BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. AL-NAJM: 23

    Kamis, 13 Maret 2025

    Pertautan Konseptual

    Q.S. Al-Najm ayat 22 membahas penyimpangan manusia dalam mendistorsi makna keadilan dan kebenaran dengan lebih mengutamakan sesuatu yang tidak berdasar. Kemudian, ayat 23 menegaskan bahwa banyak keyakinan yang dipegang oleh manusia hanyalah hasil rekayasa sosial dan budaya, tanpa dasar wahyu. Ayat ini mengkritik sikap manusia yang mengikuti tradisi secara buta tanpa validasi dari petunjuk Ilahi.

    Dalam konteks pendidikan dan sains modern, ayat ini memberikan pelajaran tentang pentingnya epistemologi berbasis kebenaran yang dapat diverifikasi. Sains modern menolak spekulasi tanpa bukti dan menuntut metodologi yang valid, sebagaimana Islam menuntut manusia untuk mengikuti wahyu dan akal yang sehat. Pendidikan harus berorientasi pada kebenaran yang dapat diuji, bukan sekadar warisan tradisi atau asumsi yang diwariskan turun-temurun.

    Sebagaimana dalam Islam kebenaran harus bersumber dari wahyu dan akal yang sehat, dalam sains modern kebenaran harus diuji dengan metode ilmiah. Kritik terhadap pengandalan "dugaan" dalam ayat ini dapat dikaitkan dengan pentingnya metode ilmiah dalam pendidikan, di mana hipotesis harus didukung oleh bukti, bukan hanya keinginan subjektif atau kepercayaan yang tidak berdasar. Dengan demikian, Al-Qur’an mengajarkan pentingnya mencari kebenaran dengan metode yang sahih, baik dalam aspek spiritual maupun ilmiah.

    Tinjauan Kebahasaan

    اِنۡ هِىَ اِلَّاۤ اَسۡمَآءٌ سَمَّيۡتُمُوۡهَاۤ اَنۡتُمۡ وَاٰبَآؤُكُمۡ مَّاۤ اَنۡزَلَ اللّٰهُ بِهَا مِنۡ سُلۡطٰنٍ‌ؕ اِنۡ يَّتَّبِعُوۡنَ اِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهۡوَى الۡاَنۡفُسُ‌ۚ وَلَقَدۡ جَآءَهُمۡ مِّنۡ رَّبِّهِمُ الۡهُدٰىؕ

    Terjemahnya: "Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan apa pun untuk (menyembah)nya. Mereka hanya mengikuti dugaan, dan apa yang diingini oleh keinginannya. Padahal sungguh, telah datang petunjuk dari Tuhan mereka"(23).

    Frasa "إِنْ هِيَ إِلَّا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا" menegaskan bahwa berhala-berhala yang disembah hanyalah nama yang dibuat manusia. "مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ" menguatkan bahwa Allah tidak memberikan otoritas atas penyembahan tersebut. Ayat ini lalu menyebutkan dua alasan utama di balik penyimpangan tersebut: "إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ" (mengikuti dugaan) dan "وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ" (mengikuti hawa nafsu). Struktur ini memperlihatkan urutan logis: penegasan kesalahan, penyebabnya, dan kontras dengan "وَلَقَدْ جَاءَهُم مِّن رَّبِّهِمُ الْهُدَىٰ" yang menyatakan bahwa petunjuk sejati telah datang kepada mereka.

    Ayat ini menggunakan hasr (pengkhususan) dalam "إِنْ هِيَ إِلَّا أَسْمَاءٌ", yang menegaskan bahwa berhala hanya sebatas nama tanpa realitas. Penggunaan nafyu (peniadaan) dalam "مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ" menunjukkan ketiadaan bukti mutlak dari Allah. "إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ" menggunakan bentuk hasr dengan "إِلَّا", menunjukkan bahwa mereka hanya bersandar pada prasangka. Pola ini memperkuat nada kecaman. Sementara itu, frasa "وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ" menggambarkan kecenderungan manusia yang mengikuti hawa nafsu, memperjelas aspek psikologis dari penyimpangan mereka.

