duckworth & James J. Gross berjudul: "The Role of Self-Control in Achieving Long-Term Goals: A Longitudinal Study (2024)". Metode yang yang diterapkan, yaitu studi longitudinal terhadap 5.000 peserta selama 5 tahun. Selanjutnya, penelitian ini menunjukkan bahwa individu dengan tingkat self-control yang tinggi lebih mampu mencapai tujuan jangka panjang dibanding mereka yang hanya memiliki keinginan kuat tanpa strategi yang jelas. Faktor seperti disiplin, pengelolaan emosi, dan kebiasaan kerja keras terbukti lebih menentukan kesuksesan daripada sekadar harapan.
Analisis ini menunjukkan bahwa Q.S. Al-Najm ayat 24 sejalan dengan prinsip dalam sains dan pendidikan modern, yaitu bahwa keberhasilan bergantung pada usaha nyata dan bukan sekadar keinginan.
0 komentar