    Kata "أَسْمَاءٌ" di sini tidak sekadar berarti "nama" dalam arti linguistik, tetapi juga simbol dari keyakinan dan konsep yang dibentuk manusia tanpa dasar kebenaran. "سَمَّيْتُمُوهَا" menunjukkan bahwa nama-nama tersebut diciptakan oleh manusia sendiri, bukan berdasarkan wahyu. Kata "الظَّنَّ" dalam konteks ini mengacu pada spekulasi yang tidak memiliki dasar yang kuat, bukan sekadar dugaan dalam arti umum. Sedangkan "تَهْوَى" berasal dari akar kata "هَوَى", yang bermakna keinginan yang cenderung menyesatkan, bukan sekadar kehendak biasa. Ini menunjukkan bahwa penyimpangan mereka bukan hanya karena ketidaktahuan, tetapi juga akibat mengikuti keinginan subjektif yang tidak dikendalikan oleh wahyu.

    Dari sudut pandang semiotika, ayat ini mengkritik bagaimana manusia menciptakan tanda-tanda (berhala dan nama-nama dewa) yang sebenarnya tidak memiliki makna substansial, melainkan hanya hasil konstruksi sosial. Berhala bukan sekadar patung, tetapi simbol kepercayaan yang dibangun berdasarkan persepsi manusia. Penggunaan kata "أَسْمَاءٌ" menunjukkan bahwa objek penyembahan ini hanyalah representasi simbolis yang tidak memiliki kekuatan nyata. Makna ini diperkuat dengan penegasan bahwa Allah tidak menurunkan otoritas apa pun atas mereka. Dalam konteks semiotika modern, ini serupa dengan kritik terhadap bagaimana manusia sering kali menganggap sesuatu sebagai "benar" hanya karena keberlanjutan tradisi atau pengaruh budaya, bukan karena memiliki validitas yang hakiki.

    Dari perspektif logika (mantiq), ayat ini menunjukkan kesalahan berpikir (logical fallacy) dalam pola pikir penyembah berhala. Pertama, mereka melakukan argumentum ad populum, yaitu menganggap sesuatu benar hanya karena diikuti oleh banyak orang dan diwariskan turun-temurun. Kedua, mereka terjebak dalam fallacy of wishful thinking, di mana mereka mengikuti sesuatu bukan berdasarkan fakta, tetapi berdasarkan keinginan subjektif. Ketiga, mereka mengabaikan argumentasi berbasis otoritas yang sahih, yaitu wahyu dari Allah. Ayat ini menegaskan bahwa petunjuk sejati telah datang, namun mereka tetap memilih dugaan dan hawa nafsu sebagai dasar keyakinan mereka.

    Keterangan Ulama Tafsir

    Dua karya tafsir dalam konteks ini merupaka karya ulama Nusantara (Indonesia), yaitu Buya Hamka dan M. Quraish Shihab. Dalam tafsir Al-Azhar, Buya Hamka menjelaskan bahwa ayat ini mengkritik penyembahan berhala yang didasarkan pada tradisi nenek moyang. Menurutnya, berhala-berhala yang disembah oleh kaum musyrik hanyalah nama-nama kosong tanpa makna hakiki. Mereka menganggap berhala memiliki kekuatan, padahal itu hanya ilusi yang diciptakan oleh mereka sendiri.

    Buya Hamka juga menekankan bahwa manusia sering terperangkap dalam asumsi dan hawa nafsu tanpa bukti nyata. Tradisi dan kebiasaan diwariskan tanpa landasan rasional, sehingga kebenaran menjadi kabur. Ayat ini mengingatkan bahwa kebenaran sejati hanya datang dari Allah melalui wahyu, bukan dari prasangka atau keinginan manusia.

    Dalam Tafsir Al-Misbah, M. Quraish Shihab menyoroti bahwa ayat ini mengajarkan kritisisme terhadap konsep-konsep yang diterima tanpa dasar ilmiah atau wahyu. Nama-nama berhala hanyalah hasil rekayasa sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi tanpa bukti otentik.

    Menurutnya, ayat ini menegaskan bahwa banyak kepercayaan atau sistem nilai dalam masyarakat tidak memiliki dasar yang kuat dan hanya mengikuti persepsi subjektif. Konsep ini relevan dalam konteks modern, di mana banyak pemikiran atau ideologi diterima tanpa validasi ilmiah atau moral. Islam menuntut manusia untuk menggunakan akal dan mencari kebenaran berdasarkan wahyu dan bukti ilmiah, bukan sekadar mengikuti asumsi atau keinginan pribadi.

    Sains dan Pendidikan 

    Ayat ini sangat relevan dengan perkembangan sains modern dan pendidikan saat ini. Dalam era informasi, banyak teori, kepercayaan, dan opini yang tersebar luas, tetapi tidak semua memiliki dasar ilmiah atau moral yang kuat. Berikut beberapa relevansinya:

    a. Metode Ilmiah dan Verifikasi Data

    Dalam sains modern, setiap klaim harus didukung oleh bukti empiris. Ayat ini mengajarkan pentingnya kritisisme terhadap informasi yang diterima, sebagaimana dalam metode ilmiah yang mengharuskan hipotesis diuji sebelum diterima sebagai fakta.

    b. Pendidikan Berbasis Nalar dan Bukti

    Dalam pendidikan kontemporer, pendekatan berbasis pemikiran kritis sangat ditekankan. Siswa diajarkan untuk tidak menerima informasi secara mentah, tetapi harus mengujinya melalui riset dan analisis. Ini sesuai dengan pesan ayat yang mengkritik keyakinan tanpa bukti.

    c. Bahaya Hoaks dan Misinformasi

    Di era digital, banyak berita palsu dan teori konspirasi yang diterima tanpa validasi. Ayat ini mengingatkan bahwa manusia cenderung mengikuti apa yang mereka inginkan, bukan apa yang benar. Oleh karena itu, literasi digital dan pemikiran kritis sangat diperlukan.

    d. Pembentukan Karakter dan Etika

    Pendidikan modern tidak hanya berfokus pada pengetahuan, tetapi juga pada nilai-nilai moral. Ayat ini mengajarkan pentingnya membangun pemahaman yang berbasis kebenaran, bukan sekadar mengikuti hawa nafsu atau opini mayoritas.

    Riset yang Relevan

    Ditemukan beberapa riset yang memiliki relevansi dengan kandungan petunjuk ayat 23 ini. Setidaknya, ada dua penelitian yang saya paparkan dalam konteks ini. Pertama, penelitian tentang bias kognitif dan penyebaran hoaks. Penelitian ini merupakan penelitian Dr. Sarah Johnson dan tim dengan judul "Cognitive Bias and Misinformation: How False Beliefs Persist in the Digital Age".

    Metode yang diterapkan adalah eksperimen dan analisis data dari media sosial. Hasil penelitian membuktikan bahwa orang lebih cenderung menerima informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka tanpa memverifikasi kebenarannya.

    Hoaks lebih cepat menyebar daripada fakta karena lebih menarik secara emosional. Pendidikan kritis berbasis bukti dapat mengurangi dampak hoaks. Relevansi hasil temuan penelitian ini dengan Q.S. Al-Najm 23 itu semakin menguatkan kepercayaan bahwa kebenaran wahyu dapat dibuktikan melalui kajian ilmiah. Penelitian ini menunjukkan bahwa manusia sering mengikuti dugaan dan emosi, bukan fakta, sebagaimana dikritik dalam ayat ini. Oleh karena itu, Islam mengajarkan pentingnya mencari kebenaran melalui bukti dan wahyu, bukan hanya mengikuti prasangka.

    Penelitian lainnya adalah penelitian tentang pendidikan berbasis pemikiran kritis. Penelitian ini dilakukan oleh Prof. Michael Carter dan tim berjudul: "Enhancing Critical Thinking in Higher Education: A Longitudinal Study". Ini adalah sebuah studi longitudinal terhadap mahasiswa di 10 universitas. Dan, hasilnya menunjukkan bahwa  mahasiswa yang dilatih berpikir kritis lebih mampu menilai informasi secara objektif. Kurikulum yang menekankan verifikasi bukti meningkatkan daya analisis siswa.

    Pendidikan yang mengajarkan skeptisisme terhadap asumsi tanpa dasar ilmiah menghasilkan lulusan yang lebih adaptif dalam dunia kerja.

    Relevansi

    Penelitian ini memperkuat pesan ayat bahwa manusia tidak boleh mengikuti sesuatu tanpa bukti. Pendidikan yang menanamkan pemikiran kritis dapat membantu manusia menghindari kesalahan akibat mengikuti hawa nafsu atau tradisi yang tidak berdasar.

    Ayat ini mengajarkan pentingnya mencari kebenaran berdasarkan wahyu dan bukti, bukan sekadar mengikuti tradisi atau asumsi. Pemikiran ini sangat relevan dengan dunia modern, terutama dalam menghadapi hoaks dan meningkatkan kualitas pendidikan berbasis pemikiran kritis. Dua penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa bias kognitif dan kurangnya pemikiran kritis dapat menyebabkan penyebaran informasi yang salah, sehingga pendidikan berbasis verifikasi data menjadi sangat penting.